Akhir-akhir ini aku dihinggapi rasa rindu yang begitu deras menerpaku, tak tertahankan. Rindu pada seseorang yang padanya aku seolah ingin berlari saat ini juga, ingin hadir dihadapannya, ingin memintanya merengkuhku, dan ingin seketika merebahkan diri di haribaannya. Ingin merasakan jari-jarinya yang lembut, menyusuri tiap-tiap helai rambutku. Ingin merasakan setiap ruas di jari-jarinya yang penuh kedamaian, menyentuh setiap pori di kulit kepalaku. Ingin menikmati ketenangan masa kecilku.
Begitu menderu rindu menyergapku. Rindu pada ibuku.
Seketika aku ingin menyapa kerut-kerut di wajahnya. Rindu menikmati giginya yang makin jarang, tanggal satu demi satu seiring waktu. Rindu pupil matanya yang makin kabur dimakan usia. Rindu tawa terkekehnya, tiap kali aku mengajukan sebuah canda. Rindu sifatnya yang keras kokoh bagai batu tiap kali aku berdebat. Rindu bentakannya yang dulu kerap membuatku mengkerut. Rindu pada kesempurnaannya sebagai seorang ibu. Rindu sosoknya yang bagai malaikat pelindungku sejak aku bayi dan bahkan hingga kini. Kerinduan yang lengkap.
Di wajahnya aku seperti membaca riwayat panjang perjalanan yang penuh dengan keletihan. Jauh sebelum aku dan saudara-saudaraku lahir. Perjalanan yang ia mulai sejak kecil ketika Jepang pertama kali menjejakkan kakinya di bumi Andalas, ketika ia belum lagi mengenal pakaian untuk menutup tubuh dekil kecilnya yang kerap telanjang dada, ketika ia masih belia. Lalu dilanjutkan ketika masa kanak-kanaknya ia mulai ditinggalkan orang-orang yang seharusnya melindunginya satu demi satu, mulai dari ayahnya, lalu ibunya. Perjalanan yang membawanya ke Jakarta, untuk bernaung dibawah pengasuhan ninik mamaknya, suatu masa yang penuh dengan cerita jauh dari kebahagiaan.
Beranjak remaja dan dewasa, waktu demi waktu dijalaninya dengan peran sebagai seorang yang harus senantiasa survive, tak ada cerita masa remaja adalah masa yang paling indah. Waktu membawanya ke Bandung untuk kemudian menjalani tahap lain dari perjuangan untuk bertahan hidup disana. Tak ada pula cerita indah disana. Bahkan sampai ketika seorang pemuda sunda menyuntingnya, seseorang yang kemudian menjadi ayahku. Barangkali ada kisah cinta yang indah buatnya, tapi tak pernah ada cerita indah dia kabarkan padaku, kerap kali ia bercerita.
Ibu, yang kuingat darimu adalah kata-kata tentang kebahagian.. bahwa bagimu cukuplah kebahagiaan itu ketika melihat kami lahir, tumbuh, besar, sekolah… dan kami tak kelaparan! Cukuplah kebahagiaan itu bagimu ketika kami tumbuh menjadi anak-anak yang dewasa dan mandiri. Kokoh berdiri dalam kesederhaan kami!!! Cukuplah bagimu kebahagiaan itu ketika kami tak lagi mengenal apa arti kemiskinan dan kepapaan. Itulah kebahagiaanmu. Kebahagiaan yang sangat sangat sangat sederhana.
Di kerutnya aku seolah menangkap derita yang tak pernah kering, jauh dari kesenangan. Jauh sebelum ia memulai perjuangannya membesarkan kami, delapan bersaudara, dengan tangan dan kakinya sendiri.. tangan-tangan yang kini ringkih. Dengan tenaganya yang seperti matahari, tak henti terpancar. Dengan langkahnya yang seperti bumi, tak pernah henti berotasi.. tak pernah langkahnya terhenti. Di kerutnya aku melihat rumah megah yang dulu kami huni, tempat kami lahir satu per satu, nyenyak dan nyaman merasakan kasih sayang, melewati masa kanak-kanak.. dalam keriangan. Lalu rumah megah itu harus berpindah tangan, ketika ayah –satu-satunya sandaran yang ia miliki, kembali ke haribaan Yang Kuasa. Dan kau memulai lagi perjuangan berat yang sesungguhnya tak pernah sempat kau tinggalkan.
Kau besarkan kami dalam kebersahajaan. Kau teteskan darah dan keringatmu agar setiap saat tetesan darah di raga kami penuh dengan energi. Agar darah di raga kami mengalir dan menjaga kami tetap hidup, tumbuh dan terus tumbuh.
Ya Tuhan, betapa aku sangat merindukannya. Betapa aku sangat menyayanginya.
Betapa ingin memelukmu saat ini. Perasaan yang makin membuncah tiap kali menikmati ribuan wajahmu yang kini seakan menjadi mozaik yang menceritakan tentang rangkaian perjalananmu, sesuatu yang sebenarnya bermakna lukisan kehidupanku!
Aku rindu kau, Ibu…
1 comment:
weleh...weleh...weleh, kaget juga lagi iseng iseng search keyword kedai
kang komar di google eh ternyata ada juga...oh ternyata om ku yang
guanteng nan sukses yang punya blog gak info2in ,tapi keren juga
blognya creatif banget,...bams juga suka ngeliat foto keluarga kita di
internet, canggih juga n one step level ahead, trus create yang bagus2
i will visit youre blog as regulary.
Post a Comment