Seringkali, tanpa sadar, kita seringkali memupuk harapan begitu tinggi terhadap seseorang. Orang tua sering mengharapkan anaknya sempurna. Seorang anak mengharapkan orangtuanya sempurna.
Seorang laki-laki selalu mencari calon pasangan yakni seorang wanita yang sempurna, dan seorang wanita lajang senantiasa mencari calon suami yang juga sempurna, sempurna segalanya.
Kita, sebagai bangsa, pun selalu mencari dan mengharapkan seorang pemimpin bangsa yang sempurna. Tak boleh ada cacat cela.
Agaknya, mungkin kita lupa bahwa manusia, siapa pun dia, tak ada yang sempurna. Kita mengharapkan seseorang itu, begitu segalanya. Kita lupa bahwa manusia itu adalah tempatnya salah dan khilaf. Maka melihat cacat-cela --salah dan khilaf-- dari seseorang adalah menjadi suatu yang tabu baginya.
Ketika kita memupuk harapan terlalu tinggi terhadap seseorang, maka kita cenderung lupa me-manusia-kan manusia. Ketika kita lupa menempatkan seseorang sebagai manusia, maka kita lupa untuk menerima kenyataan bahwa tak ada manusia yang sempurna.
Ketika kita memupuk harapan terlalu tinggi terhadap seseorang, maka kita cenderung lupa me-manusia-kan manusia. Ketika kita lupa menempatkan seseorang sebagai manusia, maka kita lupa untuk menerima kenyataan bahwa tak ada manusia yang sempurna.
Bahkan, seringkali kita tidak bisa menerima kenyataan bahwa tak ada manusia yang sempurna sehingga ketika seseorang --atau siapapun-- yang menjadi harapannya berbuat salah dan khilaf, atau memiliki cacat-cela, maka kita menjadi kecewa dan bahkan marah, sehingga cenderung melampiaskan kekecewaan dan kemarahan itu dengan cacian, makian dan bahkan perlawanan. (Saya, karena kekhilafan saya pun, seringkali tanpa sadar menjadi marah ketika seseorang tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan saya).
Seorang pemimpin bangsa katakanlan, presiden, misalnya, seringkali menjadi seseorang yang kita lupakan fitrah kemanusiaannya. Kita beranggapan bahwa seorang presiden adalah seseorang yang mesti memiliki kecakapan dan kesempurnaan. Seseorang yang harus dan mutlak tanpa cacat cela. Bahwa Presiden tak boleh berbuat kesalahan. Seorang Gubernur haram memiliki kejelekan. Seorang anggota dewan tabu memiliki kecacatan. Karena kita selalu berpikir bahwa mereka, adalah orang-orang yang musti sempurna, untuk mengisi posisi dimana kesalahan adalah suatu kemustahilan.
Kesalahan adalah keniscayaan yang merupakan sifat fitrah manusia. Karena manusia berpikir, dan berpikir adalah merupakan suatu proses. Secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long-term memory.
Seorang pemimpin bangsa katakanlan, presiden, misalnya, seringkali menjadi seseorang yang kita lupakan fitrah kemanusiaannya. Kita beranggapan bahwa seorang presiden adalah seseorang yang mesti memiliki kecakapan dan kesempurnaan. Seseorang yang harus dan mutlak tanpa cacat cela. Bahwa Presiden tak boleh berbuat kesalahan. Seorang Gubernur haram memiliki kejelekan. Seorang anggota dewan tabu memiliki kecacatan. Karena kita selalu berpikir bahwa mereka, adalah orang-orang yang musti sempurna, untuk mengisi posisi dimana kesalahan adalah suatu kemustahilan.
Kesalahan adalah keniscayaan yang merupakan sifat fitrah manusia. Karena manusia berpikir, dan berpikir adalah merupakan suatu proses. Secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long-term memory.
Berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-pengertian.
Hasil dari pemikiran adalah pengambilan keputusan. Ketika satu saja bagian dari keseluruhan informasi salah, maka hasil dari berpikir seseorang niscaya menjadi salah. Karena output ditentukan oleh input.
Jadi mengapa kita selalu menuntut seseorang tidak boleh salah? Mengapa kita menuntut seseorang harus sempurna?
Yang lebih parah dari pemikiran bahwa seseorang tak boleh salah adalah, pemikiran bahwa dirinya adalah sempurna. Bahwa dirinya lebih baik dari orang lain. Bahwa dirinya lebih pintar dari orang lain. Dirinya lebih bersih dari orang lain. Dirinya selalu benar, dan yang lain selain dirinya adalah salah. Maka kita jadi mengedepankan kesombongan, sifat arogan.
Ketika dua orang saling berhadap-hadapan dalam mengemukan pendapat dan pikirannya dan menganggap dirinya lebih sempurna, maka yang terjadi adalah percikan-percikan dan bukannya percakapan.
Jadi mengapa kita selalu menuntut seseorang tidak boleh salah? Mengapa kita menuntut seseorang harus sempurna?
Yang lebih parah dari pemikiran bahwa seseorang tak boleh salah adalah, pemikiran bahwa dirinya adalah sempurna. Bahwa dirinya lebih baik dari orang lain. Bahwa dirinya lebih pintar dari orang lain. Dirinya lebih bersih dari orang lain. Dirinya selalu benar, dan yang lain selain dirinya adalah salah. Maka kita jadi mengedepankan kesombongan, sifat arogan.
Ketika dua orang saling berhadap-hadapan dalam mengemukan pendapat dan pikirannya dan menganggap dirinya lebih sempurna, maka yang terjadi adalah percikan-percikan dan bukannya percakapan.
Saling berbantah-bantahan dan saling menyalahkan cenderung lebih mengemuka dibanding saling menghargai dan menghormati pendapat masing-masing pihak. Lidah berkelebat seperti pedang. Ucapan membakar seperti api. Ketika ini yang terjadi, maka yang kita lihat adalah pertunjukkan yang memuakkan dan membuat kita ikut teriris, terpercik dan terbakar.
Menyedihkan melihat bahwa saat ini kita cenderung membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Mem-bego-kan orang lain dan menganggap kita ter-pintar. Men-jelek-kan orang lain dan menganggap kita lah yang ter-baik.
Lihatlah di jalan, ketika terjadi sedikit senggol-senggolan antara dua orang pengendara. Seketika orang-orang yang terlibat itu akan berteriak, melontarkan sumpah serapah menganggap orang lain salah. Lihatlah pertunjukan akhir-akhir ini di media antara mereka-mereka orang-orang terhormat. Yang satu berkata anjing dan lainnya berkata (maaf) tahi!
Kita makin lupa menunjukkan bahwa kita manusia. Kita semakin lupa untuk me-manusia-kan manusia. Dan kita yang ditengah, ikut-ikut berkata bahwa mereka itu bukan manusia, melainkan sekumpulan manusia yang kita serapahi dengan umpatan dan makian... 'dasar orang utan'! Atau di kesempatan lain kita mengaku diri kita pintar dengan menyerapahi mereka dengan makian... 'dasar orang bego'!
Ah, ah.. sungguh tak ada manusia yang sempurna...
Menyedihkan melihat bahwa saat ini kita cenderung membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Mem-bego-kan orang lain dan menganggap kita ter-pintar. Men-jelek-kan orang lain dan menganggap kita lah yang ter-baik.
Lihatlah di jalan, ketika terjadi sedikit senggol-senggolan antara dua orang pengendara. Seketika orang-orang yang terlibat itu akan berteriak, melontarkan sumpah serapah menganggap orang lain salah. Lihatlah pertunjukan akhir-akhir ini di media antara mereka-mereka orang-orang terhormat. Yang satu berkata anjing dan lainnya berkata (maaf) tahi!
Kita makin lupa menunjukkan bahwa kita manusia. Kita semakin lupa untuk me-manusia-kan manusia. Dan kita yang ditengah, ikut-ikut berkata bahwa mereka itu bukan manusia, melainkan sekumpulan manusia yang kita serapahi dengan umpatan dan makian... 'dasar orang utan'! Atau di kesempatan lain kita mengaku diri kita pintar dengan menyerapahi mereka dengan makian... 'dasar orang bego'!
Ah, ah.. sungguh tak ada manusia yang sempurna...
No comments:
Post a Comment