Aug 27, 2007

Nyanyian laut

tak perlu kau menghitung
ombak yang menyisir pantaimu
sebab laut tak henti menyibak;
abadi

tak perlu kau mengingat
hari-hari yang kita lewati
sebab aku mencintaimu;
hingga nanti






____________
27 Agustus 2007

Aug 13, 2007

Kering...

Wanita renta itu duduk termenung. Bibirnya yang mengeriput mengatup. Beberapa gigi yang mulai tanggal dari rahangnya menghadirkan sebentuk pipi yang kempot dengan tulang pipi yang menonjol keras. Rambutnya putih masai tanda jarang tersentuh sisir. Pupil matanya tersembunyi di balik kelopak yang mulai cekung jauh ke dalam.

Dari teras rumah yang telah disulapnya sebagai tempat berjualan gado-gado, dengan atap terpal tertata ala kadarnya, sorot matanya jauh menapaki petak-petak sawah milik warga kampung yang mulai mengering. Ia teringat sumur satu-satunya yang masih menyisakan air di ujung petakan sawah tersebut. Sumur yang hampir sepanjang pagi hingga malam, bahkan sampai dini hari, selalu dikunjungi warga kampung yang mulai mengalami kekeringan. Hampir tak ada lagi air di sumur-sumur di rumah masing-masing. Mereka yang memiliki pompa jet pump mungkin masih bisa merasakan kemudahan untuk memperoleh air. Tinggal memutar keran, dan air pun mengalir ke ember-ember yang siap menampung. Tapi tidak demikian halnya dengan wanita renta itu.

Hampir beberapa minggu belakangan ini, ia, bersama dua anak perempuannya yang tinggal bersamanya, harus berbagi beban membanting tulang mengangkuti air dari sumur di ujung petakan sawah ke rumahnya. Hampir beberapa minggu belakangan ini ia harus mengurangi jatah tidurnya hingga jam 1-2 dini hari, sekedar untuk mendapatkan air di sumur. Hampir beberapa minggu belakangan ini mereka, harus menempuh jarak lebih kurang 250 meter pulang pergi untuk mengisi bak-bak penampungan air di rumah. Jangan harap bisa mendapatkan air dengan mudah jika harus melakukannya di pagi atau sore hari.

Kekeringan tahun ini keliatannya bakal lebih parah dari tahun kemarin. Tahun lalu mereka masih mampu memesan air dari mobil-mobil tangki penjual air bersih dan mengisikannya ke toren. Tahun lalu mereka masih mampu membayar untuk itu, atau setidaknya mengupah orang –laki-laki yang masih kuat tentunya—untuk mengisikan bak-bak air mereka. Tapi tidak untuk tahun ini. Disamping harga-harga yang makin melambung akibat kenaikan harga BBM dan lainnya, wanita renta itu pun makin kehilangan sumber penghasilannya yang nota bene pemberian jatah belanja dari anak-anaknya.

Salah satu anak lelakinya yang paling bungsu, baru saja kehilangan hampir 3 bulan berjalan ini. Jangankan memberinya jatah rutin Rp 500 ribu per bulan, bahkan untuk belanja keluarganya sendiri pun, anak bungsunya itu mengalami kesulitan. Dan wanita renta itu cukup tahu diri untuk tidak terlalu memberatkan anak bungsu yang sangat disayanginya. Apalagi jika mengingat cucu-cucunya yang lucu-lucu, sungguh, tak tega rasanya untuk meminta lagi ke anaknya.

Anak laki-lakinya yang lain, pun hanya mampu memberinya ala kadarnya. Belum lagi Tanti, anak perempuannya yang dulu tinggal bersama suaminya di seberang pulau, kini harus tinggal bersamanya membawa dua anaknya yang masih kecil-kecil.. dengan status yang selama ini tak pernah ada dalam benak wanita tua itu… janda. Ya, kini ia memiliki dua orang janda yang tinggal bersamanya. Tiga orang semuanya, termasuk dirinya sendiri… menjanda sejak ketujuh anaknya masih hijau plus satu anak yang masih dalam kandungannya.

Ingin sesungguhnya ia menangis memikirkan nasib anak-anaknya. Dimasa renta yang seharusnya ia habiskan dengan tenang sambil bermain dengan cucu-cucunya, ternyata ia masih harus memikirkan nasib anak-anaknya. Bahkan tak sempat ia memikirkan nasibnya sendiri. Hampir tak sempat ia memikirkan betapa tubuh tuanya yang hampir mendekati usia 75 tahun itu, telah penat menjalani kehidupan. Kehidupan yang hampir sepanjang hayatnya hanya mengenal kata ‘penderitaan’.

Ya, ingin ia menangis. Namun seperti halnya kekeringan yang melanda petak-petak sawah di hadapannya, air matanya pun telah kering tak bersisa. Mata renta itu tak mampu lagi meneteskan air mata sebagai tanda kepedihan. Tidak. Karena perjalanan yang panjang telah mengeringkan kantung air matanya. Tangis itu pun hampir tak tampak lagi di wajahnya yang serupa karang, bahkan di jiwanya yang kini sekeras tanah getas. Kering, gemerontang, padas.. namun rapuh.


(Parung Panjang, Agustus 2007)

Aug 10, 2007

sea of pain...

ke sanalah anak-anak sungai itu nuju,
lebur ke sebuah sungai mengarus deras..
hanyutkan wajah-wajah mereka yang keras;
orang-orang di bagian kehidupanku
jauh hanyut ke lautan biru.

di sanalah aku diam membatu beku
terbaring di kedalaman berharap
matahari turun ke permukaan biru
merengkuh semua butiran ini perih pengap
hingga terbakar sirna
tak bersisa

(Agustus 2007)

Suatu sore di rest room, selepas jam kerja...

Entah apa yang dia pikirkan tiap kali dia berkaca. Sesekali nafasnya terhela, panjang.. dan mendesah. Sepertinya ia berusaha menarik segala beban yang ada dalam dirinya dan berharap serta merta keluar bersama udara kotor yang ia hembuskan, berharap beban itu ikut larut bersama udara dan dibekap dalam kesunyian ruang. Ruang sunyi yang hampir tak ada suara apa pun yang terdengar, selain desah nafasnya.

Entah apa yang dia pikirkan tiap kali dia menatap wajah dihadapannya. Sorot mata yang hampir kosong, mewakili jiwanya yang juga kosong melompong. Seperti tak ada yang tertinggal dalam jiwanya. Entah, dia hampir tidak bisa menemukan jawaban gerangan apa yang tertinggal dalam jiwanya saat ini. Karena ketika dia bertanya, hampir tak ada jawaban yang bisa ia temukan. Sorot mata di cermin itu pun seperti enggan beradu pandang dengan matanya yang menatapi wajahnya sendiri di cermin. Ia, bahkan hampir tak mampu lagi mengenali bayangan di cermin itu. Bayangan itu seperti tenggelam, ditelan kenangan yang memenuhi benaknya dan yang lalu menyerupa wujud yang nyata.

Mata itu seperti mencari sesuatu untuk menghidupinya. Sesuatu yang bisa menyalakan api yang hampir padam. Sesuatu yang bernama asa. Asa. Masih adakah kata itu dalam kamus hidupnya? Entah asa, atau mimpi. Barangkali bermimpi pun ia tak punya asa lagi untuk itu. Harapan untuk bermimpi. Mimpi apa? Mimpi apa lagi yang bisa ia hadirkan dalam hari-hari belakangan seperti ini.

Mimpi sepertinya telah tergerus oleh masa lalu yang tak bisa ia pungkiri, sebuah sesuatu yang pahit. Mimpi-mimpi yang tak pernah bisa ia wujudkan. Mimpi-mimpi yang selalu saja terganggu oleh kenyataan akan hidup yang ia jalani sekarang. Kenyataan hidup tentang dirinya, tentang saudara-saudaranya dan terutama tentang ibunya.

Wajah itu menegang, mengejang. Seperti menahan kepedihan yang seolah tak pernah berujung namun selalu saja berpangkal. Kepedihan yang seperti anak-anak sungai, menyatu dan menjadi sebuah sungai yang besar. Dan bermuara pada sebuah laut. Dan, laut itulah yang ia rasakan kini. Karena ia adalah lautan kepedihan bagi orang-orang yang tengah ia pikirkan. Lautan kepedihan yang baginya sudah menjadi tugasnya untuk menguapkan semua kepedihan itu, mengenyahkan dan meleburkannya pada matahari yang membakar. Beban itulah yang membuatnya mengejang. Kaku. Membatu, jiwanya. Dan seperti laut, bergejolak benaknya.

Dan ketika ia tak mampu menguapkan seluruh beban yang dibawa anak-anak sungai yang ia terima di muara pikirannya, ia seperti merasakan bahwa sebagai lautan ia gagal. Sedang anak-anak sungai itu begitu deras membawa arus, dan mengalirkannya semua... padanya. Sedang, ia tak pernah tahu kemana ia bisa meneruskan arus-arus itu. Tak ada lautan yang bermuara ke sungai. Tak ada arus yang bisa ia telusuri, selain berlari menuju panasnya matahari.

Maka ketika ia ingin lari, rasanya tak ada tempat yang paling diminati selain menenggelamkan diri di kedalaman dan kegelapan laut yang tak berdasar. Di tempat itulah ia seringkali bersembunyi. Tempat yang hanya menawarkan sesang bisu dan sepi. Tempat yang tak ada satu pun ia bisa mengajak entah itu sesuatu.. atau seseorang.

Kecuali satu orang yang ia seringkali mengajaknya berbicara, atau setidaknya saling bertatap mata meski saling diam. Ya, wajah mematung penuh kekosongan di dalam cermin yang sejak tadi ia pandang. Wajahnya yang mengejang tegang!!!



in da rest room, after office hour...

you are the girl in my dream

ini kali ketiga dia hadir dalam mimpi. sweet girl.. sweet dream.. yea, mimpi manis (sesuatu yang sayangnya aku nggak mungkin bisa mendeskripsikannya disini. biarlah itu hanya ada dalam ingatanku) yang sayangnya malah menjadi sesuatu yang menganggu. ya, mengganggu. karena belakangan benakku selalu dipenuhi dengan.. pikiran tentangnya. aaarrgghh!!!

huh, apa maksudnya???

barangkali setan memang lagi senang menggodaku. menghadirkan bayangan-bayangan yang sebenarnya nggak pernah secara sadar (dan sengaja) kuinginkan. ugh, sekarang aku malah jadi ragu apa iya selama ini bayangan itu hadir begitu saja tanpa kusengaja, atau mungkin memang itu timbul karena keinginan bawah sadarku yang selama ini berusaha kupendam. ya, iya lah.. memang harus kupendam. karena membiarkan pikiran bawah sadarku bebas berkembang hanya akan menyusahkanku sendiri. sesuatu yang membuatku pusing tujuh keliling. hehehe...

huh, dasar.. terkutuklah setan sialan itu!

lalu, mimpi yang sudah 3 kali ini artinya apa?