Sep 19, 2005

Keimananku...


Kata orang kadar keimanan seseorang itu seperti permukaan air di lautan.. Selalu mengalami pasang surut. Yeah, seperti apa yg saat ini sedang Aku alami.

Aku nggak tahu kenapa, tapi selalu saja Aku mengalami hal seperti ini. Kadang Aku menjadi seseorang yang merasa dekat sekali dengan Tuhan. Dikala seperti ini rasanya damai sekali. Tak ada rasa ketakutan, tak ada keresahan. Hati menjadi begitu cengeng dan gampang hanyut dalam tangis. Jiwa menjadi lembut seperti gumpalan mega, dan Aku menjadi org yang senantiasa larut dalam penyesalan, lebur dalam doa yg diiringi tangis karena mengingat dosa.

Namun, disaat lain, kadangkala Aku menjadi seseorang yang lain. Aku menjadi seseorang yang asing, bahkan dengan diri Aku sendiri. Aku tak bisa memahami diri. Jiwa yang mengendalikan raga ini seperti tak mampu Aku kendalikan. Dan Aku seperti sebuah ruang kosong berisi kehampaan. Aku benar-benar jadi seorang sombong dan pembangkang. Hati menjadi mati. Jangankan menangisi diri yang berlumur dosa-dosa, berdoa pun seringkali lupa. Atau, bahkan panggilan menghadap sang Khaliq pun kadang menjadi terabaikan begitu saja. Aku benar2 menjadi seorang pendosa, melakukan semua kegilaan ini dengan kesadaran penuh tak kurang sedikitpun.

Ahhh, sungguh Aku tak pernah bisa memahami. Betapa susahnya menjadi seseorang yang Aku inginkan.

Tuhan, ampuni Aku karena tak mampu istiqomah dalam kebenaran dan jalan yang kau ridhoi.

(Sept 2005)

Tak Hilang Jua (a poetry)

diam.
membayang.
kurejam kau hingga meremang.
menguap melayang
namun tak hilang jua

tak perlu lagi kucari sepi,
sembunyi.
karena kau tak pernah mati
di kedip mata dan lelapku
kau ada
tak lenyap sesaat jua


(19.09.05)


Sep 16, 2005

Kepada Awan Yang Berarak




Kepada Awan Yang Berarak,

Dimanakah cinta seharusnya tumbuh dan hidup? Apakah dalam dua ruang hati yang selalu terisi dan terikat oleh hidup dan cerianya percakapan, dan kelembutan tatapan mata yang saling bersambut? Atau di ruang hati yang terekat oleh setiap sentuhan yang disengajakan? Atau dua hati yang menyatu karena kebersamaan seiring waktu yang berjalan?

Kalau memang demikian, lalu apa yang terjadi di antara kita? Kita begitu jauh terbatas oleh ruang dan waktu. Tak ada bahasa tatap mata yang kita ucapkan untuk menghangatkan kita. Juga tidak sentuhan yang saling memanjakan ruas-ruas di permukaan kulit kita. Atau juga jalinan waktu yang kita rajut bersama-sama. Tidak ada. Karena aku sibuk dengan riak gelombang, dan kau sibuk melayang di ketinggian.

Yang ada hanya rentang waktu yang panjang yang berisi detik-detik dimana aku menunggumu, dan kau mengingatku. Sedang waktu seperti tak pernah beranjak dan diam membatu. Sehari seperti berbulan, seminggu seperti berwindu-windu. Begitu deras rindu membuncah, menyergap kita. Dan kita seperti mendapatkan suntikan nafas kehidupan setiap kali kita bicara, padahal cuma sebatas bertukar kata. Meski kita dibatasi oleh jarak yang tak terhingga.

Cinta apa yang sedang kita tanam dan semai sedang kita menebarnya di ladang kemustahilan? Adakah angin yang menebarkan benih yang selalu menghembus dan menyelimuti kita? Nyawa apakah gerangan yang menghidupinya? Tak ada jawaban yang mampu memuaskan ketidakmengertianku akan rasa yang terus tumbuh, meski sekuat apapun aku ingin menghentikannya. Tak ada kemustahilan yang bisa kuterima akan cinta yang terus hidup sebesar apapun keinginan untuk mematikannya.

Cinta itu hidup, tanpa media ruang. 
Tanpa alasan. 
Tanpa perdebatan.
Tanpa kepedulian.

Dan aku tak pernah bisa mengerti hingga kini, seperti selalu kupertanyakan... di manakah gerangan cinta seharusnya tumbuh dan hidup? Dengan apa dan mengapa dia bisa berakar, tumbuh berkembang dan membesar bahkan selalu saja menggelepar lapar. Tak ada jawab untuk itu, untukku. Selain cakrawala yang menyapaku dan memintaku untuk bersabar, dan menjalani hari-hari yang penuh pertanyaan itu dengan ketidakperluan akan perdebatan, kepedulian dan alasan apapun.

Hanya satu yang kumengerti... Cinta itu memang ada. Pour voi!