Seseorang pernah bertanya padaku, seperti apa gerangan pantai yang bernyanyi. Aku tak menjawabnya, selain melayangkan seutas senyum. Memang tak perlu kujawab karena ia memang tak memerlukan jawaban. Juga tak perlu kuterangkan, karena ia bukanlah laut. Juga bukan pasir-pasir yang menjejali batas antara daratan dan lautan. Cukuplah bagiku untuk mengetahui nyanyian pantai dengan bahasa yang kumengerti sendiri, dengan telingaku sendiri. Karena akulah lautan biru, sedang pantai adalah bagian dari jiwaku. Maka ketika aku mendengarkan nyanyian pantai, sesungguhnya itu adalah bagian dari suara jiwaku. Nyanyian pantai adalah nyanyianku.
Barangkali ada nun jauh disana, di ketinggian yang tak pernah dapat kujangkau, seseorang yang menggantungkan jiwanya di langit biru. Seseorang dengan siapa aku bisa berbagi rasa, bernyanyi bersama, saling bersahutan lewat bahasa yang sama di cakrawala. Bahasa yang diwakili oleh satu warna. Biru.
Kedalamanku adalah ketinggiannya. Biruku adalah pulasan warna yang dia pantulkan dari kebiruannya. Maka jika aku membiru, seperti itu pulalah jiwanya. Dan ketika ia kelabu, maka suram pulalah jiwaku. Kelam dan kelabu.
Dan jika seseorang bertanya seperti apa nyanyian pantai, maka itu berarti dia memang tak bisa memahami aku. Dan memang aku tak pernah berharap seseorang akan bisa memahami jiwaku. Karena cukup bagiku menatap jauh di ketinggian langit biru, dan memintanya untuk berkaca di biru lautku, dan aku yakin seketika ia akan bisa memahami aku. Mendengar nyanyianku.
Nyanyian pantai laut biru.
No comments:
Post a Comment