Aku nggak pernah menyangka, bahwa menjadi yatim ternyata membawa konsekuensi yang bahkan masih tetap berjalan dan berlaku hingga saat ini.. bahkan ketika aku sudah menjadi seorang ayah bagi anak-anaknya yang tengah beranjak dewasa... yang pertama anak laki yg tengah memasuki masa SMA, anak kedua memasuki masa SMP (remaja, juga anak laki ) dan terakhir anak perempuan berumur 8 tahun.
Pengalaman sebagai yatim, di satu sisi memberikan aku pengalaman sebagai anak yang mandiri. Namun di sisi lain, menjadi yatim sejak usia kecil menjadikan aku kehilangan figur ayah, seseorang yang di usiaku saat ini sangat kubutuhkan sebagai seorang role model. Ya, aku minim pengalaman berinteraksi dengan ayahku. Dan menjadikan aku sendiri gagap untuk bertindak bagaimana menjadi ayah yang baik, terutama untuk anak-anakku yang saat ini beranjak remaja.
Malam itu, keinginan dan niatku ingin menjadi teman bicara untuk anakku tertua, gagal total. Bukannya menjadi teman bicara, aku malah bertindak seperti seorang guru killer tengah berbicara dengan murid yang hampir tak memiliki hak untuk adu argumen. Ya, rasanya itu bukan seperti percakapan melainkan monolog. Aku mendominasi percakapan sendiri, dan anakku hanya diam mendengarkan.
Sungguh, ternyata tak bisa segampang itu menjadi orang tua, atau ayah buat anak-anaknya. Aku seperti merasakan ada gap, jurang pemisah antara aku dengan anak-anakku. Entah karena aku yang tak bisa lebur dengan mereka, atau karena mereka yang menarik diri dari aku. Mudah-mudahan aku salah.
Tapi malam itu aku baru menyadari, betapa pengalaman adalah guru yang terbaik. Dan aku tak pernah memiliki guru yang dengan siapa aku bisa belajar dan mencontoh pengalaman itu. Ya, karena aku tak pernah merasakan pengalaman dibesarkan ayahku, yang meninggal ketika aku masih kecil.
Pengalaman sebagai yatim, di satu sisi memberikan aku pengalaman sebagai anak yang mandiri. Namun di sisi lain, menjadi yatim sejak usia kecil menjadikan aku kehilangan figur ayah, seseorang yang di usiaku saat ini sangat kubutuhkan sebagai seorang role model. Ya, aku minim pengalaman berinteraksi dengan ayahku. Dan menjadikan aku sendiri gagap untuk bertindak bagaimana menjadi ayah yang baik, terutama untuk anak-anakku yang saat ini beranjak remaja.
Malam itu, keinginan dan niatku ingin menjadi teman bicara untuk anakku tertua, gagal total. Bukannya menjadi teman bicara, aku malah bertindak seperti seorang guru killer tengah berbicara dengan murid yang hampir tak memiliki hak untuk adu argumen. Ya, rasanya itu bukan seperti percakapan melainkan monolog. Aku mendominasi percakapan sendiri, dan anakku hanya diam mendengarkan.
Sungguh, ternyata tak bisa segampang itu menjadi orang tua, atau ayah buat anak-anaknya. Aku seperti merasakan ada gap, jurang pemisah antara aku dengan anak-anakku. Entah karena aku yang tak bisa lebur dengan mereka, atau karena mereka yang menarik diri dari aku. Mudah-mudahan aku salah.
Tapi malam itu aku baru menyadari, betapa pengalaman adalah guru yang terbaik. Dan aku tak pernah memiliki guru yang dengan siapa aku bisa belajar dan mencontoh pengalaman itu. Ya, karena aku tak pernah merasakan pengalaman dibesarkan ayahku, yang meninggal ketika aku masih kecil.
No comments:
Post a Comment