Nov 18, 2008

Puas-puasin...

Lagi di office jakarta. Wuii, enaknya bisa browsing lagi ampe blenek.. puas-puasin, deh! Gw udah kaya orang kelaparan ngeliat speed nge-browsing disini dibanding selama 3 bulan di lapangan. Disini sekali klik langsung wush.. klik-wush.. ga kayak di lapangan. klik, then... ... ... ga ke-browse apa-apa except 'forever loading'.. ampe kesel, mo marah, mo muntah..

Tiga bulan di lapangan, koneksi internet yang kaya keong siput, bikin gw jadi males up date.. jadi males nulis.. bikin gw kehilangan sense buat nuangin begitu banyak pengalaman berharga yang gw alamin di sana.

Hmmm, ya. begitu banyak pengalaman berharga. Teman-teman disana yang sekilas terlihat berpikiran maju, namun sebenarnya mereka hakekatnya tetaplah orang-orang yang naif. polos. meski seringkali membuat gw jengkel n mangkel. karena cara berpikirnya yang polos itu kadang seringkali berbenturan dengan kebiasaan gw yang sukanya berpikir cepat.

Ya, selama di sana, gw merasa pace-nya memang begitu lambat. semua berjalan seperti apa adanya. mengikuti irama yang bergerak disana. Entah apa namanya, sepertinya ada yang bergerak perlahan secara harmonis sesuai dengan gerak alam yang tenang. Mungkin memang hampir nggak ada grasak-grusuk. So peacefull..

Uff, ngantuk.. baru sebentar aja udah berasa boring buat lanjutin nuangin apa yang ada dalam otak gw. I feel like I lost everything. Sesuatu hilang dari jiwa gw. Sesuatu yang selama ini seringkali narik pikiran dan jari-jemari gw buat nuangin alam pikiran gw yang kadang gw sendiri nggak bisa liat sebelum gw tuangin dalam bentuk visual. Sesuatu lari dari dalam diri gw, meninggalkan gw sendirian dalam kekosongan.

I feel like an emptiness

ketika

ketika kutatap matahari yang terbit,
perlahan namun pasti ia meninggi
selalu terbersit dalam pikiranku
bahwa selalu ada harapan dalam kesulitan

ketika kupijak pasir basah
ditempat mana ombak rajin menjilat
selalu ada pelajaran tersirat
bahwa kehidupan tak pernah henti menggeliat

dan ketika kutatap matahari yang perlahan tenggelam
perlahan namun pasti menghilang dan lenyap
juga selalu memberiku suatu pelajaran
bahwa kepedihan juga bagian dari kehidupan

Oct 16, 2008

Gila, panas banget hari ini...

Today on my journey:

Gila, panas banget hari ini...


Oct 16, 2008

Hari ini panasnya luar biasa,, luar biasa banget!! Well, sebenarnya disini panas itu hampir setiap hari, sih! Tapi rasanya hawa panas hari ini selalu terasa lebih panas membuatku lupa panas di hari kemarin. Seperti hari ini. Aku berdiam di kamar sejak siang. Karena nggak ada kegiatan apa-apa. Nggak ada kegiatan gini sebenarnya malah membuatku bete. 

Koran-korang sudah semua kubaca-baca untuk menghilangkan kejenuhan ini. Tapi bukannya berkurang bete, berita-berita yang ada malah membuatku semakin bete. Males rasanya membaca berita-berita beberapa minggu terakhir ini yang isinya rata-rata soal masalah krisis keuangan global. Malah membuatku makin jadi prihatin sendiri. 

Untunglah masih ada berita sports, terutama berita sepakbola yang sedikit banyak bisa membuatku seperti lupa masalah lainnya. Aku nggak tahu kenapa, tapi kalau sudah menggeluti berita seputar sepakbola, terutama sepak bola dunia, aku selalu enjoy. Masih ada yang lain sih, misalnya, F1, MotoGP. Hm, barangkali tiga macam berita sports itulah yang paling suka kubaca lebih dulu.

Setelah mulai jenuh dengan koran, aku coba menyalakan TV. Sayang, tadi pagi aku ketinggalan acara di TV One soal debat Capres Amrik. Padahal aku ingin banget nonton. Sialnya aku kesiangan bangun pagi ini. Itu pun karena dini hari tadi aku nonton live kualifikasi World Cup antara Belgia vs Spanyol. Untunglah kesebelasan jagoanku, Spanyol, menang 2-1. 

Aku nge-fans Spanyol karena terus terang disana ada Fernando Torres dan Xabi Alonso. Gw nge-fans mereka berdua karena mereka Notabene adalah pemain-pemain Liverpool. Yeap, aku memang fans berat Liverpool! Hehehehe... Hmm, correction.. Jadi kepalaku cuma ada 3 hal kali ya, Bola (Liverpool), Balap (MotoGP, F1, WRC dan dunia balap lainnya) dan Tennis.

Lumayan terhibur dengan TV, aku lalu nonton acara di TV One soal dunia hewan. Bosan dengan TV akhirnya aku kembali ke kamar. Ngutak-atik hp dan laptop. Ngerjain ini dan itu. Dan di kamar ini lah aku merasakan panasnya cuaca hari ini. Ampuun..! Di kamar ini serasa mandi sauna. Pakaianku sampe lepek padahal aku hanya ngutak-ngatik laptop dan nggak ngerjain aktifitas fisik yang menguras energi. Hehehehe, kalau begini terus mungkin bagus juga buat ngebakar lemak. Wahahahaha.

Duhh, kakiku.. Rasanya masih pada pegel-pegel bekas jalan (hiking) kemarin. Nanti malem aku mesti urut lagi, agaknya! Juga mesti siap-siap karena akan ada pertemuan lagi dengan tokoh2 masyarakat untuk membahas masalah pembebasan lahan.

Huh, kapan ya urusan pembebasan lahan ini bisa selesai. Capek, aku...


Oct 6, 2008

I just need some times to be alone…

I just don't understand, why I became so silent lately

I feel bored, talkless

Unsocialized

I really don't know

Perhaps, its about time for me to re-charge my soul

I just need some times to be alone, again

Sep 19, 2008

Lagu Rindu Yang Lain



Hampir 2 bulan saya menghabiskan waktu di desa Bean Heas ini. Jauh dari berbagai hal yang selama ini tak pernah saya bayangkan akan saya tinggalkan, untuk jangka waktu yang –bagi saya– cukup lama. Ya, tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa saya akan mengalami jauh dari rumah, jauh dari oran-orang yang saya cintai. My Bony, Memey, Romi, Raka dan my old mom alone serta orang-orang lain yang berarti bagi saya. Betapa saya sangat merindukan mereka.


Meski sms dan telepon tak pernah alpa setiap hari, namun itu semua tak cukup untuk menghapus kerinduan saya akan rumah yang selalu membuat saya menjadi 'homie man' .. senang jadi orang rumahan. Rindu kopi pagi racikan my Bony dan ketelatenannya yang tak pernah bosan selama lebih 13 tahun menyiapkan pakaian di pagi hari, atau menuangkan nasi saat makan malam, meski saya sebenarnya bisa melakukannya sendiri. Ah, saya jadi tiba-tiba merindukan rumah saya yang berantakan karena seringnya anak-anak tetangga bermain di kamar Memey dan Romi. Atau ruang depan yang penuh berseliweran dengan kabel joystick tiap kali teman-teman Raka datang dan berebut main PS2.


Hampir dua bulan saya merasakan 'menjadi orang lapangan', mengalami ritme pekerjaan yang sama sekali jauh dari apa yang biasa saya rasakan selama ini. Begitu banyak 'kesibukan' yang harus saya lalui dengan pace yang anehnya –atau lucunya– berjalan sangat lamban, karena begitulah ritme yang berlaku disini. Waktu yang seakan berjalan di tempat, lingkungan yang sama sekali jauh dari kesan formil, dan interaksi dengan orang-orang desa yang biasa santai, membuat saya sempat merasa gagap untuk beradaptasi.


Sepertinya saya terjangkit penyakit rindu pada hal-hal yang biasa saya jalani di Jakarta. Rindu meja kerja saya yang juga selalu berantakan dengan berbagai berkas yang berserakan. Rindu jadwal kerja yang padat yang membuat saya sering lupa menghitung waktu. Rindu kemacetan jalan yang sebelumnya sering membuat saya selalu menggerutu. Rindu menyalip-nyalip kendaraan ketika saya sedang buru-buru. Rindu suara tak-tuk sepatu ketika saya harus melangkah cepat, beredar dari satu meja ke meja yang lain untuk satu keperluan tertentu, atau sekedar ber-hai-hai ria dengan teman-teman di kantor. Rindu wajah imut sang resepsionis yang rajin melontarkan senyumnya yang berlesung dan manis, dan wajah sangar security yang rajin menyapa saya dengan sopannya, setiap pagi.


Duh, saya jadi teringat mie ayam Sumbangsih dengan baksonya yang legit dan membuat saya selalu memesan ekstra, pun masakan bu Kantin belakang yang menunya ala masakan rumah. Walahh, saya jadi ingat.. saya belum melunasi bon makan yang sudah menunggak sebulan lalu. Hahahaha... Sabar ya, bu. Hm, ngomong soal makan, saya jadi ingat juga dengan kantin di kantor seberang yang suasananya bikin saya betah berlama-lama menghabiskan waktu membaca buku selepas makan siang. Biasanya saya mengambil posisi tempat duduk di bagian beranda dengan pemandangan halaman rumput, dan angin sepoy-sepoy yang membuat daun-daun pohon gemerisik. Kalau sudah begini, tak ada yang bisa membuat saya terusik dan mengalihkan mata dari halaman demi halaman buku yang saya baca. Unless, ceweq2 yang makan di kantin ini yang memang sayang untuk diabaikan begitu saya. Mungkin itu satu hal lain yang sebenarnya, yang membuat saya betah berlama-lama. Hahahaha... Just kidding!


Well, saya harap sebelum Idul Fitri ini bisa tercapai kesepakatan antara saya dengan warga masyarakat disini untuk urusan pembebasan lahan. Saya pikir, mereka mulai sedikit bersikap lunak. Mungkin perlu sedikit sentuhan persahabatan dan negosiasi dari hati ke hati agar mereka bisa menerima penawaran saya, dan merasa yakin bahwa kehadiran perusahaan pertambangan di wilayah mereka tidak akan membawa dampak yang merugikan, terutama dari segi dampak lingkungan.


Barangkali proses negosiasi yang mulai tidak terlalu alot ini juga yang membuat saya sedikit banyak mulai bisa memikirkan hal lain hingga saya terbawa nuansa menjelang Idul Fitri dan membuat saya tiba-tiba ingat semua hal yang saya tinggalkan di Jakarta sana. Yah, pikiran saya mulai kendur dan tak setegang minggu-minggu kemarin ketika proses sosialisasi dan negosiasi awal berjalan, dimana warga masyarakat masih bersikap apriori dan tak menerima kehadiran kami disini.


Ah, tak sabar rasanya menanti pulang... dan menuntaskan segala rindu yang masih menggantung di sana, di bawah langit Jakarta.


Semoga saya bisa segera pulang dan selamat sampai rumah. Semoga...




Bean Heas, 20 September 2008

Sep 16, 2008

Rindu

Barangkali cukup lama saya tenggelam dalam kesibukan di desa Bean Heas, kecamatan Muara Wahau, kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, khususnya untuk melaksanakan tugas pembebasan lahan di desa tersebut. Hampir 2 (dua) bulan saya bergelut dengan what so called 'orang-orang lapangan' –rekan-rekan senasib-sepenanggungan yang terpaksa harus hidup jauh (sangat jauh) dari keluarga mereka masing-masing karena harus tinggal dan menetap sementara di site office PT. Tekno Orbit Persada yang merangkap mess (mungkin bisa juga dibilang rumah) ini, bergaul dengan masyarakat lokal dan mengenal mereka secara lebih mendalam, mengenal sedikit dan sekelumit kehidupan masyarakat di desa ini.

Meski tidak begitu banyak kesibukan yang memberikan tekanan secara fisik kepada saya dan rekan-rekan lain disini, namun adanya perasaan jauh dari rumah dan tekanan untuk menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya dengan budget serendah-rendahnya, memberikan tekanan tersendiri terutama mental dan pikiran saya. Setiap detik yang berlalu seperti siksaan bagi saya karena begitu lambatnya respon warga masyarakat disini terhadap rencana dan sosialisasi pembebasan lahan yang saya lakukan, dikarenakan perasaan enggan mereka untuk merelakan saya membebaskan lahan mereka. Belum lagi berhubungan dengan pemerintah kecamatan yang –karena saya belum terbiasa, tidak bisa saya hubungi dan temui sesuai dengan keinginan saya, karena kesibukannya sehari-hari. Melaksanakan pekerjaan yang tingkat ketergantungannya sangat tinggi dengan pihak lain, memang amat sangat berbeda dengan melaksanakan tugas rutin sehari-hari yang outputnya bisa dilihat dan diukur dengan jelas, seperti pekerjaan marketing atau accounting. Pekerjaan marketing meski memiliki ketergantungan yang cukup erat dengan pasar atau pelanggan, outputnya bisa jelas dilihat dari seberapa besar penerimaan pasar terhadap apa yang saya pasarkan, atau seberapa besar kemampuan penetrasi pasar produk atau jasa yang saya pasarkan. Output yang bisa dilihat tolok ukurnya dengan sangat jelas dari tingkat penjualan, apakah naik atau turun. Accounting juga lebih jelas lagi outputnya, berupa laporan-laporan yang sifatnya kualitatif maupun kuantitatif, sesuatu yang sifatnya periodik. Harian, Mingguan, Bulanan, Triwulan, Semester dan Annual, semua merupakan output yang bisa diukur.

Tapi urusan pembebasan lahan sangat bias. Sosialisasi yang saya lakukan, belum bisa saya ukur dengan jelas. Bagaimana respon masyarakat terhadap rencana pembebasan ini. Apakah mereka menerima atau menolak. Seberapa jauh keberhasilannya. Semua tidak bisa saya pastikan dengan angka-angka. Semua hanya mengandalkan perkiraan. Karena sampai hari ini kenyataannya belum ada sejengkal lahan pun yang sudah bisa saya bebaskan. Semuanya masih menunggu. Meski ada tahapan-tahapan yang telah saya lewati, namun hasil akhirnya tetap belum bisa saya pastikan. Berapa nilai kompensasi yang harus saya keluarkan. Apakah bisa sesuai dengan budget yang disediakan atau syukur-syukur bisa lebih rendah. Atau, yang terparah, bisa saja jauh lebih tinggi dari apa yang dianggarkan.

Namun yang terberat dari itu semua adalah adanya perasaan tidak berdaya menyadari saya sangat jauh dari rumah, jauh dari orang-orang yang saya sayangi dan orang-orang yang menyayangi saya. My Bonny tempat saya biasa melepaskan penat dan lelah setiap saya selesai melewati setiap satu hari dalam kehidupan saya. Anak-anak yang dengan mereka saya biasa bercengkerama bercanda dan menikmati hari demi hari mereka tumbuh dalam kemanjaan. Ahh, betapa saya sangat merindukan mereka semua. Raka yang mulai menunjukkan sosok remajanya, mengingatkan saya pada sosok saya ketika masih remaja dulu. Romi yang memiliki sifat sangat identik dengan saya sendiri, begitu perasa, pendiam dan biasa tertutup pada siapapun, bahkan dengan orang tuanya sendiri yaitu saya dan Bony. Dan Memey si kecil lincah yang sangat mandiri, yang juga mewarisi sifat saya yang terbiasa melakukan apapun sendiri, bahkan menikmati waktu-waktu dalam kesendirian.

Baru kali ini saya meninggalkan mereka untuk jangka yang cukup lama, dua bulan, dengan jarak yang begitu jauh. Barangkali saya memang terbiasa menjadi orang rumahan, dan bukan petualan yang seringkali berpergian, jauh dan untuk jangka waktu cukup lama. Barangkali itu satu alasan yang membuat saya amat sangat jarang melakukan travelling, meski sebenarnya saya menyukai sensasi yang muncul tiap kali mengunjungi satu daerah tertentu, melihat-lihat sesuatu yang baru, menjejak tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi. Terlebih daerah-daerah dimana segalanya masih merupakan sesuatu yang asri, alami dan memiliki nuansa tradisi yang kental. Seperti desa Bean Heas yang saya kunjungi kali ini.

Melihat anak-anak kecil yang polos dengan muka centang perenang kadang dibalut nuansa dekil, seperti memberikan suatu kesejukan tersendiri. Betapa lucu anak-anak yang hidupnya masih sangat sederhana ini. Anak-anak yang mungkin belum pernah melihat majalah Bobo, bacaan Harry Potter atau permainan seperti Play Station. Anak-anak yang mungkin hanya tahu Mall lewat televisi, belum pernah menyentuh Lap top atau PC, atau bahkan camera digital pun merupakan sesuatu yang masih sangat aneh bagi mereka. Entah karena kepolosan mereka atau memang belum pernah mereka alami sebelumnya, menyaksikan betapa wajah mereka bisa terekam di layar TFT camera digital atau handycam, membuat mereka merasa aneh dan tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan wajah-wajah kucal mereka yang penuh ingus dan bekas iler yang mengering, mata yang masih belekan, atau rambut yang merah kusam terbakar matahari. Menyaksikan mereka bercanda dan bermain di lapangan atau mandi-mandi di kali dengan riang, seperti menyadarkan saya bahwa kesenangan dan keceriaan pun bisa mereka, anak-anak kampung ini, nikmati tanpa perlu bermewah-mewah. Tak perlu Time Zone atau arena permainan seperti video game untuk mereka ber-having fun. Karena berlari, melompat, terjun bebas ke kali, berenang telanjang bulat, memanjat pohon, mencari-cari serangga untuk mereka mainkan, pun sudah memberikan mereka kesenangan yang lebih dari cukup. Kesenangan yang bisa mereka alami secara kolektif –bersama-sama dengan teman-teman mereka, sesuatu yang mungkin sekarang makin jarang dijalani oleh anak-anak kota yang makin terbiasa asyik dengan segala sesuatu yang bersifat individu.

Melihat baju-baju dekil dan kumel yang mereka kenakan seperti menyadarkan saya bahwa sejelek apapun baju yang masih dipakai anak-anak saya, masih sangat jauh lebih layak dipakai dibanding baju anak-anak lugu itu yang mungkin sudah dipakai bertahun-tahun dari dari satu anak ke anak yang lainnya ketika baju yang mereka kenakan mulai kekecilan.

Ah, saya jadi ingat lagi dengan anak-anak saya. Rindu teriakan mereka yang tiap kali riuh rendah menyambut saya muncul di daun pintu rumah. Rindu sorak riang mereka tiap kali melihat saya pulang menenteng sesuatu, entah pizza, burger atau sekedar 'kebab' yang biasa saya beli di depan indomart di perempatan dekat rumah. Rindu Memey yang repot berebut mengambil sepatu saya dan meletakannya di rak sepatu dan kembali dengan bangga menemui saya. Rindu binar mata Romi yang bangga tiap kali memperlihatkan kebisaannya memainkan lagu-lagu baru tiap kali pulang dari les piano. Rindu sikap Raka yang makin konyol dan makin nakal menggoda adik-adiknya, kenakalan seorang anak yang mulai beranjak remaja yang iseng, yang ceplas-ceplos, yang sering berpikir semau gue dan yang mulai malu-malu dan tersipu tiap kali saya menanyakan siapa teman perempuan sekelasnya yang dia suka, yang mulai sering muncul diponselnya mengirimkan sms yang berkali-kali tiap hari. Terlebih lagi betapa saya Rindu Bony yang tersenyum sabar menyaksikan saya pulang dan menyapa anak-anak terlebih dahulu satu persatu, namun berubah garang begitu saya menutup pintu kamar dan melakukan ritual pulang kerja, yaitu... melepaskan kangen setelah seharian tak bertemu karena saya dan dia sama-sama bekerja.

Ah, rindu ini sudah seperti lonjakan penumpang yang biasa membludak menjelang hari-hari mendekati Lebaran ini. Barangkali rindu ini pun sudah seperti ongkos angkut Lebaran, sudah waktunya diberlakukan tuslag!

Sep 15, 2008

Tak Mau Berhenti Buka Usaha Baru

Seringkali kita berpikir bahwa untuk memulai suatu usaha sendiri atau wirausaha, diperlukan suatu 'modal' usaha yang besar melibatkan angka-angka 6 digit yang mencapai puluhan atau ratusan. Sehingga tiap kali ada keinginan untuk berwiraswasta, kita selalu terbentur hanya sebatas wacana atau angan-angan saja dan selalu berdalih, "Tidak punya modal."

Salah seorang praktisi wirausaha muda pemilik Waralaba Tela Krezz, Firmansyah Budi Prasetyo, membagikan resepnya tentang memulai usaha sendiri. Menurut enterpreneur muda ini (lahir 1981), di Indonesia memang tak banyak orang yang mau berwirausaha karena masih adanya stigma bila akan memulai suatu bisnis harus memiliki modal besar. Padahal, menurutnya, modal tidak selalu berarti uang. Tapi modal juga dapat berupa keahlian dan jaringan atau pertemanan.

Prinsip bisnisnya yang selalu dia tularkan kepada orang lain sebagai motivasi adalah "Do Action!". Dia menyayangkan bila orang hanya berwacana mengenai kemungkinan yang akan dihadapi usahanya kelak. "Kita tidak akan pernah tahu bila tidak mencobanya," tegasnya.

Ada sekelumit kisah mengenai Firmansyah Budi Prasetyo yang saya pikir sangat bagus bila saya share dengan orang lain. Barangkali bisa menjadi model yang bisa dicontoh bagi mereka yang ingin berwirausaha namun masih ragu-ragu. Sebagai contoh, Firman ini memulai usaha warala Tela Krezz dari nol. Dimulai pada November 2006, ia mencoba membuat usaha makanan kecil dari singkong dengan modal Rp 3 juta. Kemudian selang tiga bulan, Firman mulai berpikir untuk membuat franchise produknya ini karena keterbatasan modal. Untuk mempermudah, dia mendirikan CV Cipta Mandiri Kreasindo.

Sembari membenahi kinerja usahanya, dia terus mencari mitra usaha baik melalui pameran atau beriklan di surat kabar. Semua jerih payah Firmansyah memang akhirnya terbayar. Saat ini omzet penjualan usahanya sudah mencapai Rp 2 milyar per bulan!!! Sebuah angka yang tak dapat dikatakan kecil. Omzet tersebut dia peroleh dari jaringan waralabanya yang saat ini sudah mencapai 500 unit dan 84 agen di seluruh Indonesia. Semua itu dia bangun dengan modal kepercayaan dan komitmen untuk saling menjaga amanah.

Menurutnya, para mitra usahanya mampu memperoleh keuntungan kurang dari setahun dengan modal Rp 3,5 – 6 juta untuk membuka outlet dan Rp 12 – 15 juta untuk menjadi agen di daerah.

Kisah mengenai Firmansyah ini menurut saya sayang sekali jika saya simpan untuk saya sendiri. Barangkali ini bisa menjadi tambahan motivasi buat mereka yang ingin menekuni dunia kewirausahaan. Semoga menjadi tambahan referensi untuk memantapkan mereka yang berniat untuk terjun ke dunia usaha sendiri. So, ini saya kutip dari koran Seputar Indonesia, edisi Sabtu 30 Agustus 2008, dengan judul seperti yang saya kutip di atas. Ini kutipan selengkapnya:

"Tak Mau Berhenti Buka Usaha Baru"

Firmansyah Budi Prasetyo terbukti mampu mendirikan sebuah usaha waralaba Tela Krezz yang sudah merambah selurun Nusantara. Ini menjadi modal baginya untuk melirik usaha lain. "Saya masih ingin membuka lapangan kerja yang lebih banyak," katanya saat ditanya alasan mendirikan usaha lain.

Usahanya ini tidak sekadar aji mumpung. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadja Mada (UGM) ini memikirkan usaha ini dengan matang. Karena dia melibatkan beberapa teman untuk mendanai usaha ini. "Usaha ini merupakan hasil kerja sama saya dengan beberapa teman. Tapi saya yang memegang pengelolaannya," ungkapnya.

Sebenarnya pada pertengahan tahun 2007, Firman sudah merintis usaha warung internet (warnet) yang bernama Homynet. Setelah itu, muncul Tela Krezz pada akhir tahun 2007. Usaha pengolahan ketela ini juga dirintisnya di dekat rumah orang tuanya. Tak lama, Firmansyah mulai melirik usaha warung steak tepatnya pada Maret 2007. Dia mengungkapkan bila masyarakat menyukai masakan olahan sapi. Selain itu, bahan bakunya mudah didapatkan dari sekitar Yogyakarta. Setelah melihat perkembangan usaha ini cukup bagus, Firman pun memindahkan warungnya ke daerah Nologaten, Sleman, Yogyakarta.

Tiga bulan berselang, dia merambah usaha laundry. Dia melihat respons pasar yang bagus pada usaha jasa ini. Selanjutnya, pada akhir 2007, dia juga menjajal peruntungannya di usaha makanan. Kali ini ia membuka warung Chicken Chick's.

Perjuangan Firman untuk mengembangkan usaha ini bukan tanpa halangan. Dia pun pernah merasakan jatuh bangun. Namun, dia tetap optimistis mampu bersaing di bidang ini. Dan inilah rumus andalannya. Karena setiap usahanya memiliki ciri khas tersendiri. Menurutnya, seperti usaha wartetnya yang menawarkan konsep senyaman rumah sendiri. (mg02).

BIODATA:

  • Nama:            Firmansyah Budi Prasetyo
  • Tempat tgl lahir:    Semarang, 15 Desember 1981
  • Agama:            Islam
  • Status:            Belum menikah
  • Kantor:            Jalan Bugisan No. 34, Patangpuluhan, Wirobrajan, Yogyakarta

PENDIDIKAN:

  • SD 2 Muntilan, Magelang
  • SMP 1 Magelang
  • SMU 6 Yogyakarta
  • Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

PENGHARGAAN:

2007, ISMBEA (Indonesia Small Mediun Business and Entrepreneur Award) dari Kementerian Koperasi & Kewirausahaan bekerjasama dengan Majalah Keuangan.

USAHA:

  • HOMYNET
  • TELA KREZZ
  • STEAK O
  • LAUNDRY 6 TO 9
  • CHICKEN CHICK'S

Surat dari Wahau

Hai,

Sedang apa?

Saya harap kamu selalu dalam keadaan sehat wal afiat. Seperti juga saya disini sehat wal afiat, meski cuaca di sini agak kurang bersahabat. Seringkali kalau panas, panasnya benar-benar menyengat dan memanggang berhari-hari. Kalau sudah begini, bukan saja kulit seperti terbakar. Tapi mata pun seringkali lelah karena harus menghadapi sinar matahari yang begitu tajam. Pantas orang-orang di desa sini sering menggunakan kaca mata ceng-dem alias Goceng adem. Rupanya memang bukan sekedar untuk gaya-gayaan, tapi memang sangat baik untuk kenyamanan mata.

Buat saya terus terang agak sulit. Kalau dipaksakan memakai kaca mata ceng-dem, saya malah tidak bisa melihat dengan jelas karena mata minus yang sudah begitu tinggi ini tidak bisa jika tidak pakai kaca mata minus 3,75. Tapi, sebenarnya tidak pakai sun glass pun rasanya mata jadi pegal juga tiap kali saya keluar mess untuk kegiatan sosialisasi di desa-desa, terlebih mulai dari jam 10 sampai jam 2 siang. Sinar matahari disini memang terasa lebih garang dan lebih tajam dibanding jika saya rasakan di Jakarta.

Namun, sering kali juga terjadi hujan mengguyur seharian selama beberapa hari. Kalau sudah begini, sudah pasti jalan-jalan sekitar sini yang notabene masih tanah lumpur merah yang keras di waktu kering, akan terasa becek dan lekat ketika hujan. Naik motor pun harus ekstra hati-hati agar jangan sapai terjerembab. Dan di beberapa titik ruas jalan poros (jalan logging), selalu saja terjadi kubangan lumpur dengan kedalaman sekitar 30 - 50 cm yang sangat mengganggu dan menyulitkan para pengendara motor, tak terkecuali pejalan kaki.

Seperti minggu ini, sudah beberapa hari terakhir hujan turun hampir sepanjang hari. Menyisakan genangan air dan kubangan lumpur di mana-mana. Membuat saya menjadi malas kemana-mana.

Tapi, apapun cuacanya, bagaimanapun kondisinya, sepertinya orang-orang desa sini tak pernah merasakan seperti apa yang saya rasakan. Setiap pagi, mereka selalu berbondong-bondong berjalan kaki melintasi mess tempat saya tinggal. Saya kagum pada mereka. Di saat saya dan teman-teman se-mess baru saja terjaga dari tidur nyenyak, ketika matahari masih tersaput sisa-sisa kabut di pagi hari, mereka sudah bergerak untuk memulai kegiatannya setiap hari.

Menyaksikan keramaian yang terjadi dari balik jendela kamar saya, membuat saya jadi malu hati sendiri. Betapa sebenarnya saya sangat santai dan terlalu enak-enakan menjalani hidup ini. Mereka, orang-orang desa Bean Heas itu, laki-laki dan perempuan, sebagian memang naik motor sedang sebagian lagi berjalan kaki sambil menyandang anjat, yakni semacam tas pungung yang terbuat dari anyaman rotan (sebagian lagi terbuat dari bambu). Untuk melindungi wajah dan tubuh dari panas, mereka mengenakan serauh, semacam topi lebar berbentuk seperti payung terbuat dari anyaman daun nipah. Laki-lakinya biasa menyematkan mandau di pinggangnya.

Dari balik jendela kamar saya, sekitar 3-4 meter jaraknya, mereka melintas dengan santai menuju ladang-ladang mereka yang biasanya berpindah. Jika waktunya membuka lahan, mereka biasanya 'merintis' yakni membuka jalan menuju ladang di lahan yang baru yang umumnya masih penuh dengan semak dan belukar. Di lahan itu nantinya mereka akan 'menebas' untuk membersihkan semak dan belukar tersebut. Butuh minimal 10 hari tanpa hujan agar lahan tersebut dapat dibersihkan dengan cara dibakar.

Hasil dari pembakaran inilah nantinya, ditambah lapisan humus dari daun-daun yang gugur, yang dapat menjadikan tanah tersebut kembali subur. Ditambah sedikit pupuk agar hasil ladang mereka subur dan melimpah. Setelah pembukaan lahan dan persiapan untuk di tanam, mereka akan memulai 'nugal' untuk selanjutnya menanam benih padi. Biasanya bulan September mereka memulai penanaman benih. Dan benih ini akan mereka panen nanti di bulan Maret - April.

Saat panen adalah saatnya mereka bersuka cita. Seluruh penduduk desa Bean Heas dan dua desa lain yang bertetangga, Diak Lay dan Dia Beq akan melakukan acara syukuran panen raya yang biasa disebut 'Erau'. Biasanya pada acara besar seperti Erau ini, masyarakat seluruh desa akan berpesta seharian penuh. Melakukan tari-tarian adat dengan pakaian tradisional. Laki-laki dan perempuan saling berkumpul. Tua dan muda.

Makanan khas seperti Lemang, makanan yang terbuat dari beras ketan dicampur isi bervariasi, dimasak di dalam tabung bambu dan dibakar, merupakan makanan wajib yang bakal disajikan seluruh masyarakat. Sudah barang tentu minum-minuman pun akan jadi jadi bagian dari kesenangan mereka.

Kalau sudah begini, dijamin aroma minuman keras akan terasa dari mulut-mulut mereka. Anyway, memang saat seperti itulah waktunya mereka bersenang-senang.

Orang-orang itu masih terlihat di ujung jalan arah ke timur untuk kemudian berbelok ke utara menuju ladang mereka, sebagian mungkin menuju perkebunan plas kelapa sawit. Suara obrolan dalam bahasa dayak diselingi sesekali tawa masih terdengar sayup-sayup. Sisa-sisa kabut makin menipis tertinggal di puncak-puncak pepohonan tinggi di sekitarku.

Pukul enam lebih sedikit. Hawa dingin dari AC ruangan kamar membuatku makin malas bergerak. Namun jilatan sinar matahari yang membias dari kaca jendela membuatku mau tidak mau harus bangkit dari ranjang dan segera mandi. Sebentar lagi orang-orang desa yang bekerja sebagai crew-crew pengeboran perusahaan sub-contractor pasti akan mulai berdatangan dan berkumpul di sekitar mess. Tidak enak rasanya dilihat mereka dalam keadaan tubuh masih terlilit handuk mandi. Hehehehe...

Hmm, di Jakarta sana pasti masih sekitar jam 5 pagi lewat sedikit. Saya harap kamu sudah bangun. Agar bisa merasakan pikiran saya yang selalu dipenuhi tentang kamu. Hm, sebenarnya, saya ingin menuliskan surat ini dengan lebih banyak sentuhan pribadi yang lebih khusus. Sebenarnya saya ingin mengirimkan surat ini khusus dan langsung buatmu, agar kamu tahu keadaan saya disini. Saya baik-baik saja...

Kangen kamu, tentu saja.. Juga anak-anak... Tapi seperti biasa, dari pada kita tersiksa oleh rasa kangen yang tak pernah bisa kita enyahkan, lebih baik aku coba melupakan kamu sesekali. Entah dengan cara melahap buku Sejarah Indonesia yang saya bawa dari Jakarta awal Agustus lalu, atau keliling desa menyapa rumah-rumah kayu yang tua dan sederhana milik warga dengan lensa kamera Nikon saya, atau jika saya sedang penat, saya beristirahat di depan tv... atau sekedar membolak-balik halaman KalTim Post. Sekedar menghilangkan ingatan saya tentang kamu, tentang anak-anak... tentang rumah.

Sabtu kemarin 13 September 2008, jadi juga akhirnya saya bertemu muka secara langsung dengan warga desa disini. Sosialisasi pembebasan lahan itu berjalan dengan lumayan baik. Lumayan karena sebenarnya saya mengharapkan ada kesepakatan langsung dengan warga soal harga, tapi ternyata tidak.

Lumayan, karena suasana pertemuan aman damai dan tenang tanpa ada suasana tegang apalagi suara-suara tinggi memprovokasi. Alhamdulillah yang saya takutkan semua itu tidak ada. Jadinya, ya lumayanlah. Tinggal lagi saya harus memperjuangkan masalah nilai kompensasi agar bisa diterima warga. Karena apa yang mereka harapkan dengan apa yang bisa diberikan oleh Perusahaan masih belum ketemu, ada perbedaan yang cukup jauh. Well, wish me luck, okay?

Sudah siang. Aku harus segera keliling desa lagi. Sampai jumpa...


Muara Wahau, 15 September 2008

Sep 10, 2008

Keliling Kampung

Mau nggak mau, suka nggak suka, saya harus mulai terjun gerilya dan bergaul dengan masyarakat desa Bean Heas ini satu per satu. Berusaha mengenal mereka orang per orang. Dan sudah beberapa hari ini saya mulai memberanikan diri untuk berkenalan dengan satu per satu diantara mereka. Ya, perlu keberanian untuk bergaul secara langsung dengan mereka. Karena tiap kali berpapasan dengan mereka, selalu saja ada pandangan curiga terpancar dari mata mereka ketika menatap saya. Entah ini hanya perasaan saya sendiri, atau memang itu yang terjadi. Saya selalu merasa ada berpasang mata yang mengawasi gerak gerik saya, tiap kali saya melintas dari satu rumah ke rumah yang lain. Yang lebih membuat saya harus mengumpulkan segenap keberanian adalah, kebiasaan orang-orang laki di desa ini yang selalu membawa 'mandau' atau sejenis parang (golok) yang pernah saya lihat luar biasa tajamnya. Membawa senjata tajam agaknya memang sudah menjadi kebiasaan orang disini. Dan satu kebiasaan lagi yang membuat saya harus ekstra hati-hati adalah, ketika berpapasan dengan laki-laki disini yang sedang dalam keadaan... mabuk! Ya, mereka memiliki kebiasaan minum arak atau alkohol. Di beberapa warung yang saya singgahi, selalu saja ada minuman jenis bir hitam atau 'topi miring' yang dijual secara bebas. Dan bertemu dengan laki-laki dengan mata kemerahan adalah hal yang biasa saya temui disini.

Sebenarnya ada perasaan mendua yang mereka miliki terhadap keberadaan perusahaan di tengah mereka. Di satu sisi mereka merasakan ada manfaat langsung yang bisa mereka nikmati dengan adanya perusahaan di desa Bean Heas ini karena adanya lapangan pekerjaan buat mereka yang biasanya berladang, bertani atau berburu tapi disisi lain mereka memiliki kekhawatiran bahwasanya keberadaan perusahaan akan membawa perubahan yang dapat merugikan mereka, terutama ancaman terhadap lingkungan jika penambangan ini jadi berjalan nantinya. Ancaman akan hilangnya lahan tempat mereka biasa berladang dan bertani, atau musnahnya lingkungan hutan tempat mereka biasa berburu. Berburu merupakan salah satu mata pencaharian tradisional bagi para laki-laki di desa ini, terutama mereka yang masih berpikir secara tradisionil. Berburu juga merupakan satu kebiasaan dan adat yang telah berlaku turun temurun. Dan hilangnya hutan jelas merupakan ancaman nyata bagi mereka. Juga merupakan ancaman bagi keberlangsungan tradisi masyarakat Dayak suku Whe Hea. Itulah yang mungkin memberatkan mereka untuk membiarkan perusahaan penambangan terus melakukan kegiatan dan program-programnya. Namun disisi lain adanya peningkatan perusahaan mereka sadari juga akan membawa lapangan pekerjaan baru yang bisa mereka manfaatkan. Jadinya serba susah.

Satu masalah yang paling mencemaskan saya adalah adanya masalah kepemilikan lahan yang rupanya mulai terjadi saling tumpang tindih, karena kebiasaan mereka melakukan ladang berpindah. Sadar akan adanya nilai kompensasi atas lahan yang akan dibebaskan/dilepaskan hak pengolahannya (secara adat), membuat mereka saat ini mulai saling melakukan klaim kepemilikan dengan harapan mereka akan bisa menikmati nilai kompensasi yang ditawarkan perusahaan. Dan kemiskinan yang saat ini rata-rata menjadi bagian kehidupan mereka, membuat mereka memiliki harapan dan keinginan yang begitu besar akan adanya suatu nilai ganti rugi atau kompensasi yang sangat tinggi. Tidak tanggung-tanggung, mereka mulai 'berani' mematok angka puluhan juta untuk satu lahan kosong atau semak belukar seluas per 1 ha. Kalau mereka bersikukuh mematok nilai puluhan juta untuk 1 ha, betapa banyak yang harus perusahaan keluarkan untuk membebaskan lahan seluas 1,602 ha yang menjadi tugas dan tanggung jawab saya. Sementara perusahaan mengharuskan saya untuk bisa membebaskan lahan di desa Bean Heas ini dengan anggaran yang 'hanya' berkisar Rp 4 – 5 juta saja. Satu perbedaan yang begitu jomplang yang selalu membuat kepala saya pening.

Seperti hari ini. Saya harus memaksakan dan memberanikan diri untuk 'berdialog' dengan satu dua orang diantara mereka. Memang secara umum mereka sudah tahu dan paham tentang tugas dan keberadaan saya disini, yakni pembebasan lahan. Dan saya pikir saya sudah nggak perlu lagi berpura-pura menjadi turis atau melakukan kegiatan 'incognito' berpura-pura melakukan study tentang masalah sosial. Mereka sudah tahu dan paham siapa saya. Orang yang akan mengancam kehidupan mereka di kemudian hari. Ya, memang itulah yang saya rasakan tentang keberadaan saya disini. Jika saya berhasil, setidaknya saya membawa ancaman akan terjadinya perubahan. Perubahan cara hidup dan cara berpikir masyarakat di desa ini. Perubahan adat dan tradisi, jika suatu saat lahan mereka hilang atau tergerus oleh perubahan karena kegiatan penambangan. Satu kesadaran yang sering membuat saya pun berpikiran mendua. Di satu sisi saya merasa terancam akan kelangsungan karir saya di perusahaan jika gagal melaksanakan pekerjaan ini, namun di sisi lain saya merasakan kekhawatiran jika mereka, atau sebagian diantara mereka, nantinya akan merasakan perubahan yang merugikan mereka. Sungguh saya merasa sayang jika mereka sampai kehilangan identitas leluhur mereka, merasa prihatin jika adat istiadat dan budaya yang selama ini mereka pertahankan harus lenyap karena perkembangan kegiatan perusahaan.

Hampir setengah hari saya berkeliling kampung (desa) yang saya saksikan adalah memang benar kemiskinan atau setidaknya kebersahajaan. Rumah-rumah panggung terbuat dari kayu yang hampir sebagian besar dalam keadaan yang memprihatinkan, dengan sebagian besar halaman dipenuhi tanah yang becek, kotor dan hitam. Anak-anak kecil bertubuh mungil yang kelihatan jauh lebih kecil dibanding seharusnya, misalnya seorang anak usia sekolah kelas 5 SD yang tubuhnya lebih mirip dengan anak usia kelas 2-3 SD. Juga saya temui seorang wanita tua berjalan menuju ladangnya dengan tubuh ringkih nyaris setinggi anak saya yang kelas 5 SD. Dan pak Ding Hong, sang Kepala Adat yang matanya mulai disaput lapisan katarak, dengan tubuh kurus dan wajah tirus, memperlihatkan gigi-gigi yang mulai rapuh dan ompong termakan usia. Mau kemana dia jika kehilangan lahannya? Memang iya, ada anaknya yang akan mengurusnya melewati masa tua bersama istrinya yang juga mulai renta. Dan rumah adat yang dia diami, juga tak kalah memprihatikan saya. Rumah panggung berdimensi sekitar 4 meter x 10 meter, ditunjang tiang-tiang pancang setinggi hampir 3 meter itu, mulai memperlihatkan bagian-bagian yang mulai gabug (rapuh) dimakan usia. Lantai-lantai kayu yang disangga balok-balok kayu ulin itu mulai keliatan rekah di beberapa bagian. Pun halamannya yang berlumpur hitam karena dijadikan lahan untuk memelihara hewan, yakni babi. Hidupnya nggak bisa nggak dibilang kurang dari bersahaja.

Dengan kehidupan yang seperti itu, nggak mengherankan jika sebagian besar dari mereka mengharapkan bisa memperoleh kompensasi yang nilainya mendekati seratus jutaan untuk setiap lahan adat yang mereka miliki yang rata-rata tak lebih dari 2 ha luasnya. Mereka yang memiliki lahan sertifikat pun, nggak aneh lagi jika mengharapkan bisa memperoleh ganti rugi atau harga beli mencapai diatas Rp 150 jt. Karena jika mereka hanya memperoleh 5 – 10 juta saja dari lahan sertifikat seluas 2 ha, apalah artinya nilai sebesar itu jika mereka manfaatkan. Membeli motor untuk anak2 muda mereka pun nggak akan cukup.

God, saya nggak tahu sementara ini harus bagaimana. Membujuk atau mengarahkan mereka untuk melepaskan lahannya dengan kompensasi 'hanya' 10 jutaan maksimal dengan konsekuensi setelah uang itu habis mereka akan kembali miskin, atau memenuhi nurani saya memberikan mereka kompensasi yang cukup signifikan agar bisa dimanfaatkan dikemudian hari namun dengan konsekuensi perusahaan harus mengeluarkan dana ratusan milyar yang pastinya akan membuat mereka bisa saja mendepak saya sewaktu-waktu karena dianggap gagal dalam bernegosiasi.

My dear Lord, saya benar-benar nggak tahu harus bagaimana. Membiarkan mata hati saya terbuka, atau membiarkan nurani saya menangis terluka. Please help me to do the best, for all of us.

Sep 8, 2008

Sosialisasi Pembebasan Lahan

Sudah dua hari ini saya menunggu dalam ketidak pastian. Menanti jawaban masyarakat Bean Heas atas undangan Perusahaan untuk mengadakan pertemuan dalam rangka sosialisasi pembebasan lahan.

Masalah pembebasan lahan ini memang semakin lama semakin membuat kepala saya berdenyut-denyut. Setiap satu hari yang terlewat seperti ada seutas nafas saya yang putus satu demi satu hingga akhirnya habis untaian utas nafas saya. Ya, setiap hari yang lewat seperti memberikan beban yang semakin berat, karena urusan pembebasan lahan ini belum memberikan perkembangan yang menggembirakan. Masyarakat masih apriori mendengarkan penjelasan dan sosialisasi yang saya lakukan. Jangankan bertemu untuk mengadakan pembasahan soal ganti rugi atau nilai kompensasi atas lahan mereka yang akan kami bebaskan, bahkan membicarakan program-program perusahaan pun merka sudah alergi. Tapi lucunya, mereka selalu mengatakan bahwa keberadaan Perusahaan kami sedikit banyak membantu sebagian anggota masyarakat desa Bean Heas terutama dalam hal perekonomian, karena adanya ikatan kerja langsung antara Perusahaan dengan banyak anggota masyarakat mereka.
Sebenarnya saya bisa memaklumi, karena proses pembebasan lahan ini seperti seakan-akan mereka tengah memberikan periuk nasinya kepada perusahaan tempat saya bekerja untuk kemudian kami musnahkan. Melepaskan hak pengelolaan lahan mereka kepada Perusahaan itu sama saja dengan mereka melepaskan satu-satunya modal yang mereka miliki kepada kami. Karena setelah pembebasan atau pelepasan lahan tersebut, Perusahaan tentunya akan membuka lahan mereka untuk segera kami lakukan kegiatan penambangan batu bara. Tentunya ada kekhawatiran dalam benak mereka jika lahan yang saat ini mereka garap, meskipun secara hukum positif mereka belum bisa mengklaim kepemilikan lahan tersebut, kemudian diberikan kepada perusahaan dengan sejumlah kompensasi tertentu. Lantas dimana mereka akan berladang nantinya? Bagaimana mereka akan makan sehari-hari nantinya karena selama ini mereka memenuhi kebutuhannya dengan jalan bertani dan berladang. Itupun dengan sistem perladangan berpindah-pindah.
Yang saya khawatirkan adalah adanya sekelompok orang-orang yang mengaku dirinya LSM, memprovokasi masyarakat disini sehingga mereka menjadi apriori terhadap kami. Atau setidaknya mereka jadi seenaknya saja menentukan nilai kompensasi yang melambung tinggi diatas nilai kewajaran. Dan melakukan negosiasi dengan masyarakat yang nota bene benaknya sudah dipenuhi dengan kecurigaan dan kemarahan tentu saja akan berjalan dengan alot dan penuh resiko. Resikonya adalah jangan sampai terjadi dead-lock. Tapi juga jangan sampai kesepakatan yang terjadi membebankan Perusahaan kami. Karena tak mungkin kami membebaskan lahan dengan biaya yang jauh melonjak di atas anggaran yang ditetapkan perusahaan.
Duuh, peningnya ngurusin masalah pembebasan lahan ini. Sayang saya nggak punya pengalaman untuk bagaimana mengatasi kendala seperti apa yang tengah saya hadapi sekarang. Karena toh sekarang bukan jamannya lagi mengadakan pendekatan represif. Sudah bukan jamannya lagi mengutamakan kekuatan fisik untuk memaksakan suatu kehendak.

Duh... pusinggg!!!!!

Sep 7, 2008

September Rain

Sep 07 2008, 7:27am

Hujan mulai rajin mengguyur bumi Bean Heas sejak awal September ini.
Seperti juga semalam. Hujan turun begitu deras. Hampir sepanjang malam nggak berhenti. Air seperti bener2 tercurah dari langit. Kecil juga hati ini melihat awan hujan yang begitu tebal, berat, padat bergumpal seperti dicairkan semua dan jatuh deras ke bumi.

Saya tidak bisa bayangkan akan seperti apa jadinya access jalan dari Bean Heas ke Wahau (dan sebaliknya) tiap kali hujan turun nggak henti-henti seperti malam tadi. Pasti bakal merepotkan orang2 yang lalu lalang disana, nantinya. Pasti akan banyak genangan air sepanjang hampir 100-200 meter panjangnya dengan kedalaman hampir setinggi roda motor, antara desa Diak Lay dan Dia Beq. Dan jika itu yang terjadi, sudah pasti akan terjadi jalur off road yang membuat jalan seperti dilapisi lumpur merah yang seperti bubur bayi yang kental. Sengsaranya luar biasa melewati jalan seperti itu, terlebih dengan motor. Karena saya pernah mengalaminya.

Tapi, herannya... pagi ini semuanya di sekitar base camp TOP terlihat seperti biasa. Seperti nggak ada sisa-sisa hujan yang meluruk bertubi-tubi semalam. Mengherankan karena tanah di sekitar desa Bean Heas ini seperti menyerap dan menelan semua genangan hujan. Kering tanpa sisa. Barangkali karena sejak pagi tadi matahari bersinar cerah dan hampir tak ada lagi awan tersisa.

Semua seperti telah habis tercurah semalam. Dan langit pagi ini begitu bersih. Biasanya, kalau langit clean begini, siang nanti pasti bakal panas terik lagi seperti biasa.

Di daerah sini hujan dan panas memang seringkali terjadi silih berganti, dengan intensitas yang hampir sama kadarnya. Begitu seimbang. Tak bosan-bosannya saya mengagumi kejadian demi kejadian yang saya alami beberapa hari belakangan ini, selama tinggal di bumi Muara Wahau, atau tepatnya di desa Bean Heas ini. What a beautiful nature. Selalu ada keseimbangan. Suatu keseimbangan alam dan harmoni yang berjalan begitu indah.

Tapi, hujan semalam tak pelak juga membuat saya hampir senewen. Kesal juga setiap kali hujan deras terjadi, signal handphone lantas drop, no network connection at all. Semua provider! Rasanya saya jadi benar2 terisolir, karena nggak bisa komunikasi dengan dunia luar. Nggak ada koneksi telpon selular, apalagi koneksi internet.

Yeahh, mau gimanalagi. Saya memang harus banyak sabar di lokasi yang jauh seperti ini. Pola pikir dan pace bekerja disini memang tidak sama dengan ketika saya di kota.. Saya lupa saya sedang ada di Muara Wahau.. hahaha

Aug 29, 2008

A week in Ben Heas - new experience



Muara Wahau, 10 Agustus 2008


A week in Ben Heas, new experience...






Seminggu di desa Ben Heas ini, ada sedikit perasaan yang mengusik hati saya. Desa ini begitu tenang. Waktu seperti berjalan di tempat. Siang memang panas terik menyengat. Dari tempat saya menetap ini, langit seperti terlihat begitu luas. Sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan tanah datar tertutup kehijauan. Entah itu belukar, pohon-pohon berpokok sedang tingginya, hamparan padi yg tumbuh di ladang, atau hamparan tanaman sawit yang rupanya menjadi bagian utama dari kehidupan masyarakat di wilayah ini.




Hampir tak ada penghalang pandangan seperti halnya bangunan-bangunan tinggi di Jakarta, hingga ke manapun saya memandang, saya hampir bisa melihat cakrawala. Ke manapun saya memandang, langit seakan membentang luas dan jatuh di garis cakrawala nun jauh di sana. Begitu luasnya.




Saya ingat, sepanjang perjalanan Sangatta - Wahau, saya memang menemui area perbukitan. Bukit yang hijau. Hijau, memang. Namun, hampir di tiap titik kehijauan itu saya bisa melihat begitu banyak pokok pohon yang entah mengapa, seperti mengering tak ada lagi cabang-cabang dan dahan tersisa, hingga tak ada lagi daun-daun yang menaungi. Agak sulit saya mengungkapkan dengan kata-kata. Melihat batang-batang pohon kering yang sedang tingginya itu seperti melihat seorang tua renta yang kurus ringkih, tinggal menunggu waktunya tumbang.




Memang itu yang saya lihat.




Informasi dari beberapa orang yang saya temui, wilayah ini dulunya adalah rimba yang mengandung kekayaan tumbuhan hutan, dengan pohon-pohonnya yang kekar besar dan tinggi menjulang menebarkan cabang-cabangnya yang rindang penuh dedaunan. Tapi itu dulu. Beberapa perusahaan HPH dan perkayuan telah habis melahap hampir semua pohon-pohon meranti, ulin dan lain-lain, hingga tinggal menyisakan hamparan semak belukar tak berarti. Tak ada lagi kekayaan yang bisa dinikmati masyarakat asli sini.




Dan kini, saya datang dengan tugas yang di satu sisi menuntut keberhasilan agar perusahaan saya bisa segera melakukan aktivitasnya, namun di sisi lain saya sadar, bahwa apa yang saya kerjakan akan menghasilkan satu dampak lingkungan baru yang lebih parah. Mungkin! Saya tiba-tiba seperti melihat hamparan wilayah seluas 12,100 ha ini seketika menjelma menjadi undakan-undakan berukuran raksasa, dengan kubangan yang juga berukuran raksasa menganga.. Dengan sapuan warna tanah merah dan bongkah-bongkah berwarna hitam.




Ya, tak berapa lama lagi tempat ini akan berubah menjadi area penambangan batu bara. Melibas habis semua yang hijau menjadi area terbuka dimana ratusan alat-alat berat seperti Dump Truck, Excavator, Wheel Loader dan ratusan lainnya berseliweran mengambil semua yang ada di perut bumi... Batu bara!




Ya, dalam hitungan 2-3 tahun lagi tempat hijau yang asri dan hening ini akan segera terusik oleh panas dan kebisingan dari raungan gemuruh alat-alat berat yang akan segera didatangkan dari mana-mana. Seperti halnya pit-pit di Sangata, Muara Bengalon, Berau... dimana perusahaan-perusahaan raksasa seperti KPC habis-habisan mengeksploitasi alam ini, mengambil kekayaannya dan menyisakan kesibukan masyarakat dan warga lokal penghuni wilayah ini turun temurun, pindah ke daerah lain.. Relokasi. Sesuatu yang sejak awal saya sadari akan sangat mungkin terjadi. Sesuatu yang menyisakan pertanyaan di benak saya, bagaimana mereka nantinya jika kelak terkena program relokasi.




Setiap saat saya berpapasan dengan sisa-sisa masyarakat suku dayak Whe Hea, selalu saja timbul rasa bersalah. Bahwasanya, tak lama lagi mereka akan kehilangan tempat tinggalnya yang sekarang mereka diami. Mereka akan kehilangan lahannya yang meski belum mereka miliki secara hukum positif, namun secara hukum adat dan turun temurun telah lama mereka diami.




Maka, ketika saya mengikuti acara Adat Melas Bumi, suatu acara adat yang diadakan dimana sub-kontraktor akan memulai kegiatan drilling minggu depan, ada perasaan teriris. Seperti halnya ketika sang ketua adat mengiris leher ayam dan babi sesembahan sambil membaca mantera dengan lantang ditujukan kepada arwah leluhur dan para penghuni gaib di hutan tempat mana titik bor ditentukan, hati saya seperti teriris menyaksikan moment-moment yang baru kali ini saya saksikan dan mungkin tidak akan ada lagi moment yang berasal dari tradisi seperti ini, suatu hari nanti. Perasaan teriris menyaksikan bahwa saya mungkin akan menjadi bagian dari hilangnya tradisi ini, jika perusahaan memulai kegiatan penambangannya di desa ini.




Dan diantara perasaan ngeri dan merinding, sejumput rasa sedih menyeruak mendengarkan sang Ketua Adat terus menyanyikan untaian jeritan pedihnya, untaian doa-doa yang memohon keselamatan dari sang Maha Kuasa dan arwah para leluhur.




Seminggu saya disana, wajah-wajah mereka melekati benak saya seakan jauh sebelum ini saya menjadi bagian dari mereka. Wajah yang menerima saya dan tim pembebasan lahan dengan tangan terbuka.

Aug 28, 2008

A long journey to Muara Wahau - a flash back

Me, with Andrey (left) and Toni (right)

Balikpapan, 3 August 2008
Go to Muara Wahau!


Tugas itu datang juga akhirnya. Tugas dari kantor untuk saya terjun ke lapangan, Muara Wahau. Suatu nama yang selama empat tahun ini hanya bisa saya sebut dan saya bayangkan seperti apa keberadaannya, tanpa pernah sekalipun saya jejak secara langsung.

Ya, selama ini nama-nama tersebut hanya bisa saya sebutkan secara fasih tanpa pernah sekalipun saya berada disana. Kecamatan Muara Wahau, desa Ben Heas, desa Diak Lay, Dia Beq, suku Dayak Wea Hea, Sengatta, dll.

Begitu lekat di kepala saya kondisi di lapangan yang selama ini hanya bisa saya lihat lewat photo-photo yang dikirim dari lapangan ke Jakarta. Kondisi medan dimana pekerjaan drilling berlangsung, kondisi sungainya yang lebar dimana ces (perahu klotok atau sampan dengan motor tempel) biasa digunakan, kondisi jalan yang belum tersentuh asphalt dan lingkungannya yang terlihat hijo royo-royo lewat photo udara yang sering saya lihat.

Dan kini, saya berkesempatan untuk menyaksikannya secara langsung... Secara langsung! After 4 years. Siapa yang nggak jadi excited? Tentu saja saya langsung semangat banget. Semangat ingin melihat seperti apa orang-orang yang katanya suku Dayak Whe Hea itu. Orang-orang yang menurut laporan selama ini, masih memegang adat istiadat secara teguh turun temurun.

Yang ada dalam benak saya semula adalah orang-orang dayak yang masih terbelakang. Hutan Kalimantan yang katanya nyamuk-nyamuknya masih sering membuat orang kena Malaria. Belum lagi ular dan penghuni hutan lain yang ada dalam benak yang membuat saya sedikit merasa khawatir. Juga lekat dalam benak saya tentang keharusan bersikap hati-hati menghadapi mereka. Kekhawatiran yang muncul karena kasus-kasus yang terjadi di Sampang, dimana orang suku Dayak bentrok dengan orang Madura, yang membuat benak saya dipenuhi kekhawatiran tentang orang Dayak, juga selentingan kabar tentang kehidupan mereka yang masih dipenuhi unsur-unsur magic seperti jampi-jampi dan lain sebagainya.

3 Agustus saya dan beberapa rekan terbang dengan 737-900ER milik Lion Air yang masih gress. Sedikit banyak ini mengurangi sedikit ketegangan saya, yang sehari sebelumnya --sialnya, secara nggak sengaja mendengarkan rekaman 'Black Box Adam Air' yang membuat bulu kuduk saya bergidik. Siapa yang nggak ngeri, besoknya mo terbang malah ngedengerin 'saat-saat menegangkan' jatuhnya pesawat Adam Air (almarhum). Ya jelas saya takut. Takut sekali. Bahkan sebenarnya tanpa 'rekaman Adam Air' pun ketakutan saya memang sudah poll! Ya, saya memang takut naik pewawat. Itu yang setidaknya membuat saya tidak terlalu ngoyo minta ditugaskan ke lapangan, takut terbang!!!

Tapi Alhamdulillah, akhirnya burung besi itu mendarat mulus (semulus para cabin crew-nya, hehehe...) di Sepinggan. Dan dimulailah perjalanan panjang yang melelahkan sepanjang Balikpapan - Samarinda - Bontang - Sengatta - Muara Wahau sampai finish di Ben Heas. Dari Balikpapan ke Samarinda menempuh kurang lebih 3 jam perjalanan plus makan2 di Tahu Sumedang (nggak nyangka, ternyata di bumi Kalimantan Timur ini masakan jawa barat ini begitu terkenal). Tiba di Samarinda tim memutuskan istirahat dan menginap. Jalan malam sebentar muter-muter coba salah satu kafe, akhirnya kembali ke hotel sudah larut.

Besoknya muter-muter lagi di Samarinda cari beberapa keperluan untuk site office. Nyoba-nyoba makanan lokal yang katanya sayang untuk dilewatkan... Akhirnya saya putuskan coba... Ikan Patin bakar. Hahahahaha.... Barangkali emang saya yang terlalu naif, tapi sejujurnya, baru kali itu saya coba yang namanya Ikan Patin. Wihhhh, wueeenak tenaannn :):):)

Akhirnya, baru sore hari tim berangkat direct ke Sangatta. Jalan masih lumayan oke lepas dari Samarinda menuju simpang Bontang. Tapi selepas simpang Bontang, sudah malam lagi, dan jalanan mulai tidak bersahabat. Rusak parah. Untung kami mengendarai Ford Ranger 4x4, jadi sedikit banyak tertolong oleh ketangguhan si Ranger ini. Barangkali karena pengalaman pertama, rasanya ini jalan panjaaang banget nggak ada habisnya. Mana pengalaman pertama pula bawa Ford Ranger, jadinya agak lelet. Hehehe, takut aja mobil kantor lecet..

Akhirnya sampai juga di Sangatta jam 12 tengah malem. Tanggal 5 Agustus. Halaaah, mundar-mandir sampe ngabisin seharian. Tapi its ok lah. Seru.. seru.. Jalur simpang Bontang - Sangatta bener2 mantabh. Nanjak.. turun.. lobang-lobang segede kubangan sapi.. tanah lumpur.. jalan amblas, semuanya jadi pengalaman berharga betapa serunya kerja di lapangan, dibanding selama ini di belakang meja, atau jalan di Jakarta yang rata-rata mulus.. lus.. lus! Alhasil lama juga sampe Sangatta. Sampe sana udah jam tidur lagi. Mata dan badan udah nagih untuk istirahat. Tapi otak nolak buat nginep. Akhirnya mutusin brenti buat ngopi-ngopi sekedar ganjel mata biar nggak rapet. Jam 2 dini hari mutusin jalan lagi. Terusssss.. terusss.. dan terusss... rasanya waktu nggak ada habis. Sampe simpang bengalon udah mau subuh lagi. Mata makin ngantuk tak tertahankan. Berhenti di pinggir jalan dan tidur pulalah kita. Bangun 1-2 jam kemudian, akhirnya jalan lagi. Badan udah berasa rontok nggak keruan. Subuh hingga menjelang matahari muncul, saya jalan lagi menikmati asyiknya perjalanan lika-liku dan naik turun. Menikmati titik-titik bintang yang disini terlihat lebih jelas karena langit nggak kena distorsi cahaya. Akhirnya hampir 1 jam nyetir, saya juga mulai ngantuk lagi. Gantian nyupir. Dan terus bablas sampai tiba di kecamatan Muara Wahau. Sampai disini matahari mulai tinggi lagi. Panasnya tak terkatakan lagi. Muaateng, deh pokoknya! Dan, akhirnya 1 jam kemudian sampai lah Ranger ini di site office. Jalan poros atau biasa disebut jalan logging membentang sepanjang 12 km dengan kondisi yang basah bekas hujan, menyebabkan mobil berjalan hati-hati agar tidak amblas. Tanah merah, jack! Dicampur air hujan kondisi lebat, jadilah bubur lumpur merah yang kalau nggak hati-hati bisa bikin ban selip. Meski pakai 4x4, tetep aja harus ekstra hati-hati supaya nggak keluar jalur. Lagi-lagi... rasanya nikmat banget. Seru.. seru.. seru... Hmmm, pantas ada sebagian orang yang suka dengan Off road.

Akhirnya, sampai di pintu mess pukul 12 tengah hari tanggal 5. Huuuh, entah saya dan teman yang terlalu lelet atau memang perjalanan yang cukup panjang. Yang jelas, judul akhirnya cuma satu... Cuaaapek!!! Sampai di mess, selepas sambutan ala kadar yang cukup hangat dari teman, saya segera mandi dan ... tidur!

Muara Wahau, here I am...


___
Aug, 2008

Aug 8, 2008

My Journey To Muara Wahau

Today's on my journey:

My Journey
to KP PT. Tekno Orbit Persada in
Kec. Muara Wahau, Kutim – Kaltim
3 – 23 Agustus 2008
by: Ramli F. Memed
Hari Pertama
Minggu, 3 Agustus 2008


  1. Berangkat bersama dengan M. Arif Utama (MAU) - IT Supervisor untuk Tugas IT, D. Sumaryanto (Teknisi Electrician) dan Herwin Setiyanto (Field Finance and IT).
  2. Dari bandara Sukarno Hatta Cengkareng (CGK) dengan penerbangan Lion Air JT-766 tujuan Balikpapan (BPN). Take off pukul 15.30 wib, meleset 10 menit dari yang dijadwalkan. Landing di BPN pukul 18.30 wita. Sesampai di bandara Sepinggan (BPN) ketika mengambil bagasi, ternyata terjadi kehilangan salah satu bagasi dari 14 koli barang, ternyata terdapat 1 koli yang hilang. Menurut MAU, 1 koli barang yang hilang adalah kardus/box yang berisi pakaian/kaos TOP. Tim PBL langsung memproses pengaduan kehilangan barang. Petugas Lion Air menjanjikan akan mengecek keberadaan barang apakah tertinggal di CGK atau barang terambil oleh penumpang lain. Akan dikabari oleh Lion Air secepatnya dalam waktu 2-3 hari.
  3. Proses claim memakan waktu 1 jam. Kemudian Tim dijemput oleh Bapak Alen. Berangkat dari Sepinggan BPN jam 19.30 menuju Samarinda dengan kendaraan Kijang Inova. Perjalanan lancar tanpa gangguan berarti. Makan malam di jalan dan tiba di Samarinda sekitar pukul 21.30 wita.
  4. Bertemu pak Eki di hotel Diamond Samarinda. Istirahat. Rencana besok, Tim akan belanja keperluan electricity di Samarinda, kemudian melanjutkan perjalanan darat dari Samarinda ke Muara Wahau.

Ini pertama kali bagi saya meninggalkan rumah dan orang-orang yang saya cintai, untuk jangka waktu yang cukup lama, 3 minggu..!! Ya! Memang rencananya cuma 3 minggu. Mungkin bagi mereka yang lain itu waktu yang nggak terlalu lama. Tapi bagi saya, jangankan membayangkan 3 minggu. Bahkan ketika ke Jogja awal Agustus kemarin yang Cuma 3 hari pun rasanya lama sekali. Saya merasa sepi, tiap kali ketika jauh dari rumah. Jauh dari Memey, Romi dan Raka... dan terutama my lovely Minarni.

Sebenarnya ada rasa excited karena akan mengalami pengalaman baru, bekerja di lapangan. Sesuatu yang sesungguhnya memang saya suka. Travelling, menemui orang2 baru, dan menjalani hal-hal yang pasti bakal menarik dan nota bene belum pernah saya alami. But, deep in my heart, I know I’m gonna miss them. I’m gonna miss her so much.

Mungkin saya terlalu berlebihan, tapi selalu saja ada kekhawatiran. Bagaimana jika ini kali terakhir saya melihat mereka dan kali terakhir mereka melihat saya.



Hari Kedua
Senin, 4 Agustus 2008

  1. Sarapan pagi.
  2. Cek out dari hotel jam 10.00 wita. Rencana dijemput jam 10 pagi meleset. Jemputan datang sekitar pukul 12.00 wita. Meluncur ke kawasan perbelanjaan untuk membeli kebutuhan lapangan (electricity tools dan lain-lain).
  3. Hunting barang di sekitar kawasan Hotel Senyur. Makan siang. Melanjutkan hunting barang hingga sekitar pukul 15.00 wita. Tim Arif/Sumaryanto/Herwin meneruskan perjalan ke Muara Wahau.
  4. RF Round town di Samarinda dengan pak Eki hingga pukul 18.00 wita kemudian meluncur ke Muara Wahau.
  5. Makan malam di Tahu Sumedang setelah + 3 jam perjalanan (pukul 21.00 wita). Istirahat 30 menit dan melanjutkan perjalanan.
  6. Tiba di Simpang Bontang, RF menggantikan pak Eki mengendarai Ranger. Tiba di Sangatta jam 24.00 wita. Bertemu pak Faisal. Pak Faisal up-date ke pak Eki mengenai kegiatan pengeboran di lahan pelabuhan, Sepasoe.

Hari Ketiga
Selasa, 5 Agustus 2008

  1. Masih istirahat di Sangatta sampai sekitar jam 03.00 wita, kemudian melanjutkan perjalanan. Pak Eki pegang kemudi.
  2. Tiba di Simpangan Muara Bengalon, istirahat sekitar 1 jam lalu melanjutkan perjalanan. Tiba di Muara Wahau sekitar pukul 09.00 wita. Antri penyeberangan Ponton dan tiba di site office TOP di desa Benheas sekitar pukul 11.00 wita.
  3. Istirahat hingga sore.
  4. Kirim sms berita ke NS laporan baru tiba sekitar pukul 03.00 wita. Briefing singkat dengan pak Eki dan Toni (anggota PBL di lapangan). Tidak ada kegiatan lanjutan hingga istirahat tidur.


Hari Ke-empat
Rabu, 6 Agustus 2008

  1. Briefing dan meeting koordinasi pagi sekitar pukul 09.00 wita.
  2. Kirim email mengenai up date kegiatan ke NS/AS/IR.
  3. Meninjau bakal Base Camp TOP dan DPM di Diak Lay.
  4. Ke lokasi acara adat ‘Melas Tanah’ yang akan diadakan besok.
  5. Kembali ke Ben Heas (site office TOP). Istirahat.
  6. Briefing dengan pak Toni mengenai rencana acara adat ‘Melas Tanah’ besok.

Hari Ke-lima
Kamis, 7 Agustus 2008

  1. Briefing dengan Tim TOP pagi.
  2. Menghadiri acara adat ‘Melas Tanah’ di desa Diak Lay.
  3. Kembali ke Base Camp di Ben Heas.

Hari ini saya menghadiri kegiatan sebagian masyarakat desa Diak Lay, yang berhubungan dengan kegiatan Perusahaan. Besok rencananya drilling akan dimulai lagi di wilayah selatan. Sesuai dengan anjuran para pemuka adat di desa Diak Lay –tempat berlangsungnya kegiatan drilling, maka Perusahaan diharuskan mengadakan suatu prosesi ritual menurut adat kepercayaan mereka yang disebut ‘Melas Tanah’. Ritual ini diadakan dengan maksud untuk meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan –sesuai dengan kepercayaan mereka— ruh-ruh atau arwah para leluhur, serta penguasa hutan setempat, agar kegiatan drilling nantinya bias berjalan dengan baik, lancer dan terutama keselamatan. Ini dilakukan, karena, masih menurut mereka para pemuka adat, lokasi dimana nanti akan dilakukan drilling menurut mereka masih angker.

Pukul 8 selesai sarapan dan briefing pagi dengan rekan kerja tim PBL (land acquisition), kami mulai menuju desa Diak Lay dengan beberapa crew drilling dan tim perintis (tim perintis adalah tim yang kerjanya khusus untuk membuka areal dan jalan di lahan tempat dimana titik pengeboran berada). Jarak dari desa Diak Lay dengan desa Benheas tempat kami bertempat (kantor lapangan PT. Tekno Orbit Persada) tidak seberapa jauh, hanya sekitar 4 kilo meter. Kami menumpang mobil crew PT. Dwi Prama Megah (DPM), perusahaan drilling. Sesampai di desa Diak Lay, kami mampir sebentar untuk melihat kesibukan DPM yang sedang mempersiapkan base camp mereka disana. Sekitar pukul 10.00 wita, kami mulai memasuki lokasi dimana diadakan ritual ‘Melas Tanah’ tersebut.

Mungkin buat mereka yang terbiasa berada di lapangan, memasuki lahan yang dipenuhi semak belukar lebat, pohon-pohon yang tumbuh rapat, adalah hal biasa. Namun bagi saya, yang sehari-hari hanya mengenal belukar gedung-gedung bertingkat dan berkantor di ruangan yang serba AC dengan peralatan modern dan furniture yang mewah, memasuki lahan (yang bagi saya adalah) hutan, tetap saja menimbulkan sensasi tersendiri. Ada perasaan aneh, takjub dan perasaan lain bercampur aduk. Excited, tentu saja!

Disana saya bertemu dengan beberapa pekerja perusahaan lain yang kebetulan berlokasi di sekitar KP kami. Sempat berkenal dengan beberapa orang, pak Yuli yang orang PT. Swakarsa Sinar Sentosa perusahaan perkebunan, pak Tri yang orang PT. Nartata (perusahaan HPH), dan beberapa kepala adat dan kepala desa Diak Lay, Dia Beq dan Selabing. Sempat ngobrol dengan kepala desa Diak Lay, pak Andreas Tung, dan beberapa orang Dayak suku Whehea (kedengarannya demikian, namun saya kurang yakin bagaimana spelling atau pengucapan yang sebenarnya). Oh ya, disana saya juga ngobrol dengan Kepala Adat Besar Kec. Muara Wahau, namanya… orang memanggilnya pak Bur. Saya memang belum dapat berinteraksi langsung dengan mereka secara intens, hanya melihat mereka secara fisik luarnya saja. Disamping kendala waktu, juga kendala lain seperti bahasa. Well, secara fisik mereka terlihat jauh dari sederhana.

Acara ‘Melas Tanah’ akhirnya dimulai sekitar pukul 12 lewat sedikit. Persiapan-persiapan memang telah dilakukan sejak kemarin dan pagi harinya. Ada tenda dan bangku-bangku yang dibuat secara spontan memanfaatkan batang-batang pohon. Terus terang saya merasa kagum. Mereka benar-benar pandai memanfaatkan apa yang ada di alam untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Mulai dari rumah-rumah yang hampir seluruhnya menggunakan kayu, sampai berbagai peralatan di dalam rumah yang bahan dasarnya kayu, seperti meja, kursi, peti2 perkakas, pagar-pagar rumah dan lainnya. Di lokasi upacara ritual pun begitu. Hutan mereka ‘buka’ dengan cara menebas semak dan pohon-pohon kecil dan disusun sedemikian rupa melingkar menjadi tempat-tempat duduk yang nyaman dibawah keteduhan daun-daun yang cukup rindang. Panas terik di siang bolong tak terasa sama sekali. Tanah yang saya pijak terasa lembab, tebal dilapisi guguran daun-daun yang mengering. Hampir saya tak bisa melihat dasarnya, saking tebalnya lapisan daun.

Sekitar beberapa menit lewat pukul 12, ketua adat Diak Lay memulai ritual tersebut. Sebuah meja persembahan berdiri dipagari oleh batang-batang pohon berdiameter sekitar 3-4 cm yang ditanam mengelilingi meja. Untuk menguatkan pagar, batang-batang bambu itu ‘diikat’ oleh anyaman rotan yang keliatannya juga diambil dari hutan sekitar. Pagar-pagar dihiasi oleh sayatan kulit rotan yang berbentuk seperti spiral, dicelup cairan warna merah dan hijau. Diatas meja yang seperti altar tersebut, disusun bermacam-macam makanan seperti telur ayam kampung, nasi di bungkus daun pisang, daging ayam kampung yang baru selesai dibakar, daging babi yang juga dibakar, beras dan beberapa bahan lain yang tak sempat saya perhatikan satu persatu. Selesai persiapan, kepala adat mulai melakukan semacam upacara ritual. Mulutnya mengucapkan kata-kata, entah kalimat apa, tapi seperti mantera. Suaranya kencang membahana. Hutan seketika seperti senyap mendengarkan teriakannya yang –entah mengapa, membuat saya sedikit merinding. Saya tidak mengerti kata-katanya yang dalam bahasa dayak asli, karena hampir tak ada kosa kata bahasa indonesia yang bisa saya tangkap. Namun dalam raut wajah dan nadanya, seperti ada nada pengharapan, permohonan dan permintaan. Barangkali beliau tengah meminta kepada ruh-ruh para leluhur yang mereka yakini bertransformasi dan menitis pada pepohonan, bebatuan dan lingkungan hutan sekitar kami. Mungkin juga mereka tengah berbicara dengan para penguasa alam gaib di hutan sekitar. Atau mungkin tengah berdoa pada Tuhan yang mereka yakini wujud dalam kekuatan dan keangkeran hutan. Suaranya terus membahana.

Sekitar 15 menit pembacaan ‘doa-doa’ tersebut akhirnya selesai, lalu seluruh yang hadir diminta untuk menyentuh ayam kampung dan anak babi tersebut. Saya mengikuti yang lain melakukan hal yang diminta tadi. Lalu, kepala adat menyembelih ayam kampung dan anak babi itu satu per satu, sambil mulutnya tak henti mengucapkan untaian doa-doa. Darah mengalir dari kedua hewan tersebut. Mengucur melalui semacam pisau kecil yang sangat tajam. Saya lihat setelah kedua hewan tersebut mati, sang kepala adat membedah perut kedua hewan tersebut dan mengeluarkan isi perutnya sedikit. Kedua hewan sesembahan tersebut lalu diletakkan di altar. Selesai sudah.

Salah seorang maju ke tengah lingkaran kami yang menyaksikan ritual tersebut dan memberikan sedikit penjelasan tentang ritual yang baru berlangsung tadi. Tak lama kemudian kami meninggalkan tempat itu satu persatu.

Malam itu pikiranku dipenuhi oleh ingatan ketika babi kecil itu disembelih, dan suara jeritannya yang menyayat membelah kesenyapan hutan.



Hari Ke-Enam
Jumat, 8 Agustus 2008

  1. Briefing dengan Tim TOP pagi.
  2. Persiapan menerima tamu dari RAK besok. Datang pagi.
  3. Bertemu dengan pak Camat M. Warau jam 01.00 pm di Wahau.
  4. Belanja keperluan menyambut tamu dari PT. RAK

Hari ini saya bertemu pak Camat. Akhirnya, setelah menunggu lebih kurang 3 hari. Pertemuan di rumah makan Mama Leon di SP4, desa Kong Beng. Setelah berbasa-basi, pak Eki, saya dan pak Toni menyampaikan maksud dan tujuan kami menemui beliau, meskipun hakekatnya beliau sudah tahu. Hanya mengulang apa yang pernah kami sampaikan via telepon, yakni keinginan dan permohonan kami agar pak Camat membantu kami mengurus masalah pembebasan lahan di wilayah desa Ben Heas, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Mendengar penjelasan pak Camat, terus terang saya sedikit kecil hati. Rupanya, masalah pembebasan lahan memang bukan suatu hal yang sederhana dan bisa dilaksanakan dengan mudah. Urusan ini sepertinya akan menjadi suatu proses panjang, melibatkan sumber daya, pikiran dan tenaga.

Sepertinya aku harus siap menjalani perjalanan panjang di desa ini.


____
Aug, 2008