Apr 20, 2007

Kebersamaan,, Brotherhood

Dear Blogger...

Barangkali gw terlalu sentimentil or yg sering orang bilang too melow.. But, this is what I am feeling now. Barangkali apa yg gw rasa ini juga seringkali dirasakan oleh orang lain, or tentu aja dirasain juga sama sodara-sodara gw. Tapi, entah karena gw yang seneng ngemong atau karena emang posisi gw sebagai kakak, gw merasakan ada satu perasaan baru yang gw kenali sebagai rasa kasih sayang sesama saudara sekandung.

Belakangan gw begitu worry sama adek-adek gw yang notabene udah pada mandiri, notabene all men pulak, dalam mereka menjalani their own life. Gw makin melihat, bhw hidup itu adalah suatu proses yang ga pernah berhenti. Di satu titik mungkin kita pernah merasakan bahwa kita mulai menapaki ke arah kemapanan, namun di waktu lain pada titik yang lain, membawa kita ke arah perjuangan baru yang sesungguhnya memberi kita kesadaran bahwa kita masih jauh dari titik kemapanan yang kita harapkan itu.

I'm concern about them, my brothers..

Beberapa hari belakangan ini gw worry mikirin salah satu ade gw, yang kebetulan paling bontot dari 8 bersaudara, yang tiba-tiba aja punya keinginan melepaskan diri dari titel 'kekaryawanannya'.. Tiba-tiba aja dia kekeh mo ninggalin kerjaan, posisi dan gajinya (yg buat gw, lumayanlah..) untu memulai satu titik baru dimana dia mo nyoba kemampuannya untuk berwirausaha.

I'm worry about what is it gona be, kalo dia jalanin usaha dia ini n it resulting something none..

Tapi, terus terang gw salut banget sama Yayan karena dia punya keyakinan kuat. Dia punya prinsip bener2 teguh. Sekali memutuskan, gak ada kata ragu apalagi surut kebelakang. Damned, I should be embarashed myself for not having a strong faith like him!.. Cuma saja, sebagai kakaknya, gw selalu mikirin apa yang terjadi dgn dia kalo some day dia mengalami kegagalan? Karena apa yang dia ambil, itu nggak cuma memiliki konsekuensi thd dia pribadi, tapi ini menyangkut his family, my other brothers and sisters yang suka nggak suka, sometime depend on him beside me (hehehe, nyombong dikit!). The most important one is, our mom. Dia org pertama yang sebenarnya paling nggak setuju kalo Yayan resign dari kerjaannya. Jeezee, gara kenekatannya pulak mommy jadi marah ke gw krn dibilang gw ga bisa kasih pandangan ke Yayan... :-(

So, beberapa hari belakangan ini gw seperti nggak kenal kata capek melakukan apa pun yang gw bisa, ngeluarin semua kemampuan berpikir gw, supaya niat n rencananya terlaksana.. Buka usaha Kafe. Spt yang pernah gw bilang di postingan kemaren, buka kafe or kedai.. 'Kedai Kang Komar' or 'Kafe Kang Komar'.. Nyetir gantian pulang pergi JKT-Bandung pulang hari.. Berangkat sore pulang dini hari. Rest satu hari, and next day gitu lagi.. Sekedar untuk survey dan melakukan semua persiapan yang gw anggap perlu supaya kafe ini berdiri. Hunting lokasi, nge-deal dengan pemilik lahan, bikin konsep kerjasama, bikin FS (hmmm, semua usaha seserhana apapun harus ditinjau dari sisi FSnya lho. Supaya bisa ambil kesimpulan suatu usaha itu layak dijalanin apa nggak), cari bahan material yg murah di Bandung, cari calon karyawan, deelesbe.

Semua itu gw lakuin cuma karena... tiba-tiba aja gw merasa duuh, ade gw ni kok masih gw anggap anak kecil aja ya. Masih gw anggap dia itu bontot yang gw ga bisa nggak harus gw bantu. Semua itu gw lakuin karena.. God knows.. gw tu tiba-tiba aja sadar, gw sayang banget sama adek2 gw. Perasaan yang baru gw sadarin, ternyata itulah makna pertalian darah. Bahwa apa yang dia rasain, susah-senang-berat-ringan-repot-nyantai, gw seperti ikut ngerasain. Gw tiba-tiba sadar, dulu kita nggak banyak punya kesempatan untuk ngerasain kebersamaan spt yg gw alami sama adek-adek gw belakangan ini. Karena kita memang nggak ngalamin tumbuh besar dan jalanin masa kanak2 bersama-sama, dalam satu naungan rumah yang sama.

Ternyata emang bener, rasa kasih sayang itu nggak secara otomatis tumbuh di hati kita even terhadap saudara sekandung. Rasa itu tumbuh, seiring dengan kebersamaan yang kita bangun, kebersamaan yang kita ciptakan. Yang membawa kita pada kesadaran yang sama.. bahwa kita ini bersaudara.

We're Komed Bros... Komar Memed Brothers..

Putra-putra Komar Memed, our beloved father!!!

Aku Rindu Kau, Ibu,,,

Akhir-akhir ini aku dihinggapi rasa rindu yang begitu deras menerpaku, tak tertahankan. Rindu pada seseorang yang padanya aku seolah ingin berlari saat ini juga, ingin hadir dihadapannya, ingin memintanya merengkuhku, dan ingin seketika merebahkan diri di haribaannya. Ingin merasakan jari-jarinya yang lembut, menyusuri tiap-tiap helai rambutku. Ingin merasakan setiap ruas di jari-jarinya yang penuh kedamaian, menyentuh setiap pori di kulit kepalaku. Ingin menikmati ketenangan masa kecilku.

Begitu menderu rindu menyergapku. Rindu pada ibuku.

Seketika aku ingin menyapa kerut-kerut di wajahnya. Rindu menikmati giginya yang makin jarang, tanggal satu demi satu seiring waktu. Rindu pupil matanya yang makin kabur dimakan usia. Rindu tawa terkekehnya, tiap kali aku mengajukan sebuah canda. Rindu sifatnya yang keras kokoh bagai batu tiap kali aku berdebat. Rindu bentakannya yang dulu kerap membuatku mengkerut. Rindu pada kesempurnaannya sebagai seorang ibu. Rindu sosoknya yang bagai malaikat pelindungku sejak aku bayi dan bahkan hingga kini. Kerinduan yang lengkap.

Di wajahnya aku seperti membaca riwayat panjang perjalanan yang penuh dengan keletihan. Jauh sebelum aku dan saudara-saudaraku lahir. Perjalanan yang ia mulai sejak kecil ketika Jepang pertama kali menjejakkan kakinya di bumi Andalas, ketika ia belum lagi mengenal pakaian untuk menutup tubuh dekil kecilnya yang kerap telanjang dada, ketika ia masih belia. Lalu dilanjutkan ketika masa kanak-kanaknya ia mulai ditinggalkan orang-orang yang seharusnya melindunginya satu demi satu, mulai dari ayahnya, lalu ibunya. Perjalanan yang membawanya ke Jakarta, untuk bernaung dibawah pengasuhan ninik mamaknya, suatu masa yang penuh dengan cerita jauh dari kebahagiaan.

Beranjak remaja dan dewasa, waktu demi waktu dijalaninya dengan peran sebagai seorang yang harus senantiasa survive, tak ada cerita masa remaja adalah masa yang paling indah. Waktu membawanya ke Bandung untuk kemudian menjalani tahap lain dari perjuangan untuk bertahan hidup disana. Tak ada pula cerita indah disana. Bahkan sampai ketika seorang pemuda sunda menyuntingnya, seseorang yang kemudian menjadi ayahku. Barangkali ada kisah cinta yang indah buatnya, tapi tak pernah ada cerita indah dia kabarkan padaku, kerap kali ia bercerita.

Ibu, yang kuingat darimu adalah kata-kata tentang kebahagian.. bahwa bagimu cukuplah kebahagiaan itu ketika melihat kami lahir, tumbuh, besar, sekolah… dan kami tak kelaparan! Cukuplah kebahagiaan itu bagimu ketika kami tumbuh menjadi anak-anak yang dewasa dan mandiri. Kokoh berdiri dalam kesederhaan kami!!! Cukuplah bagimu kebahagiaan itu ketika kami tak lagi mengenal apa arti kemiskinan dan kepapaan. Itulah kebahagiaanmu. Kebahagiaan yang sangat sangat sangat sederhana.

Di kerutnya aku seolah menangkap derita yang tak pernah kering, jauh dari kesenangan. Jauh sebelum ia memulai perjuangannya membesarkan kami, delapan bersaudara, dengan tangan dan kakinya sendiri.. tangan-tangan yang kini ringkih. Dengan tenaganya yang seperti matahari, tak henti terpancar. Dengan langkahnya yang seperti bumi, tak pernah henti berotasi.. tak pernah langkahnya terhenti. Di kerutnya aku melihat rumah megah yang dulu kami huni, tempat kami lahir satu per satu, nyenyak dan nyaman merasakan kasih sayang, melewati masa kanak-kanak.. dalam keriangan. Lalu rumah megah itu harus berpindah tangan, ketika ayah –satu-satunya sandaran yang ia miliki, kembali ke haribaan Yang Kuasa. Dan kau memulai lagi perjuangan berat yang sesungguhnya tak pernah sempat kau tinggalkan.

Kau besarkan kami dalam kebersahajaan. Kau teteskan darah dan keringatmu agar setiap saat tetesan darah di raga kami penuh dengan energi. Agar darah di raga kami mengalir dan menjaga kami tetap hidup, tumbuh dan terus tumbuh.

Ya Tuhan, betapa aku sangat merindukannya. Betapa aku sangat menyayanginya.

Betapa ingin memelukmu saat ini. Perasaan yang makin membuncah tiap kali menikmati ribuan wajahmu yang kini seakan menjadi mozaik yang menceritakan tentang rangkaian perjalananmu, sesuatu yang sebenarnya bermakna lukisan kehidupanku!

Aku rindu kau, Ibu…