Oct 26, 2007

Tentang Ibu,,,

Today's on my journey:

Tentang Ibu,,,


Malam ini aku baru saja merasa terlelap, ketika ponselku berbunyi nyaring, membuatku tersentak kaget. Jam 11.23 malam. Ternyata ibuku, menanyakan kabar tentang aku. Memang beberapa hari terakhir ini aku sakit radang tenggorokan. Cukup parah hingga pita suaraku tak mampu kupakai untuk bicara. Seperti biasa, beliau menunjukkan kekhawatirannya. Tiap kali aku sakit atau bahkan meski hanya sekedar ‘kurang enak badan’, beliau langsung bersikap khawatir dan memintaku untuk segera ke dokter.

Hampir 7 menit kami bicara. Entah kenapa, aku tiba-tiba kehilangan rasa ngantuk. Pikiranku melayang mendapati ibuku, wanita berusia hampir ¾ abad itu. Aku gelisah dan diliputi perasaan bersalah. Betapa aku bisa tidur nyaman, berpelukan dengan istriku yang cantik, sementara wanita itu, ibuku yang mulai renta itu, harus terbaring sendiri. Benar-benar seorang diri, di rumah yang beliau tempati, karena sudah 2 hari ini, Arum, adikku perempuan yang biasanya menemaninya, tinggal bersamaku, karena harus menjaga toko P&D yang kukelola.

Aku tak bisa tidur. Pikiranku berkecamuk memikirkan ibu yang sendirian disana. Entah kenapa, aku seperti menangkap nada kesepian dalam suaranya. Bagaimana jika ada apa-apa? Bagaimana jika ibu butuh seseorang untuk teman bicara? Bagaimana jika tiba-tiba ia merasa takut karena sendirian di rumah yang menurutku cukup besar itu?

Rasanya aku ingin menangis. Di usianya yang makin renta, ibu malah kehilangan orang-orang yang seharusnya ada bersamanya. Tidak ada ayah (yang memang sudah lama wafat sejak 1976). Tidak ada cucu yang mau tinggal bersamanya. Tidak ada kakak atau adikku yang mau tinggal bersamanya, karena alasan sudah memiliki keluarga masing-masing. Sementara untuk menampung Ibu untuk tinggal bersama salah satu diantara kami, juga tidak mungkin karena sifat Ibu yang memang tidak suka bergantung pada orang lain, meski pun terhadap anak-anaknya sendiri, disamping karena faktor ekonomi dimana masing-masing rumah kami tidak memiliki ruang atau kamar yang cukup untuk menampung Ibu.

Rasanya aku ingin menangis. Di sisa hidupnya yang seharusnya ia jalani dengan tenang dan damai, Ibu masih harus berjuang seorang diri.

Barangkali aku memang kurang memikirkan beliau. Ya, seharusnya aku dan saudara-saudaraku bisa berbuat sesuatu untuk meringankan bebannya. Setidak-tidaknya, meringankan beban penderitaannya.

Ah, aku harus berbuat sesuatu besok... Selamat malam, mom.. Semoga mommy bisa tidur nyenyak malam ini.. God bless you.


Sep 5, 2007

Kedutan

Today on it's me...

Beberapa hari ini, kurang lebih seminggu, aku ngalamin kedutan di wajah. Persisnya di bawah mata sebelah kiri, agak dekat ke pangkal hidung. Sehari dua hari hal ini nggak kuacuhkan. Tapi makin kesini, lebih seminggu ini, masih saja berlangsung. Lama-lama mengganggu juga..

Jadi inget ada orang yang pernah bilang, katanya kalo kita mengalami kedutan (kedutan itu seperti apa ya?? Kalo boleh diterangin, itu semacam ada gerakan sedut-sedut di bagian tertentu di wajah, tangan atau bagian lain.. Pokoknya, ya.. kayak gitu lah.. Ini bukan gerakan yang dipengaruhi oleh otot motorik secara sadar, lho!?), itu ada hubungannya dengan sesuatu yang akan kita alami di kemudian hari. Bisa dalam waktu dekat, tapi bisa juga dalam rentang waktu yang cukup lama. Misalnya, kedutan di mata kanan, katanya ada yang ngangenin.. Kedutan di mata kiri sebelah bawah, kita bakal ngangis.. entah nangis karena kesenengan atau nangis karena kita mengalami sesuatu yang menyedihkan.. Benar nggaknya.. ya, nggak ada yang tahu persis.

Duh, yang jelas ini mengganggu banget.. Tapi sejujurnya, jadi kepikiran juga.. Kiranya bakal ada apa ya??? Mudah2an ini pertanda baik.. misalnya bakal dikasih kendaraan baru oleh boss di kantor :D:D:D

Amin...

Duhhh, sedut-sedut lagi...

Sep 3, 2007

Tak 'kan berhenti aku mencintaimu

Rindu membuncah,

ingin kumendekapmu



Cinta merajah,

hadirkan melulu tentangmu



tak 'kan berhenti;

aku mencintaimu





Rasa kangen ini tiba-tiba saja menyergapku. Membuncah. Begitu kuat keinginan hadir untuk berada disisimu saat ini juga, agar aku bisa mendekapmu. Jika bisa kita ibaratkan kita adalah sepasang remaja yang baru saling kenal dan saling suka, maka rasa cinta seperti dua remaja yang baru saling kenal, saling suka dan saling mengingini satu sama lain inilah, cinta yang merajah di relung kalbu. Cinta yang merajai seluruh kesadaranku, yang membuat benakku melulu menghadirkan bayang-bayang tentangmu.



Rindu ini seketika membawaku kembali ke masa lalu. Ketika di bulan Juni 1993, sepulangku dari bandara Cengkareng sehabis mengantarkan salah seorang kolega, tiba-tiba saja ada sebuah kekuatan yang begitu besar menarik jiwa dan setiap langkah yang kubuat menuju tempat itu.



Aku ingat ketika pertama kali kita bertemu lagi setelah kita sama2 dewasa. Aku duduk di sebuah ruang bicara dengan orang2 yang masih kukenal. Lalu tiba-tiba saja kamu memasuki ruang itu. Sesaat aku terkesima. Tak pernah terbersit dalam benakku ketika itu aku akan bertemu denganmu. Bahkan tak pernah ada dalam benakku ketika itu, namamu.



Aku ingat baju yang kamu kenakan ketika itu. Atasan bercorak batik warna nuansa coklat dan rok panjang coklat muda, dan kamu berbalut jilbab coklat tua.



Ya, seperti yang semalam kubisikkan mesra di telingamu ketika kau lelap...

Tak 'kan berhenti aku mencintaimu

Aug 27, 2007

Nyanyian laut

tak perlu kau menghitung
ombak yang menyisir pantaimu
sebab laut tak henti menyibak;
abadi

tak perlu kau mengingat
hari-hari yang kita lewati
sebab aku mencintaimu;
hingga nanti






____________
27 Agustus 2007

Aug 13, 2007

Kering...

Wanita renta itu duduk termenung. Bibirnya yang mengeriput mengatup. Beberapa gigi yang mulai tanggal dari rahangnya menghadirkan sebentuk pipi yang kempot dengan tulang pipi yang menonjol keras. Rambutnya putih masai tanda jarang tersentuh sisir. Pupil matanya tersembunyi di balik kelopak yang mulai cekung jauh ke dalam.

Dari teras rumah yang telah disulapnya sebagai tempat berjualan gado-gado, dengan atap terpal tertata ala kadarnya, sorot matanya jauh menapaki petak-petak sawah milik warga kampung yang mulai mengering. Ia teringat sumur satu-satunya yang masih menyisakan air di ujung petakan sawah tersebut. Sumur yang hampir sepanjang pagi hingga malam, bahkan sampai dini hari, selalu dikunjungi warga kampung yang mulai mengalami kekeringan. Hampir tak ada lagi air di sumur-sumur di rumah masing-masing. Mereka yang memiliki pompa jet pump mungkin masih bisa merasakan kemudahan untuk memperoleh air. Tinggal memutar keran, dan air pun mengalir ke ember-ember yang siap menampung. Tapi tidak demikian halnya dengan wanita renta itu.

Hampir beberapa minggu belakangan ini, ia, bersama dua anak perempuannya yang tinggal bersamanya, harus berbagi beban membanting tulang mengangkuti air dari sumur di ujung petakan sawah ke rumahnya. Hampir beberapa minggu belakangan ini ia harus mengurangi jatah tidurnya hingga jam 1-2 dini hari, sekedar untuk mendapatkan air di sumur. Hampir beberapa minggu belakangan ini mereka, harus menempuh jarak lebih kurang 250 meter pulang pergi untuk mengisi bak-bak penampungan air di rumah. Jangan harap bisa mendapatkan air dengan mudah jika harus melakukannya di pagi atau sore hari.

Kekeringan tahun ini keliatannya bakal lebih parah dari tahun kemarin. Tahun lalu mereka masih mampu memesan air dari mobil-mobil tangki penjual air bersih dan mengisikannya ke toren. Tahun lalu mereka masih mampu membayar untuk itu, atau setidaknya mengupah orang –laki-laki yang masih kuat tentunya—untuk mengisikan bak-bak air mereka. Tapi tidak untuk tahun ini. Disamping harga-harga yang makin melambung akibat kenaikan harga BBM dan lainnya, wanita renta itu pun makin kehilangan sumber penghasilannya yang nota bene pemberian jatah belanja dari anak-anaknya.

Salah satu anak lelakinya yang paling bungsu, baru saja kehilangan hampir 3 bulan berjalan ini. Jangankan memberinya jatah rutin Rp 500 ribu per bulan, bahkan untuk belanja keluarganya sendiri pun, anak bungsunya itu mengalami kesulitan. Dan wanita renta itu cukup tahu diri untuk tidak terlalu memberatkan anak bungsu yang sangat disayanginya. Apalagi jika mengingat cucu-cucunya yang lucu-lucu, sungguh, tak tega rasanya untuk meminta lagi ke anaknya.

Anak laki-lakinya yang lain, pun hanya mampu memberinya ala kadarnya. Belum lagi Tanti, anak perempuannya yang dulu tinggal bersama suaminya di seberang pulau, kini harus tinggal bersamanya membawa dua anaknya yang masih kecil-kecil.. dengan status yang selama ini tak pernah ada dalam benak wanita tua itu… janda. Ya, kini ia memiliki dua orang janda yang tinggal bersamanya. Tiga orang semuanya, termasuk dirinya sendiri… menjanda sejak ketujuh anaknya masih hijau plus satu anak yang masih dalam kandungannya.

Ingin sesungguhnya ia menangis memikirkan nasib anak-anaknya. Dimasa renta yang seharusnya ia habiskan dengan tenang sambil bermain dengan cucu-cucunya, ternyata ia masih harus memikirkan nasib anak-anaknya. Bahkan tak sempat ia memikirkan nasibnya sendiri. Hampir tak sempat ia memikirkan betapa tubuh tuanya yang hampir mendekati usia 75 tahun itu, telah penat menjalani kehidupan. Kehidupan yang hampir sepanjang hayatnya hanya mengenal kata ‘penderitaan’.

Ya, ingin ia menangis. Namun seperti halnya kekeringan yang melanda petak-petak sawah di hadapannya, air matanya pun telah kering tak bersisa. Mata renta itu tak mampu lagi meneteskan air mata sebagai tanda kepedihan. Tidak. Karena perjalanan yang panjang telah mengeringkan kantung air matanya. Tangis itu pun hampir tak tampak lagi di wajahnya yang serupa karang, bahkan di jiwanya yang kini sekeras tanah getas. Kering, gemerontang, padas.. namun rapuh.


(Parung Panjang, Agustus 2007)

Aug 10, 2007

sea of pain...

ke sanalah anak-anak sungai itu nuju,
lebur ke sebuah sungai mengarus deras..
hanyutkan wajah-wajah mereka yang keras;
orang-orang di bagian kehidupanku
jauh hanyut ke lautan biru.

di sanalah aku diam membatu beku
terbaring di kedalaman berharap
matahari turun ke permukaan biru
merengkuh semua butiran ini perih pengap
hingga terbakar sirna
tak bersisa

(Agustus 2007)

Suatu sore di rest room, selepas jam kerja...

Entah apa yang dia pikirkan tiap kali dia berkaca. Sesekali nafasnya terhela, panjang.. dan mendesah. Sepertinya ia berusaha menarik segala beban yang ada dalam dirinya dan berharap serta merta keluar bersama udara kotor yang ia hembuskan, berharap beban itu ikut larut bersama udara dan dibekap dalam kesunyian ruang. Ruang sunyi yang hampir tak ada suara apa pun yang terdengar, selain desah nafasnya.

Entah apa yang dia pikirkan tiap kali dia menatap wajah dihadapannya. Sorot mata yang hampir kosong, mewakili jiwanya yang juga kosong melompong. Seperti tak ada yang tertinggal dalam jiwanya. Entah, dia hampir tidak bisa menemukan jawaban gerangan apa yang tertinggal dalam jiwanya saat ini. Karena ketika dia bertanya, hampir tak ada jawaban yang bisa ia temukan. Sorot mata di cermin itu pun seperti enggan beradu pandang dengan matanya yang menatapi wajahnya sendiri di cermin. Ia, bahkan hampir tak mampu lagi mengenali bayangan di cermin itu. Bayangan itu seperti tenggelam, ditelan kenangan yang memenuhi benaknya dan yang lalu menyerupa wujud yang nyata.

Mata itu seperti mencari sesuatu untuk menghidupinya. Sesuatu yang bisa menyalakan api yang hampir padam. Sesuatu yang bernama asa. Asa. Masih adakah kata itu dalam kamus hidupnya? Entah asa, atau mimpi. Barangkali bermimpi pun ia tak punya asa lagi untuk itu. Harapan untuk bermimpi. Mimpi apa? Mimpi apa lagi yang bisa ia hadirkan dalam hari-hari belakangan seperti ini.

Mimpi sepertinya telah tergerus oleh masa lalu yang tak bisa ia pungkiri, sebuah sesuatu yang pahit. Mimpi-mimpi yang tak pernah bisa ia wujudkan. Mimpi-mimpi yang selalu saja terganggu oleh kenyataan akan hidup yang ia jalani sekarang. Kenyataan hidup tentang dirinya, tentang saudara-saudaranya dan terutama tentang ibunya.

Wajah itu menegang, mengejang. Seperti menahan kepedihan yang seolah tak pernah berujung namun selalu saja berpangkal. Kepedihan yang seperti anak-anak sungai, menyatu dan menjadi sebuah sungai yang besar. Dan bermuara pada sebuah laut. Dan, laut itulah yang ia rasakan kini. Karena ia adalah lautan kepedihan bagi orang-orang yang tengah ia pikirkan. Lautan kepedihan yang baginya sudah menjadi tugasnya untuk menguapkan semua kepedihan itu, mengenyahkan dan meleburkannya pada matahari yang membakar. Beban itulah yang membuatnya mengejang. Kaku. Membatu, jiwanya. Dan seperti laut, bergejolak benaknya.

Dan ketika ia tak mampu menguapkan seluruh beban yang dibawa anak-anak sungai yang ia terima di muara pikirannya, ia seperti merasakan bahwa sebagai lautan ia gagal. Sedang anak-anak sungai itu begitu deras membawa arus, dan mengalirkannya semua... padanya. Sedang, ia tak pernah tahu kemana ia bisa meneruskan arus-arus itu. Tak ada lautan yang bermuara ke sungai. Tak ada arus yang bisa ia telusuri, selain berlari menuju panasnya matahari.

Maka ketika ia ingin lari, rasanya tak ada tempat yang paling diminati selain menenggelamkan diri di kedalaman dan kegelapan laut yang tak berdasar. Di tempat itulah ia seringkali bersembunyi. Tempat yang hanya menawarkan sesang bisu dan sepi. Tempat yang tak ada satu pun ia bisa mengajak entah itu sesuatu.. atau seseorang.

Kecuali satu orang yang ia seringkali mengajaknya berbicara, atau setidaknya saling bertatap mata meski saling diam. Ya, wajah mematung penuh kekosongan di dalam cermin yang sejak tadi ia pandang. Wajahnya yang mengejang tegang!!!



in da rest room, after office hour...

you are the girl in my dream

ini kali ketiga dia hadir dalam mimpi. sweet girl.. sweet dream.. yea, mimpi manis (sesuatu yang sayangnya aku nggak mungkin bisa mendeskripsikannya disini. biarlah itu hanya ada dalam ingatanku) yang sayangnya malah menjadi sesuatu yang menganggu. ya, mengganggu. karena belakangan benakku selalu dipenuhi dengan.. pikiran tentangnya. aaarrgghh!!!

huh, apa maksudnya???

barangkali setan memang lagi senang menggodaku. menghadirkan bayangan-bayangan yang sebenarnya nggak pernah secara sadar (dan sengaja) kuinginkan. ugh, sekarang aku malah jadi ragu apa iya selama ini bayangan itu hadir begitu saja tanpa kusengaja, atau mungkin memang itu timbul karena keinginan bawah sadarku yang selama ini berusaha kupendam. ya, iya lah.. memang harus kupendam. karena membiarkan pikiran bawah sadarku bebas berkembang hanya akan menyusahkanku sendiri. sesuatu yang membuatku pusing tujuh keliling. hehehe...

huh, dasar.. terkutuklah setan sialan itu!

lalu, mimpi yang sudah 3 kali ini artinya apa?

May 16, 2007

Listen to the rhythm of the fallin' rain.. it brought me to you, again..

Listen to the rhythm of the falling rain,
Telling me just what a fool I've been.
I wish that it would go and let me cry in vain,
And let me be alone again.

Now the only girl I've ever loved has gone away.
Looking for a brand new start!
But little does she know that when she left that day.
Along with her she took my heart.

Rain, please tell me, now does that seem fair
For her to steal my heart away when she don't care
I can't love another, when my heart's somewhere far away.


I feel like I can hear that song playing in my ear, again and again. Feels like I can hear a music in my head and lead me to sing that song. It is not simply that song reflecting the rain that is falling right now, but somehow everytime the rain falls, it always remind me off some one. Yess, it is you!

Lagu itu perlahan terngiang-ngiang di telingaku berulang-ulang. Seperti ada music yang mengalun di kepalaku, dan mengajakku menggumamkan lagu itu. Bukan semata-mata karena lagu yang dibawakan the Cascade ini memang sangat pas dengan suasana hujan di pagi hari ini, tapi entah kenapa tiap kali hujan rintik-rintik seperti ini, selalu saja mengingatkan aku pada seseorang. Ya, kamu!

You said that you love the rain falls. Loving its view when drizzles splashing wherever it touches the land. Loving its water ripples like dancing. Loving its view when drizzles touching the window and sliding down to the edge. Some times it slide straight down, and some times it is also twisting like a dancer.

You said that you love it when the window is getting blurred when you're breathing in front of it. Then you move your graceful finger on the dewing glass shaping a lovely wordss, something that I read as... I L U, I love you!!

Kamu bilang, kamu sangat menyukai hujan. Menyukai percikan air yang memecah dimana pun ia jatuh. Menyukai riak-riak air yang seperti menari-menari. Menyukai bulir-bulir air yang jatuh pada kaca jendela, diam sesaat, untuk kemudian meluruk ke bawah. Dan gerakannya yang tak pernah bisa diduga arahnya membuatnya seperti meliuk-liuk. Menyukai kaca yang berembun ketika nafas kita berhembus di dekatnya. Lalu kamu asik menggerak-gerakkan jari-jari lentikmu mereka sebuah bentuk, dan menunjukkannya padaku.. Sesuatu yang kubaca sebagai.. I L U!!

Yeah, this rain always bring me to that day. The day when we watch the rain splashing our window, enjoy the harmony that flowing in the air, enjoy the splashing water dancing on the pond, and running down to wherever it can flow. It sounds like a rhytm in harmony when our two hearts be as one, beneath the peacefull mind. We share our warm and let our skin touching each other. Huging each other.

Ya, aku selalu saja terbawa ke dalam suasana itu. Ketika kita menyaksikan hujan membasahi kaca jendela, menikmati irama percikannya, menikmati titik-titik air yang pecah di setiap genangan air yang terlihat, menikmati air yang serupa warna tanah berlarian mengalir ke manapun tempat yang rendah. Iramanya seakan musik lembut yang mengiringi hati kita yang menyatu, diselimuti kedamaian. Saling berbagi panas tubuh kita untuk mengusir hawa dingin yang menyeruak. Menikmati semuanya dalam diam. Tak ada kata terucap selain bahasa tatap mata, mengiringi senyum yang tak lepas dari bibir kita. Mengiring setiap detik yang kita lalui... dengan detak di jiwa kita yang menggebu-gebu. Setiap detik yang menderu!

And so does this morning rain play that song in my ear again, and it brought me back every single moment that I could never let it go from my memory. This rain brought me back to memorize you.

No matter where you are...

Dan hujan pagi ini membawakan kembali gaung lagu itu di telingaku. Membawa kembali setiap detik yang tak pernah bisa hilang dalam ingatanku. Membawaku kembali, mengingatmu!

Entah dimana pun kamu saat ini...

May 8, 2007

Aku Cinta Kamu



Aku cinta kamu,
bukan karena kau ibu
yang melahirkan anak-anakku..

Aku cinta kamu,
karena hanya itu
keinginanku

I love you,

Apr 20, 2007

Kebersamaan,, Brotherhood

Dear Blogger...

Barangkali gw terlalu sentimentil or yg sering orang bilang too melow.. But, this is what I am feeling now. Barangkali apa yg gw rasa ini juga seringkali dirasakan oleh orang lain, or tentu aja dirasain juga sama sodara-sodara gw. Tapi, entah karena gw yang seneng ngemong atau karena emang posisi gw sebagai kakak, gw merasakan ada satu perasaan baru yang gw kenali sebagai rasa kasih sayang sesama saudara sekandung.

Belakangan gw begitu worry sama adek-adek gw yang notabene udah pada mandiri, notabene all men pulak, dalam mereka menjalani their own life. Gw makin melihat, bhw hidup itu adalah suatu proses yang ga pernah berhenti. Di satu titik mungkin kita pernah merasakan bahwa kita mulai menapaki ke arah kemapanan, namun di waktu lain pada titik yang lain, membawa kita ke arah perjuangan baru yang sesungguhnya memberi kita kesadaran bahwa kita masih jauh dari titik kemapanan yang kita harapkan itu.

I'm concern about them, my brothers..

Beberapa hari belakangan ini gw worry mikirin salah satu ade gw, yang kebetulan paling bontot dari 8 bersaudara, yang tiba-tiba aja punya keinginan melepaskan diri dari titel 'kekaryawanannya'.. Tiba-tiba aja dia kekeh mo ninggalin kerjaan, posisi dan gajinya (yg buat gw, lumayanlah..) untu memulai satu titik baru dimana dia mo nyoba kemampuannya untuk berwirausaha.

I'm worry about what is it gona be, kalo dia jalanin usaha dia ini n it resulting something none..

Tapi, terus terang gw salut banget sama Yayan karena dia punya keyakinan kuat. Dia punya prinsip bener2 teguh. Sekali memutuskan, gak ada kata ragu apalagi surut kebelakang. Damned, I should be embarashed myself for not having a strong faith like him!.. Cuma saja, sebagai kakaknya, gw selalu mikirin apa yang terjadi dgn dia kalo some day dia mengalami kegagalan? Karena apa yang dia ambil, itu nggak cuma memiliki konsekuensi thd dia pribadi, tapi ini menyangkut his family, my other brothers and sisters yang suka nggak suka, sometime depend on him beside me (hehehe, nyombong dikit!). The most important one is, our mom. Dia org pertama yang sebenarnya paling nggak setuju kalo Yayan resign dari kerjaannya. Jeezee, gara kenekatannya pulak mommy jadi marah ke gw krn dibilang gw ga bisa kasih pandangan ke Yayan... :-(

So, beberapa hari belakangan ini gw seperti nggak kenal kata capek melakukan apa pun yang gw bisa, ngeluarin semua kemampuan berpikir gw, supaya niat n rencananya terlaksana.. Buka usaha Kafe. Spt yang pernah gw bilang di postingan kemaren, buka kafe or kedai.. 'Kedai Kang Komar' or 'Kafe Kang Komar'.. Nyetir gantian pulang pergi JKT-Bandung pulang hari.. Berangkat sore pulang dini hari. Rest satu hari, and next day gitu lagi.. Sekedar untuk survey dan melakukan semua persiapan yang gw anggap perlu supaya kafe ini berdiri. Hunting lokasi, nge-deal dengan pemilik lahan, bikin konsep kerjasama, bikin FS (hmmm, semua usaha seserhana apapun harus ditinjau dari sisi FSnya lho. Supaya bisa ambil kesimpulan suatu usaha itu layak dijalanin apa nggak), cari bahan material yg murah di Bandung, cari calon karyawan, deelesbe.

Semua itu gw lakuin cuma karena... tiba-tiba aja gw merasa duuh, ade gw ni kok masih gw anggap anak kecil aja ya. Masih gw anggap dia itu bontot yang gw ga bisa nggak harus gw bantu. Semua itu gw lakuin karena.. God knows.. gw tu tiba-tiba aja sadar, gw sayang banget sama adek2 gw. Perasaan yang baru gw sadarin, ternyata itulah makna pertalian darah. Bahwa apa yang dia rasain, susah-senang-berat-ringan-repot-nyantai, gw seperti ikut ngerasain. Gw tiba-tiba sadar, dulu kita nggak banyak punya kesempatan untuk ngerasain kebersamaan spt yg gw alami sama adek-adek gw belakangan ini. Karena kita memang nggak ngalamin tumbuh besar dan jalanin masa kanak2 bersama-sama, dalam satu naungan rumah yang sama.

Ternyata emang bener, rasa kasih sayang itu nggak secara otomatis tumbuh di hati kita even terhadap saudara sekandung. Rasa itu tumbuh, seiring dengan kebersamaan yang kita bangun, kebersamaan yang kita ciptakan. Yang membawa kita pada kesadaran yang sama.. bahwa kita ini bersaudara.

We're Komed Bros... Komar Memed Brothers..

Putra-putra Komar Memed, our beloved father!!!

Aku Rindu Kau, Ibu,,,

Akhir-akhir ini aku dihinggapi rasa rindu yang begitu deras menerpaku, tak tertahankan. Rindu pada seseorang yang padanya aku seolah ingin berlari saat ini juga, ingin hadir dihadapannya, ingin memintanya merengkuhku, dan ingin seketika merebahkan diri di haribaannya. Ingin merasakan jari-jarinya yang lembut, menyusuri tiap-tiap helai rambutku. Ingin merasakan setiap ruas di jari-jarinya yang penuh kedamaian, menyentuh setiap pori di kulit kepalaku. Ingin menikmati ketenangan masa kecilku.

Begitu menderu rindu menyergapku. Rindu pada ibuku.

Seketika aku ingin menyapa kerut-kerut di wajahnya. Rindu menikmati giginya yang makin jarang, tanggal satu demi satu seiring waktu. Rindu pupil matanya yang makin kabur dimakan usia. Rindu tawa terkekehnya, tiap kali aku mengajukan sebuah canda. Rindu sifatnya yang keras kokoh bagai batu tiap kali aku berdebat. Rindu bentakannya yang dulu kerap membuatku mengkerut. Rindu pada kesempurnaannya sebagai seorang ibu. Rindu sosoknya yang bagai malaikat pelindungku sejak aku bayi dan bahkan hingga kini. Kerinduan yang lengkap.

Di wajahnya aku seperti membaca riwayat panjang perjalanan yang penuh dengan keletihan. Jauh sebelum aku dan saudara-saudaraku lahir. Perjalanan yang ia mulai sejak kecil ketika Jepang pertama kali menjejakkan kakinya di bumi Andalas, ketika ia belum lagi mengenal pakaian untuk menutup tubuh dekil kecilnya yang kerap telanjang dada, ketika ia masih belia. Lalu dilanjutkan ketika masa kanak-kanaknya ia mulai ditinggalkan orang-orang yang seharusnya melindunginya satu demi satu, mulai dari ayahnya, lalu ibunya. Perjalanan yang membawanya ke Jakarta, untuk bernaung dibawah pengasuhan ninik mamaknya, suatu masa yang penuh dengan cerita jauh dari kebahagiaan.

Beranjak remaja dan dewasa, waktu demi waktu dijalaninya dengan peran sebagai seorang yang harus senantiasa survive, tak ada cerita masa remaja adalah masa yang paling indah. Waktu membawanya ke Bandung untuk kemudian menjalani tahap lain dari perjuangan untuk bertahan hidup disana. Tak ada pula cerita indah disana. Bahkan sampai ketika seorang pemuda sunda menyuntingnya, seseorang yang kemudian menjadi ayahku. Barangkali ada kisah cinta yang indah buatnya, tapi tak pernah ada cerita indah dia kabarkan padaku, kerap kali ia bercerita.

Ibu, yang kuingat darimu adalah kata-kata tentang kebahagian.. bahwa bagimu cukuplah kebahagiaan itu ketika melihat kami lahir, tumbuh, besar, sekolah… dan kami tak kelaparan! Cukuplah kebahagiaan itu bagimu ketika kami tumbuh menjadi anak-anak yang dewasa dan mandiri. Kokoh berdiri dalam kesederhaan kami!!! Cukuplah bagimu kebahagiaan itu ketika kami tak lagi mengenal apa arti kemiskinan dan kepapaan. Itulah kebahagiaanmu. Kebahagiaan yang sangat sangat sangat sederhana.

Di kerutnya aku seolah menangkap derita yang tak pernah kering, jauh dari kesenangan. Jauh sebelum ia memulai perjuangannya membesarkan kami, delapan bersaudara, dengan tangan dan kakinya sendiri.. tangan-tangan yang kini ringkih. Dengan tenaganya yang seperti matahari, tak henti terpancar. Dengan langkahnya yang seperti bumi, tak pernah henti berotasi.. tak pernah langkahnya terhenti. Di kerutnya aku melihat rumah megah yang dulu kami huni, tempat kami lahir satu per satu, nyenyak dan nyaman merasakan kasih sayang, melewati masa kanak-kanak.. dalam keriangan. Lalu rumah megah itu harus berpindah tangan, ketika ayah –satu-satunya sandaran yang ia miliki, kembali ke haribaan Yang Kuasa. Dan kau memulai lagi perjuangan berat yang sesungguhnya tak pernah sempat kau tinggalkan.

Kau besarkan kami dalam kebersahajaan. Kau teteskan darah dan keringatmu agar setiap saat tetesan darah di raga kami penuh dengan energi. Agar darah di raga kami mengalir dan menjaga kami tetap hidup, tumbuh dan terus tumbuh.

Ya Tuhan, betapa aku sangat merindukannya. Betapa aku sangat menyayanginya.

Betapa ingin memelukmu saat ini. Perasaan yang makin membuncah tiap kali menikmati ribuan wajahmu yang kini seakan menjadi mozaik yang menceritakan tentang rangkaian perjalananmu, sesuatu yang sebenarnya bermakna lukisan kehidupanku!

Aku rindu kau, Ibu…

Mar 29, 2007

I miss my father.. I love my mother...


Today's on It's Me...


Dear Blogger...

Last night I suddenly miss my father. I miss him so bad. This happened since yesterday morning when i went to bandung with my younger brother. We are planning to open one simple-small kafee. We did survey for the place. Then we were discussing about what the name of the kafee is gonna be. My bro said that he wants to use 'Kafe Bros' or 'Kafe Brothers'.. I was agree at the first time. But then I realize that since Bandung is the city where my father was born, I really want to use this moment to memorize him. I was thinking about using his name for our kafee.

I think about using the name of 'Kedai Kang Komar', 'Kedai AA' or 'Kedai Baraya' instead of english language.

Its not about naming what make me feel this way. Its all about longing for my father that fullfill my thought since last nite. God, I miss him so bad. I just realize that I lost him for a very long time.

Thirty years!

Yeah, thirty years I live without my dad besides me. I just realize that I have not enough memory about him as I only know him for a very short period. All the memories about him is only when I was in 4-5 age. Not really much! Its just like an uncomplete puzzle. I could hardly remembering of his face. Thing that I could ever seen in my mind is only when people burry him in the backyard of my grandpa's home in Lembang. There he was burried. There is the place I always visit everytime I miss him.

Last night I cryed.

Now I am crying again.

Jeezee... It makes me feel like I am a child again everytime I remember u, dad.. I love you, no matter how. Eventhough I could only see your face in a blurted picture, but I know that your face is exist in my face. Your body is my body. I have even the same tall like you. Your nose is now became mine. Your eyes, your mouth, your hair even your ear.. they are now still exist in me, in all over my body. Your blood is in my blood. Haaa, that's why I feel now that you're so close to me. That's why I miss U, dad.

Hey, Dad.. Do you know that Raka, Romy and Meymey have part of yours in theirs? Raka's eyes and nose are like yours. Romi's chin is yours. Meymey's eyes is yours. And funny thing is they even have the same ear like yours, like mine. Hahahaha...


I feel better now.

I hope no matter how bussy you are in your place now, you can still thinking of me. I'll promise to protect all sister n brother and mom as well, day. She is fine. She is amazing mom and wife, Dad. She never think abt other man beside u. I can tell u no matter how hard she had to took care of us, she did it all alone by her self. And she did it very well to raise us. Now we grew up well. I love her so much. I called her just now dad and she is doing fine. Just about to sholat. I believe she always pray for you.

You take care, okay? I'll pray for you too so you could rest in peace. No hard and painfull day.

Allright. Catch you later.. I miss you so much, Dady.


Your forever kidos...
Mali

Mar 1, 2007

Nyanyian Pantai Laut Biru

Seseorang pernah bertanya padaku, seperti apa gerangan pantai yang bernyanyi. Aku tak menjawabnya, selain melayangkan seutas senyum. Memang tak perlu kujawab karena ia memang tak memerlukan jawaban. Juga tak perlu kuterangkan, karena ia bukanlah laut. Juga bukan pasir-pasir yang menjejali batas antara daratan dan lautan. Cukuplah bagiku untuk mengetahui nyanyian pantai dengan bahasa yang kumengerti sendiri, dengan telingaku sendiri. Karena akulah lautan biru, sedang pantai adalah bagian dari jiwaku. Maka ketika aku mendengarkan nyanyian pantai, sesungguhnya itu adalah bagian dari suara jiwaku. Nyanyian pantai adalah nyanyianku.

Barangkali ada nun jauh disana, di ketinggian yang tak pernah dapat kujangkau, seseorang yang menggantungkan jiwanya di langit biru. Seseorang dengan siapa aku bisa berbagi rasa, bernyanyi bersama, saling bersahutan lewat bahasa yang sama di cakrawala. Bahasa yang diwakili oleh satu warna. Biru.

Kedalamanku adalah ketinggiannya. Biruku adalah pulasan warna yang dia pantulkan dari kebiruannya. Maka jika aku membiru, seperti itu pulalah jiwanya. Dan ketika ia kelabu, maka suram pulalah jiwaku. Kelam dan kelabu.

Dan jika seseorang bertanya seperti apa nyanyian pantai, maka itu berarti dia memang tak bisa memahami aku. Dan memang aku tak pernah berharap seseorang akan bisa memahami jiwaku. Karena cukup bagiku menatap jauh di ketinggian langit biru, dan memintanya untuk berkaca di biru lautku, dan aku yakin seketika ia akan bisa memahami aku. Mendengar nyanyianku.

Nyanyian pantai laut biru.