Aug 24, 2006

Happy Anniversary, My Bonny

Thursday, 24 Agustus 2006

 

Bonny sayangku,

 

Aku tahu seharusnya hari ini bisa memberi kamu sesuatu yang istimewa. Seperti puisi misalnya. Seperti yang biasa kita lalui di waktu-waktu yang lalu tiap kita merayakan sesuatu yang istimewa, seperti hari ini, di ulang tahun pernikahan kita yang ke 11.

 

Maafkan aku karena hari ini aku nggak bisa memberi kamu puisi. Karena aku memang nggak bisa membuat puisi lagi belakangan ini. Entah kenapa. Barangkali karena memang pada dasarnya manusia berubah. Mungkin aku memang berubah.

 

Monk,

 

Seharian ini aku berusaha mengingat kembali apa2 yang telah kita lalui bersama. Perjalanan yang telah kita tempuh. Semua yang telah kita rasakan bersama. Susah dan senang. Hari ini aku berusaha meresapi apa warna pernikahan kita. Satu hal yang aku tahu pasti jawabannya adalah apakah aku bahagia menjalani semua ini bersama kamu? Ya, aku bahagia sekali. Setiap kali sesuatu mengusikku, aku selalu kembali kepada pertanyaan tersebut dengan jawaban yang sama. Aku bahagia bersama kamu, Bon. Dan itu cukup menjadi alasan buatku untuk terus berjalan bersama kamu.

 

Mungkin nggak banyak yang bisa aku katakan ke kamu tentang apa yang aku rasa selama ini, yang kita rasa selama ini, tentang pernikahan kita, karena sebenarnya kita telah merasakannya bersama-sama. Mungkin lebih tepat kalau hari ini aku mengucapkan permohonan maaf atas apa yang telah aku perbuat kepada kamu selama ini, mohon maaf atas segala kekurangan-kekuranganku, sebagai seorang suami, sebagai kekasih, sebagai teman dan sebagai ayah bagi anak2 kita. Banyak hal yang aku sadari hari ini, bahwa aku memiliki banyak kekurangan. Dan aku mohon maaf untuk itu. Namun banyak hal yang membuat aku makin mencintai kamu, yaitu cara kamu menerima semua kekuranganku, hingga hari ini. Dan itu akan selalu menjadi alasan untukku selalu mencintai kamu.

 

Jika cinta memang menjadi dasar bagi rasa sayang yang kita miliki satu sama lain, aku berharap dan akan terus berdoa agar cinta yang kita miliki nggak akan pernah padam. Tak peduli berapa lama waktu yang telah kita lalui, tak peduli seperti apa kita nantinya, aku berharap cinta akan terus menjadi bahasa kita sehari-hari.

 

Istriku, kekasihku...

 

Selamat ulang tahun pernikahan kita. Semoga tahun-tahun yang telah kita lewati akan terus mengasah kita menjadi sepasang kekasih yang kuat menghadapi apapun. Semoga apa yang telah kita jalani akan terus melekatkan kita, mengkristalkan apa yang telah kita satukan, dan menegaskan kita bahwa kau dan aku adalah satu yang utuh. Tak terpisahkan. Tak ada ruang untuk perpisahan.

 

Aku mencintaimu, selalu...

Ponk

 

My Birthday...

Catatan kecil minggu lalu...

 

 

Saturday, 19 August 2006

 

 

My birthday...

Setiap orang pasti menganggap birthday itu adalah hari yang paling istimewa. Jelas. Buat gw juga. Meski gw nggak menjadikan hari ini sbg satu hari yang istimewa, tapi gw merasa hari ini gw jadi some one spesial. Dan tepat hari ini, 19 Agustus 2006, jam 00.00 wib, jadi moment paling istimewa.
Hari ini jam ini menit ini detik ini, gw pas memasuki hitungan usia yang ke 35 tahun. Thank God.

 

Gw merasa jadi some one spesial karena pas di saat ini gw berada di tengah sodara-sodara gw, semobil, dalam perjalanan pulang dari Kediri – Jogja – Bandung – Jakarta. Meski nggak ada perayaan khusus atau acara tiup lilin plus motong birthday cake, tetep aja gw seneng banget. Setidaknya tepukan di pundak dan keprukan bantal kursi di pala gw dari sis n bro, udah bikin gw merasa so happy.

 

Tiga puluh lima tahun!

 

Jeezee..!!! Sudah selama itu gw menghirup nafas kehidupan rupanya. Nggak terasa. Bener2 nggak terasa. Rasanya baru kemarin gw memasuki usia kepala 2, memulai kedewasaan. Gw bener2 nggak ngeh kalo sekarang gw udah di tengah perjalanan di rentang usia kepala 3.

 

Hm, kalo gw mikirin apa2 yang belum bisa gw raih, rasanya gw bakal akan jadi orang yang gak pernah inget bersyukur. So, today I raise a pray to God and gratefull to HIM for everything HE had given to me.

 

Gw inget lagi kejadian hari malam itu. Persis di detik terakhir di tanggal 18 Agustus 2006, tengah malam itu, gw tebar pandangan gw jauh ke titik-titik di langit sana. Persis di detik-detik itu gw berada di luar, berdiri di tengah hamparan luas petak-petak persawahan di sebuah desa yang bernama Gombong, Kabupaten Kebumen, Jogja. Sekeliling gw adalah rumah2 warga yang sangat sederhana. Dan di detik itu gw berusaha ngumpulin segenap kesadaran gw, menghitung semua yang udah Tuhan berikan kepada gw selama ini. Banyak banget. I thank God for the chance He’d given to me to raise the number of 35. It’s not a matter of how many years I’ve been passing by. It’s time that does matter. Berapa banyak waktu yang gw manfaatin buat sesuatu yang berguna, melakukan hal-hal yang baik.

 

Gw pernah bertanya-tanya kenapa setiap orang makin dewasa makin matang. Barangkali jawabannya seperti apa yang tengah gw pikirin saat ini. Semakin banyak waktu yang gw udah lalui, makin berkurang sisa waktu yang mungkin gw miliki. Gw bisa tahu persis apa2 yang udah gw lewati dan berapa banyak yang udah gw habiskan, sementara gw nggak tahu sama sekali brp lama lagi waktu yang gw punya. Dan itu mendatangkan perasaan yang makin mendekatkan gw pada sesuatu yang mungkin di usia-usia gw sebelumnya nggak pernah gw pikirin secara serius... Which is GOD, the one that I’m gonna meet someday, for sure.

 

Hehehe, kok lucu ya. Makin kesini, gw makin inget some day when I’m gonna leave this kind of world, this kind of time.

 

GOD, THANK YOU… For giving me time to live.

 

HAPPY BIRTHDAY, ramz!!!

 

Today's on It's Me...


Lembang...

Tiap kali aku menjejakkan kaki di desa ini, aku selalu hanyut dalam kenangan masa kecil. Kembali ke satu sosok seorang anak kecil kurus dan ringkih, berambut cepak dengan jambul ala tentara di depan, dengan wajah yang melulu belepotan debu bercampur keringat.

Udaranya yang masih dingin seperti dulu, airnya yang selalu saja membuatku seakan mengkerut tiap kali aku mandi di pagi buta, tanahnya lempung dan getas dan udaranya yang sesekali menebarkan aroma timbunan kotoran sapi yang diubah menjadi pupuk. Ya, desa kecil ini memang tak pernah berhenti menghasilkan susu murni hasil peternakan sapi yang hampir dimiliki setiap keluarga disini. Apalagi, peternakan itu persis berada di hadapan rumah yang dulu milik kakekku.

Rumah ini dulu begitu asri. Sebuah rumah panggung yang luas untuk penghuninya yang terdiri dari beberapa keluarga, termasuk ayahku. Dindingnya bilik bambu. Tanahnya lembut dipijak. Aku kerap meluangkan waktu kanak-kanakku dengan bermain gundu. Kini rumah panggung itu tak ada lagi. Pemilik rumah yang sekarang, bibiku, dan kemajuan yang turut dinikmati masyarakat desa ini, telah menyulap rumah panggung ini tak ubahnya rumah di kota-kota. Rumah berdinding bata dan berlantai keramik. Dan pekarangan tempatku bermain gundu itu pun tak ada lagi. Sebagian berubah menjadi teras semen dan sisanya berubah menjadi rumah-rumah milik orang lain, karena kepemilikan tanah telah berganti.

Tak ada lagi anak-anak yang berlarian memainkan pelek roda sepeda ontel yang digelindingkan dengan sebilah bambu, atau anak2 perempuan cilik yang bermain lompat tali. Tak ada lagi tangan dan muka-muka cemong yang asik bermain gundu. Karena anak-anak sekarang ini lebih suka menghabiskan waktu di depan kotak ajaib yang bernama Play Station, baik di rumah masing2 atau di rental PS.

Sebagian, memang, masih ada yang tak berubah. Pemandangan alamnya! Letak rumah peninggalan kakekku yang persis berada di tengah lereng bukit, menghadirkan pemandangan yang tak pernah henti-hentinya kukagumi. Siang dan malam, pagi dan sore hari.

Pagi dan sore hari, dari loteng rumah ini aku bisa menikmati matahari yang memanggang sisa-sisa kabut, menyembul dari balik gunung Tangkuban Perahu yang menjulang mengoyak tebaran awan. Jalanan yang menurun dan berliku menjadikannya serupa ular yang meliuk-liuk, berwarna keperakan memantulkan cahaya matahari.

Memandang ke sebelah kiri, ke arah barat, cahaya matahari seakan merayapi punggung bukit, yang sering disebut penduduk sekitar dengan panggilan Gunung Putri, dan menghijaukan undakan-undakan ladang jagung, sawi, tomat dan tanaman lain yang dibudidaya para peladang dan petani. Dulu aku sering mendaki bukit ini, berpacu dengan kakak2ku. Seperti tak ada bosan kami mendaki hingga ke puncaknya, karena dari puncak bukit itu jiwa kekanakanku merasa seakan aku tengah berada di atap dunia. Menikmati mobil yang bergerak perlahan dan terlihat kecil bahkan lebih kecil dibanding kotak korek api. Lalu aku berlari menuruni lereng bukit. Tak ada keriangan yang bisa melebihi ketika aku berlari menuruni lerengnya yang curam. Asik sekali.

Malamnya adalah romantika alam yang terang bermandi cahaya lampu. Tak ada kata lain untuk melukiskan apa yang kulihat, selain.. indah. Begitu indah. Bahkan sampai hari ini aku masih saja berdecak kagum menikmati keheningan yang bertabur cahaya lampu di kejauhan itu.

Dan beberapa ratus meter dari rumah yang kusinggahi ini, terdapat sebidang tanah tempat makam keluarga. Di sanalah terbaring jasad ayah yang telah lama meninggal, ketika aku masih ingusan dan belum lagi dikhitan. Sosok ayah yang tak sepenuhnya kukenali. Waktu yang demikian singkat untukku mengenal ayah, meninggalkan kenangan yang tak begitu banyak. Jika bukan karena foto-foto peninggalan beliau, barangkali aku tak begitu hafal seperti apa wajahnya.

Selalu ada keharuan tiap kali aku berdiri di pusaranya. Seperti hari ini. Aku, ibu dan saudara-saudaraku, serta pasangan dan anak-anak kami masing-masing berkumpul di hadapan pusara ayahku. Entah apa yang ada dalam pikirannya atau siapa yang mempengaruhinya, si kecil Mey-mey sejak beberapa terakhir memang selalu saja merengek ingin ’melihat’ kakeknya.

”Mey-mey mau lihat kakek. Mey-mey sedih nggak punya kakek,” rengeknya dengan mimik yang membuatku trenyuh. Heran, dari mana anak berumur 3 tahun ini belajar mengutarakan perasaannya sampai bisa bertingkah seperti itu.

Dan hari ini, menyaksikannya duduk bersimpuh bersama dengan sepupunya, Nanda dan Sita, dua-duanya balita, membuatku kehilangan kata-kata. Aku, kedua adikku, kakakku tertua, dan ibu, semuanya seakan larut dalam kesedihan yang tak terkatakan. Aku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun, hingga aku meminta kakak iparku untuk memimpin doa. Jangankan untuk berdoa, menjawab pertanyaan Mey-mey pun aku tak mampu, ketika Mey-mey bertanya kenapa kakek nggak mau bangun lagi.

”Mey-mey liat di tipi orang kok bisa bangun lagi dari kuburannya, pa?” tanyanya polos. Dan aku Cuma bisa menjawabnya dengan senyuman pahit. Aku peluk anakku lembut, ”kita berdoa aja, ya,” ajakku terbata.

Meski tak ada isak tangis dan air mata, namun aku bisa melihat ibuku larut dalam kesedihan yang mendalam. Ada kerinduan yang begitu jelas terpancar dari matanya, begitu jelas dari gerak-geriknya yang seakan tak puas-puas menuangkan air yang kami bawa dari rumah. Diantara bunga-bunga yang ia tebarkan, aku bisa melihat ia membisikkan, entah doa, atau mungkin dialog –yang hanya dia sendiri yang bisa memahami- dengan pusara ayahku. Kakakku tertua, Ipong, tak mampu menahan keharuannya dan terisak.

Sore semerta membekap kami dengan kesenyapan. Hampir sepanjang perjalanan pulang, ke Jakarta.

Aug 23, 2006

Kangennya...

Hari ini 23 Agustus 2006.. Terakhir aku nengokin blog yg sederhana ini 17 Juli 2006. Sebulan lebih aku nggak maen2 kesini. Kangennya… Bukan Cuma kangen sesuatu spt yang gw rasakan sekarang ini, right now, right here.. again gw duduk bengong di hadapan monitor, membaca apa yg gw tulis, menuliskan apa yang gw rasa. Sebulan lebih gw seperti jadi orang yang lain. Sebulan lebih gw seperti mengabaikan sisi gw asli. Sebulan lebih gw bukan hanya cuek pada sekeliling gw, tapi bahkan gw cuek pada diri gw sendiri. I dont know what was goin’ on..

 

Hampir tiap hari gw melakukan apa yg justru nggak ingin gw lakukan. Gw nggak ngerti kenapa, tapi sepertinya gw tengah menghukum diri gw sendiri dengan melakukan banyak hal yang bertentangan. Entah ini menghukum diri sendiri namanya, atau bosan menjadi diri sendiri, atau berontak pada sesuatu yang gw sendiri juga nggak ngerti apa, atau emang dasarnya gw yang lagi pengen berubah.

 

Ah, hari ini gw kangen banget. Kangen suasana ini. Kangen membaca apa yang tertulis di monitor spt apa yang saat ini gw baca, tulisan gw sendiri. Kangen dengan suara hati gw yang Cuma bisa gw denger dengan cara seperti ini. Kangen dengan all of you, fellows, whoever can read this blog. Arrgh, kangen Inul Vista.. Kangen mommy Dahlia. Kangen, gw…

 

Hm, ntar mampir, ah.. Mudah2an masih ngenalin gw, die... :D:D:D

 

 

Cilandak, 08:51pm.. Di kantor.