Aug 29, 2008

A week in Ben Heas - new experience



Muara Wahau, 10 Agustus 2008


A week in Ben Heas, new experience...






Seminggu di desa Ben Heas ini, ada sedikit perasaan yang mengusik hati saya. Desa ini begitu tenang. Waktu seperti berjalan di tempat. Siang memang panas terik menyengat. Dari tempat saya menetap ini, langit seperti terlihat begitu luas. Sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan tanah datar tertutup kehijauan. Entah itu belukar, pohon-pohon berpokok sedang tingginya, hamparan padi yg tumbuh di ladang, atau hamparan tanaman sawit yang rupanya menjadi bagian utama dari kehidupan masyarakat di wilayah ini.




Hampir tak ada penghalang pandangan seperti halnya bangunan-bangunan tinggi di Jakarta, hingga ke manapun saya memandang, saya hampir bisa melihat cakrawala. Ke manapun saya memandang, langit seakan membentang luas dan jatuh di garis cakrawala nun jauh di sana. Begitu luasnya.




Saya ingat, sepanjang perjalanan Sangatta - Wahau, saya memang menemui area perbukitan. Bukit yang hijau. Hijau, memang. Namun, hampir di tiap titik kehijauan itu saya bisa melihat begitu banyak pokok pohon yang entah mengapa, seperti mengering tak ada lagi cabang-cabang dan dahan tersisa, hingga tak ada lagi daun-daun yang menaungi. Agak sulit saya mengungkapkan dengan kata-kata. Melihat batang-batang pohon kering yang sedang tingginya itu seperti melihat seorang tua renta yang kurus ringkih, tinggal menunggu waktunya tumbang.




Memang itu yang saya lihat.




Informasi dari beberapa orang yang saya temui, wilayah ini dulunya adalah rimba yang mengandung kekayaan tumbuhan hutan, dengan pohon-pohonnya yang kekar besar dan tinggi menjulang menebarkan cabang-cabangnya yang rindang penuh dedaunan. Tapi itu dulu. Beberapa perusahaan HPH dan perkayuan telah habis melahap hampir semua pohon-pohon meranti, ulin dan lain-lain, hingga tinggal menyisakan hamparan semak belukar tak berarti. Tak ada lagi kekayaan yang bisa dinikmati masyarakat asli sini.




Dan kini, saya datang dengan tugas yang di satu sisi menuntut keberhasilan agar perusahaan saya bisa segera melakukan aktivitasnya, namun di sisi lain saya sadar, bahwa apa yang saya kerjakan akan menghasilkan satu dampak lingkungan baru yang lebih parah. Mungkin! Saya tiba-tiba seperti melihat hamparan wilayah seluas 12,100 ha ini seketika menjelma menjadi undakan-undakan berukuran raksasa, dengan kubangan yang juga berukuran raksasa menganga.. Dengan sapuan warna tanah merah dan bongkah-bongkah berwarna hitam.




Ya, tak berapa lama lagi tempat ini akan berubah menjadi area penambangan batu bara. Melibas habis semua yang hijau menjadi area terbuka dimana ratusan alat-alat berat seperti Dump Truck, Excavator, Wheel Loader dan ratusan lainnya berseliweran mengambil semua yang ada di perut bumi... Batu bara!




Ya, dalam hitungan 2-3 tahun lagi tempat hijau yang asri dan hening ini akan segera terusik oleh panas dan kebisingan dari raungan gemuruh alat-alat berat yang akan segera didatangkan dari mana-mana. Seperti halnya pit-pit di Sangata, Muara Bengalon, Berau... dimana perusahaan-perusahaan raksasa seperti KPC habis-habisan mengeksploitasi alam ini, mengambil kekayaannya dan menyisakan kesibukan masyarakat dan warga lokal penghuni wilayah ini turun temurun, pindah ke daerah lain.. Relokasi. Sesuatu yang sejak awal saya sadari akan sangat mungkin terjadi. Sesuatu yang menyisakan pertanyaan di benak saya, bagaimana mereka nantinya jika kelak terkena program relokasi.




Setiap saat saya berpapasan dengan sisa-sisa masyarakat suku dayak Whe Hea, selalu saja timbul rasa bersalah. Bahwasanya, tak lama lagi mereka akan kehilangan tempat tinggalnya yang sekarang mereka diami. Mereka akan kehilangan lahannya yang meski belum mereka miliki secara hukum positif, namun secara hukum adat dan turun temurun telah lama mereka diami.




Maka, ketika saya mengikuti acara Adat Melas Bumi, suatu acara adat yang diadakan dimana sub-kontraktor akan memulai kegiatan drilling minggu depan, ada perasaan teriris. Seperti halnya ketika sang ketua adat mengiris leher ayam dan babi sesembahan sambil membaca mantera dengan lantang ditujukan kepada arwah leluhur dan para penghuni gaib di hutan tempat mana titik bor ditentukan, hati saya seperti teriris menyaksikan moment-moment yang baru kali ini saya saksikan dan mungkin tidak akan ada lagi moment yang berasal dari tradisi seperti ini, suatu hari nanti. Perasaan teriris menyaksikan bahwa saya mungkin akan menjadi bagian dari hilangnya tradisi ini, jika perusahaan memulai kegiatan penambangannya di desa ini.




Dan diantara perasaan ngeri dan merinding, sejumput rasa sedih menyeruak mendengarkan sang Ketua Adat terus menyanyikan untaian jeritan pedihnya, untaian doa-doa yang memohon keselamatan dari sang Maha Kuasa dan arwah para leluhur.




Seminggu saya disana, wajah-wajah mereka melekati benak saya seakan jauh sebelum ini saya menjadi bagian dari mereka. Wajah yang menerima saya dan tim pembebasan lahan dengan tangan terbuka.

Aug 28, 2008

A long journey to Muara Wahau - a flash back

Me, with Andrey (left) and Toni (right)

Balikpapan, 3 August 2008
Go to Muara Wahau!


Tugas itu datang juga akhirnya. Tugas dari kantor untuk saya terjun ke lapangan, Muara Wahau. Suatu nama yang selama empat tahun ini hanya bisa saya sebut dan saya bayangkan seperti apa keberadaannya, tanpa pernah sekalipun saya jejak secara langsung.

Ya, selama ini nama-nama tersebut hanya bisa saya sebutkan secara fasih tanpa pernah sekalipun saya berada disana. Kecamatan Muara Wahau, desa Ben Heas, desa Diak Lay, Dia Beq, suku Dayak Wea Hea, Sengatta, dll.

Begitu lekat di kepala saya kondisi di lapangan yang selama ini hanya bisa saya lihat lewat photo-photo yang dikirim dari lapangan ke Jakarta. Kondisi medan dimana pekerjaan drilling berlangsung, kondisi sungainya yang lebar dimana ces (perahu klotok atau sampan dengan motor tempel) biasa digunakan, kondisi jalan yang belum tersentuh asphalt dan lingkungannya yang terlihat hijo royo-royo lewat photo udara yang sering saya lihat.

Dan kini, saya berkesempatan untuk menyaksikannya secara langsung... Secara langsung! After 4 years. Siapa yang nggak jadi excited? Tentu saja saya langsung semangat banget. Semangat ingin melihat seperti apa orang-orang yang katanya suku Dayak Whe Hea itu. Orang-orang yang menurut laporan selama ini, masih memegang adat istiadat secara teguh turun temurun.

Yang ada dalam benak saya semula adalah orang-orang dayak yang masih terbelakang. Hutan Kalimantan yang katanya nyamuk-nyamuknya masih sering membuat orang kena Malaria. Belum lagi ular dan penghuni hutan lain yang ada dalam benak yang membuat saya sedikit merasa khawatir. Juga lekat dalam benak saya tentang keharusan bersikap hati-hati menghadapi mereka. Kekhawatiran yang muncul karena kasus-kasus yang terjadi di Sampang, dimana orang suku Dayak bentrok dengan orang Madura, yang membuat benak saya dipenuhi kekhawatiran tentang orang Dayak, juga selentingan kabar tentang kehidupan mereka yang masih dipenuhi unsur-unsur magic seperti jampi-jampi dan lain sebagainya.

3 Agustus saya dan beberapa rekan terbang dengan 737-900ER milik Lion Air yang masih gress. Sedikit banyak ini mengurangi sedikit ketegangan saya, yang sehari sebelumnya --sialnya, secara nggak sengaja mendengarkan rekaman 'Black Box Adam Air' yang membuat bulu kuduk saya bergidik. Siapa yang nggak ngeri, besoknya mo terbang malah ngedengerin 'saat-saat menegangkan' jatuhnya pesawat Adam Air (almarhum). Ya jelas saya takut. Takut sekali. Bahkan sebenarnya tanpa 'rekaman Adam Air' pun ketakutan saya memang sudah poll! Ya, saya memang takut naik pewawat. Itu yang setidaknya membuat saya tidak terlalu ngoyo minta ditugaskan ke lapangan, takut terbang!!!

Tapi Alhamdulillah, akhirnya burung besi itu mendarat mulus (semulus para cabin crew-nya, hehehe...) di Sepinggan. Dan dimulailah perjalanan panjang yang melelahkan sepanjang Balikpapan - Samarinda - Bontang - Sengatta - Muara Wahau sampai finish di Ben Heas. Dari Balikpapan ke Samarinda menempuh kurang lebih 3 jam perjalanan plus makan2 di Tahu Sumedang (nggak nyangka, ternyata di bumi Kalimantan Timur ini masakan jawa barat ini begitu terkenal). Tiba di Samarinda tim memutuskan istirahat dan menginap. Jalan malam sebentar muter-muter coba salah satu kafe, akhirnya kembali ke hotel sudah larut.

Besoknya muter-muter lagi di Samarinda cari beberapa keperluan untuk site office. Nyoba-nyoba makanan lokal yang katanya sayang untuk dilewatkan... Akhirnya saya putuskan coba... Ikan Patin bakar. Hahahahaha.... Barangkali emang saya yang terlalu naif, tapi sejujurnya, baru kali itu saya coba yang namanya Ikan Patin. Wihhhh, wueeenak tenaannn :):):)

Akhirnya, baru sore hari tim berangkat direct ke Sangatta. Jalan masih lumayan oke lepas dari Samarinda menuju simpang Bontang. Tapi selepas simpang Bontang, sudah malam lagi, dan jalanan mulai tidak bersahabat. Rusak parah. Untung kami mengendarai Ford Ranger 4x4, jadi sedikit banyak tertolong oleh ketangguhan si Ranger ini. Barangkali karena pengalaman pertama, rasanya ini jalan panjaaang banget nggak ada habisnya. Mana pengalaman pertama pula bawa Ford Ranger, jadinya agak lelet. Hehehe, takut aja mobil kantor lecet..

Akhirnya sampai juga di Sangatta jam 12 tengah malem. Tanggal 5 Agustus. Halaaah, mundar-mandir sampe ngabisin seharian. Tapi its ok lah. Seru.. seru.. Jalur simpang Bontang - Sangatta bener2 mantabh. Nanjak.. turun.. lobang-lobang segede kubangan sapi.. tanah lumpur.. jalan amblas, semuanya jadi pengalaman berharga betapa serunya kerja di lapangan, dibanding selama ini di belakang meja, atau jalan di Jakarta yang rata-rata mulus.. lus.. lus! Alhasil lama juga sampe Sangatta. Sampe sana udah jam tidur lagi. Mata dan badan udah nagih untuk istirahat. Tapi otak nolak buat nginep. Akhirnya mutusin brenti buat ngopi-ngopi sekedar ganjel mata biar nggak rapet. Jam 2 dini hari mutusin jalan lagi. Terusssss.. terusss.. dan terusss... rasanya waktu nggak ada habis. Sampe simpang bengalon udah mau subuh lagi. Mata makin ngantuk tak tertahankan. Berhenti di pinggir jalan dan tidur pulalah kita. Bangun 1-2 jam kemudian, akhirnya jalan lagi. Badan udah berasa rontok nggak keruan. Subuh hingga menjelang matahari muncul, saya jalan lagi menikmati asyiknya perjalanan lika-liku dan naik turun. Menikmati titik-titik bintang yang disini terlihat lebih jelas karena langit nggak kena distorsi cahaya. Akhirnya hampir 1 jam nyetir, saya juga mulai ngantuk lagi. Gantian nyupir. Dan terus bablas sampai tiba di kecamatan Muara Wahau. Sampai disini matahari mulai tinggi lagi. Panasnya tak terkatakan lagi. Muaateng, deh pokoknya! Dan, akhirnya 1 jam kemudian sampai lah Ranger ini di site office. Jalan poros atau biasa disebut jalan logging membentang sepanjang 12 km dengan kondisi yang basah bekas hujan, menyebabkan mobil berjalan hati-hati agar tidak amblas. Tanah merah, jack! Dicampur air hujan kondisi lebat, jadilah bubur lumpur merah yang kalau nggak hati-hati bisa bikin ban selip. Meski pakai 4x4, tetep aja harus ekstra hati-hati supaya nggak keluar jalur. Lagi-lagi... rasanya nikmat banget. Seru.. seru.. seru... Hmmm, pantas ada sebagian orang yang suka dengan Off road.

Akhirnya, sampai di pintu mess pukul 12 tengah hari tanggal 5. Huuuh, entah saya dan teman yang terlalu lelet atau memang perjalanan yang cukup panjang. Yang jelas, judul akhirnya cuma satu... Cuaaapek!!! Sampai di mess, selepas sambutan ala kadar yang cukup hangat dari teman, saya segera mandi dan ... tidur!

Muara Wahau, here I am...


___
Aug, 2008

Aug 8, 2008

My Journey To Muara Wahau

Today's on my journey:

My Journey
to KP PT. Tekno Orbit Persada in
Kec. Muara Wahau, Kutim – Kaltim
3 – 23 Agustus 2008
by: Ramli F. Memed
Hari Pertama
Minggu, 3 Agustus 2008


  1. Berangkat bersama dengan M. Arif Utama (MAU) - IT Supervisor untuk Tugas IT, D. Sumaryanto (Teknisi Electrician) dan Herwin Setiyanto (Field Finance and IT).
  2. Dari bandara Sukarno Hatta Cengkareng (CGK) dengan penerbangan Lion Air JT-766 tujuan Balikpapan (BPN). Take off pukul 15.30 wib, meleset 10 menit dari yang dijadwalkan. Landing di BPN pukul 18.30 wita. Sesampai di bandara Sepinggan (BPN) ketika mengambil bagasi, ternyata terjadi kehilangan salah satu bagasi dari 14 koli barang, ternyata terdapat 1 koli yang hilang. Menurut MAU, 1 koli barang yang hilang adalah kardus/box yang berisi pakaian/kaos TOP. Tim PBL langsung memproses pengaduan kehilangan barang. Petugas Lion Air menjanjikan akan mengecek keberadaan barang apakah tertinggal di CGK atau barang terambil oleh penumpang lain. Akan dikabari oleh Lion Air secepatnya dalam waktu 2-3 hari.
  3. Proses claim memakan waktu 1 jam. Kemudian Tim dijemput oleh Bapak Alen. Berangkat dari Sepinggan BPN jam 19.30 menuju Samarinda dengan kendaraan Kijang Inova. Perjalanan lancar tanpa gangguan berarti. Makan malam di jalan dan tiba di Samarinda sekitar pukul 21.30 wita.
  4. Bertemu pak Eki di hotel Diamond Samarinda. Istirahat. Rencana besok, Tim akan belanja keperluan electricity di Samarinda, kemudian melanjutkan perjalanan darat dari Samarinda ke Muara Wahau.

Ini pertama kali bagi saya meninggalkan rumah dan orang-orang yang saya cintai, untuk jangka waktu yang cukup lama, 3 minggu..!! Ya! Memang rencananya cuma 3 minggu. Mungkin bagi mereka yang lain itu waktu yang nggak terlalu lama. Tapi bagi saya, jangankan membayangkan 3 minggu. Bahkan ketika ke Jogja awal Agustus kemarin yang Cuma 3 hari pun rasanya lama sekali. Saya merasa sepi, tiap kali ketika jauh dari rumah. Jauh dari Memey, Romi dan Raka... dan terutama my lovely Minarni.

Sebenarnya ada rasa excited karena akan mengalami pengalaman baru, bekerja di lapangan. Sesuatu yang sesungguhnya memang saya suka. Travelling, menemui orang2 baru, dan menjalani hal-hal yang pasti bakal menarik dan nota bene belum pernah saya alami. But, deep in my heart, I know I’m gonna miss them. I’m gonna miss her so much.

Mungkin saya terlalu berlebihan, tapi selalu saja ada kekhawatiran. Bagaimana jika ini kali terakhir saya melihat mereka dan kali terakhir mereka melihat saya.



Hari Kedua
Senin, 4 Agustus 2008

  1. Sarapan pagi.
  2. Cek out dari hotel jam 10.00 wita. Rencana dijemput jam 10 pagi meleset. Jemputan datang sekitar pukul 12.00 wita. Meluncur ke kawasan perbelanjaan untuk membeli kebutuhan lapangan (electricity tools dan lain-lain).
  3. Hunting barang di sekitar kawasan Hotel Senyur. Makan siang. Melanjutkan hunting barang hingga sekitar pukul 15.00 wita. Tim Arif/Sumaryanto/Herwin meneruskan perjalan ke Muara Wahau.
  4. RF Round town di Samarinda dengan pak Eki hingga pukul 18.00 wita kemudian meluncur ke Muara Wahau.
  5. Makan malam di Tahu Sumedang setelah + 3 jam perjalanan (pukul 21.00 wita). Istirahat 30 menit dan melanjutkan perjalanan.
  6. Tiba di Simpang Bontang, RF menggantikan pak Eki mengendarai Ranger. Tiba di Sangatta jam 24.00 wita. Bertemu pak Faisal. Pak Faisal up-date ke pak Eki mengenai kegiatan pengeboran di lahan pelabuhan, Sepasoe.

Hari Ketiga
Selasa, 5 Agustus 2008

  1. Masih istirahat di Sangatta sampai sekitar jam 03.00 wita, kemudian melanjutkan perjalanan. Pak Eki pegang kemudi.
  2. Tiba di Simpangan Muara Bengalon, istirahat sekitar 1 jam lalu melanjutkan perjalanan. Tiba di Muara Wahau sekitar pukul 09.00 wita. Antri penyeberangan Ponton dan tiba di site office TOP di desa Benheas sekitar pukul 11.00 wita.
  3. Istirahat hingga sore.
  4. Kirim sms berita ke NS laporan baru tiba sekitar pukul 03.00 wita. Briefing singkat dengan pak Eki dan Toni (anggota PBL di lapangan). Tidak ada kegiatan lanjutan hingga istirahat tidur.


Hari Ke-empat
Rabu, 6 Agustus 2008

  1. Briefing dan meeting koordinasi pagi sekitar pukul 09.00 wita.
  2. Kirim email mengenai up date kegiatan ke NS/AS/IR.
  3. Meninjau bakal Base Camp TOP dan DPM di Diak Lay.
  4. Ke lokasi acara adat ‘Melas Tanah’ yang akan diadakan besok.
  5. Kembali ke Ben Heas (site office TOP). Istirahat.
  6. Briefing dengan pak Toni mengenai rencana acara adat ‘Melas Tanah’ besok.

Hari Ke-lima
Kamis, 7 Agustus 2008

  1. Briefing dengan Tim TOP pagi.
  2. Menghadiri acara adat ‘Melas Tanah’ di desa Diak Lay.
  3. Kembali ke Base Camp di Ben Heas.

Hari ini saya menghadiri kegiatan sebagian masyarakat desa Diak Lay, yang berhubungan dengan kegiatan Perusahaan. Besok rencananya drilling akan dimulai lagi di wilayah selatan. Sesuai dengan anjuran para pemuka adat di desa Diak Lay –tempat berlangsungnya kegiatan drilling, maka Perusahaan diharuskan mengadakan suatu prosesi ritual menurut adat kepercayaan mereka yang disebut ‘Melas Tanah’. Ritual ini diadakan dengan maksud untuk meminta kepada Tuhan Yang Maha Esa dan –sesuai dengan kepercayaan mereka— ruh-ruh atau arwah para leluhur, serta penguasa hutan setempat, agar kegiatan drilling nantinya bias berjalan dengan baik, lancer dan terutama keselamatan. Ini dilakukan, karena, masih menurut mereka para pemuka adat, lokasi dimana nanti akan dilakukan drilling menurut mereka masih angker.

Pukul 8 selesai sarapan dan briefing pagi dengan rekan kerja tim PBL (land acquisition), kami mulai menuju desa Diak Lay dengan beberapa crew drilling dan tim perintis (tim perintis adalah tim yang kerjanya khusus untuk membuka areal dan jalan di lahan tempat dimana titik pengeboran berada). Jarak dari desa Diak Lay dengan desa Benheas tempat kami bertempat (kantor lapangan PT. Tekno Orbit Persada) tidak seberapa jauh, hanya sekitar 4 kilo meter. Kami menumpang mobil crew PT. Dwi Prama Megah (DPM), perusahaan drilling. Sesampai di desa Diak Lay, kami mampir sebentar untuk melihat kesibukan DPM yang sedang mempersiapkan base camp mereka disana. Sekitar pukul 10.00 wita, kami mulai memasuki lokasi dimana diadakan ritual ‘Melas Tanah’ tersebut.

Mungkin buat mereka yang terbiasa berada di lapangan, memasuki lahan yang dipenuhi semak belukar lebat, pohon-pohon yang tumbuh rapat, adalah hal biasa. Namun bagi saya, yang sehari-hari hanya mengenal belukar gedung-gedung bertingkat dan berkantor di ruangan yang serba AC dengan peralatan modern dan furniture yang mewah, memasuki lahan (yang bagi saya adalah) hutan, tetap saja menimbulkan sensasi tersendiri. Ada perasaan aneh, takjub dan perasaan lain bercampur aduk. Excited, tentu saja!

Disana saya bertemu dengan beberapa pekerja perusahaan lain yang kebetulan berlokasi di sekitar KP kami. Sempat berkenal dengan beberapa orang, pak Yuli yang orang PT. Swakarsa Sinar Sentosa perusahaan perkebunan, pak Tri yang orang PT. Nartata (perusahaan HPH), dan beberapa kepala adat dan kepala desa Diak Lay, Dia Beq dan Selabing. Sempat ngobrol dengan kepala desa Diak Lay, pak Andreas Tung, dan beberapa orang Dayak suku Whehea (kedengarannya demikian, namun saya kurang yakin bagaimana spelling atau pengucapan yang sebenarnya). Oh ya, disana saya juga ngobrol dengan Kepala Adat Besar Kec. Muara Wahau, namanya… orang memanggilnya pak Bur. Saya memang belum dapat berinteraksi langsung dengan mereka secara intens, hanya melihat mereka secara fisik luarnya saja. Disamping kendala waktu, juga kendala lain seperti bahasa. Well, secara fisik mereka terlihat jauh dari sederhana.

Acara ‘Melas Tanah’ akhirnya dimulai sekitar pukul 12 lewat sedikit. Persiapan-persiapan memang telah dilakukan sejak kemarin dan pagi harinya. Ada tenda dan bangku-bangku yang dibuat secara spontan memanfaatkan batang-batang pohon. Terus terang saya merasa kagum. Mereka benar-benar pandai memanfaatkan apa yang ada di alam untuk kebutuhan mereka sehari-hari. Mulai dari rumah-rumah yang hampir seluruhnya menggunakan kayu, sampai berbagai peralatan di dalam rumah yang bahan dasarnya kayu, seperti meja, kursi, peti2 perkakas, pagar-pagar rumah dan lainnya. Di lokasi upacara ritual pun begitu. Hutan mereka ‘buka’ dengan cara menebas semak dan pohon-pohon kecil dan disusun sedemikian rupa melingkar menjadi tempat-tempat duduk yang nyaman dibawah keteduhan daun-daun yang cukup rindang. Panas terik di siang bolong tak terasa sama sekali. Tanah yang saya pijak terasa lembab, tebal dilapisi guguran daun-daun yang mengering. Hampir saya tak bisa melihat dasarnya, saking tebalnya lapisan daun.

Sekitar beberapa menit lewat pukul 12, ketua adat Diak Lay memulai ritual tersebut. Sebuah meja persembahan berdiri dipagari oleh batang-batang pohon berdiameter sekitar 3-4 cm yang ditanam mengelilingi meja. Untuk menguatkan pagar, batang-batang bambu itu ‘diikat’ oleh anyaman rotan yang keliatannya juga diambil dari hutan sekitar. Pagar-pagar dihiasi oleh sayatan kulit rotan yang berbentuk seperti spiral, dicelup cairan warna merah dan hijau. Diatas meja yang seperti altar tersebut, disusun bermacam-macam makanan seperti telur ayam kampung, nasi di bungkus daun pisang, daging ayam kampung yang baru selesai dibakar, daging babi yang juga dibakar, beras dan beberapa bahan lain yang tak sempat saya perhatikan satu persatu. Selesai persiapan, kepala adat mulai melakukan semacam upacara ritual. Mulutnya mengucapkan kata-kata, entah kalimat apa, tapi seperti mantera. Suaranya kencang membahana. Hutan seketika seperti senyap mendengarkan teriakannya yang –entah mengapa, membuat saya sedikit merinding. Saya tidak mengerti kata-katanya yang dalam bahasa dayak asli, karena hampir tak ada kosa kata bahasa indonesia yang bisa saya tangkap. Namun dalam raut wajah dan nadanya, seperti ada nada pengharapan, permohonan dan permintaan. Barangkali beliau tengah meminta kepada ruh-ruh para leluhur yang mereka yakini bertransformasi dan menitis pada pepohonan, bebatuan dan lingkungan hutan sekitar kami. Mungkin juga mereka tengah berbicara dengan para penguasa alam gaib di hutan sekitar. Atau mungkin tengah berdoa pada Tuhan yang mereka yakini wujud dalam kekuatan dan keangkeran hutan. Suaranya terus membahana.

Sekitar 15 menit pembacaan ‘doa-doa’ tersebut akhirnya selesai, lalu seluruh yang hadir diminta untuk menyentuh ayam kampung dan anak babi tersebut. Saya mengikuti yang lain melakukan hal yang diminta tadi. Lalu, kepala adat menyembelih ayam kampung dan anak babi itu satu per satu, sambil mulutnya tak henti mengucapkan untaian doa-doa. Darah mengalir dari kedua hewan tersebut. Mengucur melalui semacam pisau kecil yang sangat tajam. Saya lihat setelah kedua hewan tersebut mati, sang kepala adat membedah perut kedua hewan tersebut dan mengeluarkan isi perutnya sedikit. Kedua hewan sesembahan tersebut lalu diletakkan di altar. Selesai sudah.

Salah seorang maju ke tengah lingkaran kami yang menyaksikan ritual tersebut dan memberikan sedikit penjelasan tentang ritual yang baru berlangsung tadi. Tak lama kemudian kami meninggalkan tempat itu satu persatu.

Malam itu pikiranku dipenuhi oleh ingatan ketika babi kecil itu disembelih, dan suara jeritannya yang menyayat membelah kesenyapan hutan.



Hari Ke-Enam
Jumat, 8 Agustus 2008

  1. Briefing dengan Tim TOP pagi.
  2. Persiapan menerima tamu dari RAK besok. Datang pagi.
  3. Bertemu dengan pak Camat M. Warau jam 01.00 pm di Wahau.
  4. Belanja keperluan menyambut tamu dari PT. RAK

Hari ini saya bertemu pak Camat. Akhirnya, setelah menunggu lebih kurang 3 hari. Pertemuan di rumah makan Mama Leon di SP4, desa Kong Beng. Setelah berbasa-basi, pak Eki, saya dan pak Toni menyampaikan maksud dan tujuan kami menemui beliau, meskipun hakekatnya beliau sudah tahu. Hanya mengulang apa yang pernah kami sampaikan via telepon, yakni keinginan dan permohonan kami agar pak Camat membantu kami mengurus masalah pembebasan lahan di wilayah desa Ben Heas, Kecamatan Muara Wahau, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

Mendengar penjelasan pak Camat, terus terang saya sedikit kecil hati. Rupanya, masalah pembebasan lahan memang bukan suatu hal yang sederhana dan bisa dilaksanakan dengan mudah. Urusan ini sepertinya akan menjadi suatu proses panjang, melibatkan sumber daya, pikiran dan tenaga.

Sepertinya aku harus siap menjalani perjalanan panjang di desa ini.


____
Aug, 2008