Today on my blog:
Seperti biasa aku menghabiskan malam ini dengan mata masih terbentang lebar. Aku nggak bisa tidur. Meski tubuhku telah berulang kali mengajakku untuk segera beristirahat dan tidur yang ditandai dengan menguap beberapa kali, namun mataku masih tak bisa lepas dari layar kaca. Aku nggak tahu persis apa yang sebenarnya kucari dari layar kaca tersebut. Acara demi acara berlangsung tanpa bisa kunikmati. Tanganku sibuk menekan-nekan tombol mengganti-ganti channel di tv berusaha mencari sesuatu yang menarik untuk kusaksikan. Tapi seluruhnya terasa hambar, tak ada satupun yang mampu menarik minatku untuk kutonton. Namun demikian, aku tetap tak bisa melepaskan diri dari layar kaca itu.
Meski mataku menatap nanar, namun sesungguhnya pikiranku tak ada disana. Aku nggak tahu apa yang kupikirkan. Aku nggak sepenuhnya menyadari apa yang kusaksikan. Mataku mungkin menelan bulat-bulat apa yang terpampang di layar kaca itu, tapi pikiranku seperti menolak seluruh informasi yang ditangkap mataku dan disalurkan ke otakku. Sepertinya semua yang kusaksikan seolah menguap begitu saja. Tak ada satu pun yang dapat kucerna.
Tapi aku tak juga beranjak menuju peraduan. Tak juga ingin tidur. Meski tubuhku lagi-lagi mengajakku untuk terlelap. Entah apa yang menahanku untuk tidur. Barangkali sadarku pun menginginkan agar aku segera tidur, tapi lagi-lagi entah apa yang ada dalam diriku, sesuatu menolak keinginanku untuk tidur.
Bosan. Jemu. Bingung. Aku lelah. Sungguh amat lelah. Ada sesuatu yang sakit di bagian pinggang belakang, sesuatu yang seharusnya menjadi alasan agar aku segera beristirahat. Dan sesungguhnya aku memang harus segera tidur, karena jika tidak pasti besok pagi aku akan bangun pagi kesiangan, padahal beberapa kerjaan kantor yang sangat penting menungguku besok pagi. Aku harus berangkat pagi-pagi sekali. Ada agenda penting yang bakal menentukan masa depan perusahaan tempatku bekerja. Tapi aku tak punya keinginan sama sekali untuk masuk kamar. Menikmati bantal-bantal yang empuk, kasur dan selimut yang lembut, hawa kamar yang sejuk dan.... istriku yang hangat dan tertidur pulas!
Aku blank. Benar-benar blank!
Kunyalakan kembali laptopku dari tidurnya (karena belakangan aku hampir tidak pernah benar-benar mematikannya, melainkan membiarkannya standby). Karena aku tak sabar untuk membuka layarnya, dan segera terjun membenamkan diriku ke dalam duniaku. Entah apa namanya. Dunia yang didalamnya aku bisa berteriak, bisa bicara apa yang kuinginkan, bisa menangis bebas, bisa mengeluh... apa saja. Terutama bisa mengeluarkan segala hiruk-pikuk, carut-marut, kacau-balau dan entah seribu macam hal-hal yang ingin semuanya kubuang... kukeluarkan, kuhempaskan, kuenyahkan jauh-jauh... habis tuntas seluruhnya tanpa sisa... dari benakku.
Menatapi layar putih kosong di laptopku aku seolah menemukan tempat untuk mengeluarkan semuanya. Layar ini seolah menjadi tempat penampungan, dump site, dari semua hal yang ingin kubuang. Tapi tidak seperti halnya tempat sampah yang menjijikkan dan selalu dihindarkan orang karena entah baunya atau pemandangannya yang tidak mengenakkan, layar putih atau tempat penampungan -kukatakan saja tempat sampah- ini seperti terapi dari semua kekusutan, kekalutan, ketak-mengenakan, ke-Aaaarrrggggggggggh-an, dan segala macam tetek-bengek yang aku tak bisa menyebutnya karena tak ada dalam koleksi kosa-kataku, yang pada akhirnya selalu saja bisa memberikan terapi ketenangan batinku.
Ketenangan batin? Ah, barangkali itu yang tengah kualami. Batinku begitu kacau. Batinku begitu bergejolak. Entah apa penyebabnya. Ruang tengah yang kosong dan hening ini barangkali menjadi obat paling mujarab. Ibu dari segala kesunyian, yakni malam, juga barangkali tempat yang selama hampir bertaun-taun ini tak pernah lagi kudatangi, kunikmati. Begitu lama aku tak menikmati suasana seperti ini.
Sunyi.
Sepi.
Hening.
Diam.
Bisu.
Redup... bahkan sebagian gelap.
Duniaku yang dulu, bertahun bahkan belasan tahun lalu, menjadi teman setiaku. Sepi yang didalamnya aku, sesungguhnya, bisa mendengar banyak suara. Suara yang terdengar maupun suara yang bisu. Suara yang gaduh bahkan hingga suara yang senyap. Semua terdengar, baik oleh telingaku, atau oleh kekhusyukan sukmaku. Aku mendengarnya. Mendengar berbagai gaung di kepalaku dan entah rintihan atau ceracau yang merambat dari batinku. Aku mampu mendengar semuanya.
Batinku. Begitu kacau batinku. Aku seperti kehilangan sukmaku. Kehilangan sukma yang didalamnya hanya mengenal warna putih. Sukma yang didalamnya terbaring kebaikanku. Sukma yang didalamnya aku letakkan... kecintaan dan ketaatan pada Tuhan. Rabb. Aku lupa bahwa aku memiliki Tuhan dalam kedalaman batinku. Aku lupa bahwa aku memiliki kewajiban dan keharusan. Aku lupa bahwa aku hanyalah setitik debu belah selaksa. Aku lupa bahwa aku bukanlah apa-apa. Bukanlah siapa-siapa. Bahwa aku bahkan nyaris tak ada. Bahwa aku hanya seonggok daging yang memperolah karunia Tuhan berupa seutas atau selembar nyawa. Bahwa tanpanya, aku bukanlah apa-apa. Aku fana. Aku manusia. Aku... aku... aku... ..... .............. entahlah, aku ini apa. Aku hanyalah ’sesuatu’ yang tengah menapaki perjalanan... menghabisi waktu... menjalani peran... berpindah dari satu titik ke titik lain... berubah dari 0, 1, 2, 3... dan seterusnya, berubah dari putih, merah, biru, hitam dan seterusnya... yang semuanya bermuara pada satu kata... ’kematian’.
Bahwa aku hanyalah ’aku’ yang tengah melintasi entah garis, entah bidang, entah lapisan, entah apa pun namanya... dan menuju sebuah pintu. Pintu yang dibaliknya ada dunia yang bernama... keabadian. Sebuah pintu yang menjadi pembatas antara suatu waktu dimana aku melakukan apa pun dengan suatu waktu lain dimana aku harus ‘mempertanggung jawabkan’ apapun yang kuperbuat itu.
Di gelap ini aku tengah duduk, saat ini. Menatapi layar putih yang semakin penuh dengan karakter demi karatker yang terangkai tanpa kusadari menjadi begitu banyak kata yang berubah menjadi bentuk aneka, merupa warna, tentang aku... tentang aku. Dan aku memang tengah berada dalam gelap. Namun aku semakin jelas melihat. Ini gelapku. Gelap yang padanya aku, sebenarnya, bisa melihat banyak hal. Begitu banyak. Gelap yang semakin benderang ketika kupejamkan mataku, dan memampangkan begitu banyak gambar-gambar yang terputar kembali dalam layar putih yang hanya bisa kulihat ketika aku terpejam. Gambar-gambar yang berjalan dan berasal dari titik demi titik ribuan memori dalam benakku. Aku seperti melihatku. Aku seperti menyaksikanku. Aku seperti tengah menatapku. Aku seperti tengah menyaksikan sebuah film tentang keberadaanku.
Jam di laptopku telah menunjukkan waktu pukul 01.42 dini hari.
Dan mataku masih nyalang.
Tapi setidaknya batinku seperti alunan riak laut yang tenang. Lemah gemulai. Lembut melenakan.
Barangkali ini yang kusukai dari sunyi, sepi, hening dan gelap malam hari.
Selalu ada kedamaian, jauh didasar kesunyiannya. Kesunyian yang mana ketika kepak sayap nyamuk terdengar seolah seperti deru mesin mengaung. Ketika decak cicak terdengar seolah seperti langkah-langkah tapak raksasa. Ketika detak-detik jarum jam dinding seolah terdengar seperti detakan palu yang dihunjamkan berkali-kali ke permukaan keras. Ketika helaan nafasku yang paling halus seolah terdengar seperti nyanyian, nyanyian yang mendendangkan rangkaian keluh kesah, untaian yang seolah padanya kuharapkan segala beban terlontar dari dalam diriku, dari dalam ‘aku’-ku.
Ada kesadaran kutemukan.
Sepertinya aku telah beberapa waktu ini menelantarkan diriku, mengabaikan diriku, tak peduli aku, tak mengenali aku, dan membiarkan diriku terjerumus pada kekacauan batinku, dan sibuk membiarkan diriku mencari kesenangan… kesenangan yang padahal sesungguhnya semu. Amat sangat semu.
Ah, sesungguhnya dalam gelap ini aku bisa menyaksikan aku… begitu rindu pada sosok di peraduan itu… istriku. Satu alasan yang lebih dari cukup untuk mengajakku segera menutup laptop ini, menyudahi pelarianku ke dunia ini, menuruti permintaan tubuh ini agar segera terlelap, dan mencari kedamaian lain… sesuatu yang hanya bisa kudapatkan dengan cara… memeluknya erat penuh resap, tubuh hangat istriku yang padanya aku ingin… selalu jatuh cinta!
Ciledug, 25 Januari 2008, 01:55 AM
Meski mataku menatap nanar, namun sesungguhnya pikiranku tak ada disana. Aku nggak tahu apa yang kupikirkan. Aku nggak sepenuhnya menyadari apa yang kusaksikan. Mataku mungkin menelan bulat-bulat apa yang terpampang di layar kaca itu, tapi pikiranku seperti menolak seluruh informasi yang ditangkap mataku dan disalurkan ke otakku. Sepertinya semua yang kusaksikan seolah menguap begitu saja. Tak ada satu pun yang dapat kucerna.
Tapi aku tak juga beranjak menuju peraduan. Tak juga ingin tidur. Meski tubuhku lagi-lagi mengajakku untuk terlelap. Entah apa yang menahanku untuk tidur. Barangkali sadarku pun menginginkan agar aku segera tidur, tapi lagi-lagi entah apa yang ada dalam diriku, sesuatu menolak keinginanku untuk tidur.
Bosan. Jemu. Bingung. Aku lelah. Sungguh amat lelah. Ada sesuatu yang sakit di bagian pinggang belakang, sesuatu yang seharusnya menjadi alasan agar aku segera beristirahat. Dan sesungguhnya aku memang harus segera tidur, karena jika tidak pasti besok pagi aku akan bangun pagi kesiangan, padahal beberapa kerjaan kantor yang sangat penting menungguku besok pagi. Aku harus berangkat pagi-pagi sekali. Ada agenda penting yang bakal menentukan masa depan perusahaan tempatku bekerja. Tapi aku tak punya keinginan sama sekali untuk masuk kamar. Menikmati bantal-bantal yang empuk, kasur dan selimut yang lembut, hawa kamar yang sejuk dan.... istriku yang hangat dan tertidur pulas!
Aku blank. Benar-benar blank!
Kunyalakan kembali laptopku dari tidurnya (karena belakangan aku hampir tidak pernah benar-benar mematikannya, melainkan membiarkannya standby). Karena aku tak sabar untuk membuka layarnya, dan segera terjun membenamkan diriku ke dalam duniaku. Entah apa namanya. Dunia yang didalamnya aku bisa berteriak, bisa bicara apa yang kuinginkan, bisa menangis bebas, bisa mengeluh... apa saja. Terutama bisa mengeluarkan segala hiruk-pikuk, carut-marut, kacau-balau dan entah seribu macam hal-hal yang ingin semuanya kubuang... kukeluarkan, kuhempaskan, kuenyahkan jauh-jauh... habis tuntas seluruhnya tanpa sisa... dari benakku.
Menatapi layar putih kosong di laptopku aku seolah menemukan tempat untuk mengeluarkan semuanya. Layar ini seolah menjadi tempat penampungan, dump site, dari semua hal yang ingin kubuang. Tapi tidak seperti halnya tempat sampah yang menjijikkan dan selalu dihindarkan orang karena entah baunya atau pemandangannya yang tidak mengenakkan, layar putih atau tempat penampungan -kukatakan saja tempat sampah- ini seperti terapi dari semua kekusutan, kekalutan, ketak-mengenakan, ke-Aaaarrrggggggggggh-an, dan segala macam tetek-bengek yang aku tak bisa menyebutnya karena tak ada dalam koleksi kosa-kataku, yang pada akhirnya selalu saja bisa memberikan terapi ketenangan batinku.
Ketenangan batin? Ah, barangkali itu yang tengah kualami. Batinku begitu kacau. Batinku begitu bergejolak. Entah apa penyebabnya. Ruang tengah yang kosong dan hening ini barangkali menjadi obat paling mujarab. Ibu dari segala kesunyian, yakni malam, juga barangkali tempat yang selama hampir bertaun-taun ini tak pernah lagi kudatangi, kunikmati. Begitu lama aku tak menikmati suasana seperti ini.
Sunyi.
Sepi.
Hening.
Diam.
Bisu.
Redup... bahkan sebagian gelap.
Duniaku yang dulu, bertahun bahkan belasan tahun lalu, menjadi teman setiaku. Sepi yang didalamnya aku, sesungguhnya, bisa mendengar banyak suara. Suara yang terdengar maupun suara yang bisu. Suara yang gaduh bahkan hingga suara yang senyap. Semua terdengar, baik oleh telingaku, atau oleh kekhusyukan sukmaku. Aku mendengarnya. Mendengar berbagai gaung di kepalaku dan entah rintihan atau ceracau yang merambat dari batinku. Aku mampu mendengar semuanya.
Batinku. Begitu kacau batinku. Aku seperti kehilangan sukmaku. Kehilangan sukma yang didalamnya hanya mengenal warna putih. Sukma yang didalamnya terbaring kebaikanku. Sukma yang didalamnya aku letakkan... kecintaan dan ketaatan pada Tuhan. Rabb. Aku lupa bahwa aku memiliki Tuhan dalam kedalaman batinku. Aku lupa bahwa aku memiliki kewajiban dan keharusan. Aku lupa bahwa aku hanyalah setitik debu belah selaksa. Aku lupa bahwa aku bukanlah apa-apa. Bukanlah siapa-siapa. Bahwa aku bahkan nyaris tak ada. Bahwa aku hanya seonggok daging yang memperolah karunia Tuhan berupa seutas atau selembar nyawa. Bahwa tanpanya, aku bukanlah apa-apa. Aku fana. Aku manusia. Aku... aku... aku... ..... .............. entahlah, aku ini apa. Aku hanyalah ’sesuatu’ yang tengah menapaki perjalanan... menghabisi waktu... menjalani peran... berpindah dari satu titik ke titik lain... berubah dari 0, 1, 2, 3... dan seterusnya, berubah dari putih, merah, biru, hitam dan seterusnya... yang semuanya bermuara pada satu kata... ’kematian’.
Bahwa aku hanyalah ’aku’ yang tengah melintasi entah garis, entah bidang, entah lapisan, entah apa pun namanya... dan menuju sebuah pintu. Pintu yang dibaliknya ada dunia yang bernama... keabadian. Sebuah pintu yang menjadi pembatas antara suatu waktu dimana aku melakukan apa pun dengan suatu waktu lain dimana aku harus ‘mempertanggung jawabkan’ apapun yang kuperbuat itu.
Di gelap ini aku tengah duduk, saat ini. Menatapi layar putih yang semakin penuh dengan karakter demi karatker yang terangkai tanpa kusadari menjadi begitu banyak kata yang berubah menjadi bentuk aneka, merupa warna, tentang aku... tentang aku. Dan aku memang tengah berada dalam gelap. Namun aku semakin jelas melihat. Ini gelapku. Gelap yang padanya aku, sebenarnya, bisa melihat banyak hal. Begitu banyak. Gelap yang semakin benderang ketika kupejamkan mataku, dan memampangkan begitu banyak gambar-gambar yang terputar kembali dalam layar putih yang hanya bisa kulihat ketika aku terpejam. Gambar-gambar yang berjalan dan berasal dari titik demi titik ribuan memori dalam benakku. Aku seperti melihatku. Aku seperti menyaksikanku. Aku seperti tengah menatapku. Aku seperti tengah menyaksikan sebuah film tentang keberadaanku.
Jam di laptopku telah menunjukkan waktu pukul 01.42 dini hari.
Dan mataku masih nyalang.
Tapi setidaknya batinku seperti alunan riak laut yang tenang. Lemah gemulai. Lembut melenakan.
Barangkali ini yang kusukai dari sunyi, sepi, hening dan gelap malam hari.
Selalu ada kedamaian, jauh didasar kesunyiannya. Kesunyian yang mana ketika kepak sayap nyamuk terdengar seolah seperti deru mesin mengaung. Ketika decak cicak terdengar seolah seperti langkah-langkah tapak raksasa. Ketika detak-detik jarum jam dinding seolah terdengar seperti detakan palu yang dihunjamkan berkali-kali ke permukaan keras. Ketika helaan nafasku yang paling halus seolah terdengar seperti nyanyian, nyanyian yang mendendangkan rangkaian keluh kesah, untaian yang seolah padanya kuharapkan segala beban terlontar dari dalam diriku, dari dalam ‘aku’-ku.
Ada kesadaran kutemukan.
Sepertinya aku telah beberapa waktu ini menelantarkan diriku, mengabaikan diriku, tak peduli aku, tak mengenali aku, dan membiarkan diriku terjerumus pada kekacauan batinku, dan sibuk membiarkan diriku mencari kesenangan… kesenangan yang padahal sesungguhnya semu. Amat sangat semu.
Ah, sesungguhnya dalam gelap ini aku bisa menyaksikan aku… begitu rindu pada sosok di peraduan itu… istriku. Satu alasan yang lebih dari cukup untuk mengajakku segera menutup laptop ini, menyudahi pelarianku ke dunia ini, menuruti permintaan tubuh ini agar segera terlelap, dan mencari kedamaian lain… sesuatu yang hanya bisa kudapatkan dengan cara… memeluknya erat penuh resap, tubuh hangat istriku yang padanya aku ingin… selalu jatuh cinta!
Ciledug, 25 Januari 2008, 01:55 AM
No comments:
Post a Comment