Aug 25, 2005

Hidup Adalah Nyanyian Harapan (a poetry)

hidup adalah nyanyian harapan
tak berkesudahan tak berakhiran
selalu saja bernada, naik turun berirama
menghentak berbirama


(25 Agustus 2005)

Detik-detik Yang Panjang


satu-dua detik pergi berlalu
di kesunyian hatiku
dan jiwa melukis rona rupa
menggeliatkan rindu seketika

lalu waktu menikamku
menyelimuti segenap sadar sia-sia
kugapai sia-sia dan tenggelamku
dalam kehampaan menggelepar
detik kesunyian terangkai
semakin memanjang


(25 agustus 2005, 01.55 am)

Aug 22, 2005

Kisah Yang Telah Usai

aku tak mampu lagi
menghitung hari
dan menekuri malam
dengan lagu2 sepi
karena purnama
semakin sempurna
merejamku
dengan rindu
luka menganga

selalu saja begitu,
sejak kau tak ada!


____
Aug, 2005





Aug 10, 2005

Sore Di Seputar Bulungan (2005)


Sore Di Seputar Bulungan (2005)

* sebuah catatan kerinduan


Malam masih muda. Langit masih terlihat memerah jingga di ujung barat sana. Aku baru saja mengambil tempat untuk duduk sambil mengamati kepulan asap yang beterbangan diterpa angin dari bilah-bilah standfan yang sengaja diarahkan ke udara. Udara terberangus aroma lezat bumbu ayam bakar yang menggelitik penciuman. Membuat lapar makin menggerus. Pesananku belum juga datang.

Hampir tak ada meja kosong. Ada sekitar dua puluh meja yang masing-masing cukup untuk berempat. Aku beruntung masih bisa mendapatkan tempat meski persis di pinggir jalan sekali. Bukan cuma satu dua kali orang lalu lalang di samping tempatku duduk. Sore menjelang malam begini tempat makan ini memang cukup ramai. Siapa, sih yang tidak kenal Ayam Bakar Ganthari? Meski jauh dari kesan nyaman, tapi tempat ini tak pernah sepi dari pengunjung yang memang sudah jadi pelanggan tetapnya.

Tak berapa lama pesananku datang. Namun belum lagi puas menikmati aroma yang membangkitkan selera, ritual makan ayam bakarku terusik dengan dua orang wanita hampir separuh baya yang mendekati meja tempatku duduk. Memakai kebaya hampir lusuh karena seringkali terpakai, keduanya langsung saja duduk bersimpuh di samping mejaku. Yang satunya menenteng sebuah alat musik yang aku tak tahu persis apa, tapi mirip sejenis kecapi.

Dengan penuh khidmat, jari-jari si pemetik kecapi mulai menari. Sejurus kemudian, selantunan dentingan nada-nada pentatonik yang lahir dari petikan dawai kecapi itu mulai mengalun. Tak perlu waktu lama untuk menyihir dan membawa alam pikiranku larut dalam iramanya. Ditingkahi lengkingan pilu sang sinden, menyanyikan lagu (kalau boleh dibilang lagu) dalam bahasa jawa. Meski aku tak mengenal lagunya, tapi yang jelas iramanya sangat menyentuh.. Sepertinya lagu itu sendiri menceritakan sesuatu.. Tentang kerinduan. Ahh, entahlah.. hanya satu bait yang kuingat.. yen in tawang ono lintang..

Entah kenapa, pikiranku seperti terbang larut menjadi keheningan ditengah keramaian malam itu. Lalu sepi membuahkan ingatan tentangmu. Tentang bintang-bintang yang begitu kukagumi. Dan aku makin larut dalam kerinduan. Larut bersama iramanya yang makin mengikat. Seperti pikiranku yang makin terikat pada seraut wajah yang seketika menjelma. Wajahmu.

Dimanakah dia saat ini? Adakah dia merasakan apa yang tiba-tiba kurasakan kini? Masihkah ada getaran telepati yang dulu seringkali kita rasakan. Masa ketika kau selalu berkata 'hey, aku baru aja ingat kamu.. pas banget kamu telepon!?' Atau ketika kau tiba-tiba saja hadir melalui telepon atau sms-smsmu yang selalu membuatku tersenyum, tepat ketika aku tengah mengingatmu…

Masa itu seperti menguap ngelayap ditelan kegelapan yang maha luas, seperti waktu yang terlewat hilang terbang. Karena kini getaran itu makin hampir tak terasa, meski masih mampu mengusik. Namun tak lagi kita bisa bertukar kata. Getaran ini hanya semerta-merta menenggelamkanku ke dalam sepi. Sepi yang mati.

Getaran ini tak lagi mampu membuatku tersenyum dalam kehangatan. Tak ada lagi. Selain rasa sakit di dada yang tiba-tiba saja menyeruak, tiap kali aku mengingatmu. Merindumu.

Lagu itu akhirnya usai. Membebaskanku dari rindu yang membelenggu. Wanita itu bergeser ke meja yang lain setelah menerima selembar ribuan dari tanganku. Lalu menembangkan lagu-lagu lain yang entah kenapa terdengar seperti makin menyayat-nyayat hati dan perasaanku. Membuatku tak lagi merasakan lapar. Mematikan selera.

Aku bergegas membayar makanan yang tak sempat kuhabiskan, sambil melangkahkan kaki. Sementara pikiranku sibuk mengusir bayanganmu yang tak mau pergi.

Malam mulai meninggi.

9 Agustus 2005
blok m – bulungan