Mar 25, 2015

No Body Is Perfect (2)


Seringkali, tanpa sadar, kita seringkali memupuk harapan begitu tinggi terhadap seseorang. Orang tua sering mengharapkan anaknya sempurna. Seorang anak mengharapkan orangtuanya sempurna.

Seorang laki-laki selalu mencari calon pasangan yakni seorang wanita yang sempurna, dan seorang wanita lajang senantiasa mencari calon suami yang juga sempurna, sempurna segalanya.

Kita, sebagai bangsa, pun selalu mencari dan mengharapkan seorang pemimpin bangsa yang sempurna. Tak boleh ada cacat cela. 


Agaknya, mungkin kita lupa bahwa manusia, siapa pun dia, tak ada yang sempurna. Kita mengharapkan seseorang itu, begitu segalanya. Kita lupa bahwa manusia itu adalah tempatnya salah dan khilaf. Maka melihat cacat-cela --salah dan khilaf-- dari seseorang adalah menjadi suatu yang tabu baginya.

Ketika kita memupuk harapan terlalu tinggi terhadap seseorang, maka kita cenderung lupa me-manusia-kan manusia. Ketika kita lupa menempatkan seseorang sebagai manusia, maka kita lupa untuk menerima kenyataan bahwa tak ada manusia yang sempurna. 

Bahkan, seringkali kita tidak bisa menerima kenyataan bahwa tak ada manusia yang sempurna sehingga ketika seseorang --atau siapapun-- yang menjadi harapannya berbuat salah dan khilaf, atau memiliki cacat-cela, maka kita menjadi kecewa dan bahkan marah, sehingga cenderung melampiaskan kekecewaan dan kemarahan itu dengan cacian, makian dan bahkan perlawanan. (Saya, karena kekhilafan saya pun, seringkali tanpa sadar menjadi marah ketika seseorang tidak sesuai dengan apa yang menjadi harapan saya).

Seorang pemimpin bangsa katakanlan, presiden, misalnya, seringkali menjadi seseorang yang kita lupakan fitrah kemanusiaannya. Kita beranggapan bahwa seorang presiden adalah seseorang yang mesti memiliki kecakapan dan kesempurnaan. Seseorang yang harus dan mutlak tanpa cacat cela. Bahwa Presiden tak boleh berbuat kesalahan. Seorang Gubernur haram memiliki kejelekan. Seorang anggota dewan tabu memiliki kecacatan. Karena kita selalu berpikir bahwa mereka, adalah orang-orang yang musti sempurna, untuk mengisi posisi dimana kesalahan adalah suatu kemustahilan.

Kesalahan adalah keniscayaan yang merupakan sifat fitrah manusia. Karena manusia berpikir, dan berpikir adalah merupakan suatu proses. Secara sederhana, berpikir adalah memproses informasi secara mental atau secara kognitif. Secara lebih formal, berpikir adalah penyusunan ulang atau manipulasi kognitif baik informasi dari lingkungan maupun simbol-simbol yang disimpan dalam long-term memory. 

Berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep di dalam diri seseorang. Perkembangan ide dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam diri seseorang yang berupa pengertian-pengertian. 

Hasil dari pemikiran adalah pengambilan keputusan. Ketika satu saja bagian dari keseluruhan informasi salah, maka hasil dari berpikir seseorang niscaya menjadi salah. Karena output ditentukan oleh input.

Jadi mengapa kita selalu menuntut seseorang tidak boleh salah? Mengapa kita menuntut seseorang harus sempurna?

Yang lebih parah dari pemikiran bahwa seseorang tak boleh salah adalah, pemikiran bahwa dirinya adalah sempurna. Bahwa dirinya lebih baik dari orang lain. Bahwa dirinya lebih pintar dari orang lain. Dirinya lebih bersih dari orang lain. Dirinya selalu benar, dan yang lain selain dirinya adalah salah. Maka kita jadi mengedepankan kesombongan, sifat arogan.

Ketika dua orang saling berhadap-hadapan dalam mengemukan pendapat dan pikirannya dan menganggap dirinya lebih sempurna, maka yang terjadi adalah percikan-percikan dan bukannya percakapan. 

Saling berbantah-bantahan dan saling menyalahkan cenderung lebih mengemuka dibanding saling menghargai dan menghormati pendapat masing-masing pihak. Lidah berkelebat seperti pedang. Ucapan membakar seperti api. Ketika ini yang terjadi, maka yang kita lihat adalah pertunjukkan yang memuakkan dan membuat kita ikut teriris, terpercik dan terbakar.

Menyedihkan melihat bahwa saat ini kita cenderung membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Mem-bego-kan orang lain dan menganggap kita ter-pintar. Men-jelek-kan orang lain dan menganggap kita lah yang ter-baik.

Lihatlah di jalan, ketika terjadi sedikit senggol-senggolan antara dua orang pengendara. Seketika orang-orang yang terlibat itu akan berteriak, melontarkan sumpah serapah menganggap orang lain salah. Lihatlah pertunjukan akhir-akhir ini di media antara mereka-mereka orang-orang terhormat. Yang satu berkata anjing dan lainnya berkata (maaf) tahi!

Kita makin lupa menunjukkan bahwa kita manusia. Kita semakin lupa untuk me-manusia-kan manusia. Dan kita yang ditengah, ikut-ikut berkata bahwa mereka itu bukan manusia, melainkan sekumpulan manusia yang kita serapahi dengan umpatan dan makian... 'dasar orang utan'! Atau di kesempatan lain kita mengaku diri kita pintar dengan menyerapahi mereka dengan makian... 'dasar orang bego'!

Ah, ah.. sungguh tak ada manusia yang sempurna...

Mar 18, 2015

Marco Polo, Mie (noodle) TiongKok dan Spaghetti Italia



Tahukah anda, ketika Marco Polo (Marco bin Niccolo bin Polo atau Marco anaknya Niccolo cucunya Polo), (lahir 15 September 1254 – meninggal 8 Januari 1324 pada umur 69 tahun) diajak bapaknya, Niccolo Polo dan pamannya, Maffeo Polo mengunjungi Xanadu, tempat kediaman Kubilai Khan yang Agung --pemimpin Mongolia yang terkenal itu, beliau pernah diangkat dan ditugaskan oleh Kubilai Khan yang Agung untuk memimpin misi dagang ke TiongKok (China).

Dalam perjalanannya mengemban misi tersebut, Marco Polo ditugaskan bukan saja untuk mengurusi perniagaan atau perdagangan Kubilai Khan dengan TiongKok, namun juga untuk mempelajari Seni, Budaya, Adat Istiadat dan bahkan Kuliner TiongKok.

Masyarakat TiongKok yang telah mengenal gandum yang merupakan makanan pokok dan sejak lama biasa mengolahnya menjadi Mie (noodle), rupanya memberikan pengalaman berkesan bagi Marco Polo yang baru kali pertama itu mencoba Mie yang kelezatannya sangat membuat Marco Polo terkesan.

Kelak, sekembalinya dia ke Venesia dan menceritakan pengalamannya selama di Mongolia dan TiongKok (berdasarkan catatan perjalanannya), Marco Polo kemudian memperkenalkan Mie (noodle) ini namun dengan resep a la Italia dan sejak itu Italia (tahun 1290-an) mulai mengenal makanan olahan gandum dalam bentuk makanan mie --disamping 'pasta' yang pada saat itu biasa dikenal-- yang kemudian terkenal sebagai... SPAGHETTI :)

Wallahu a'lam bishowaab


Ramz
(Maret 2015)

Marco Polo, Mie (noodle) TiongKok dan Spaghetti Italia



Tahukah anda, ketika Marco Polo (Marco bin Niccolo bin Polo atau Marco anaknya Niccolo cucunya Polo), (lahir 15 September 1254 – meninggal 8 Januari 1324 pada umur 69 tahun) diajak bapaknya, Niccolo Polo dan pamannya, Maffeo Polo mengunjungi Xanadu, tempat kediaman Kubilai Khan yang Agung --pemimpin Mongolia yang terkenal itu, beliau pernah diangkat dan ditugaskan oleh Kubilai Khan yang Agung untuk memimpin misi dagang ke TiongKok (China).

Dalam perjalanannya mengemban misi tersebut, Marco Polo ditugaskan bukan saja untuk mengurusi perniagaan atau perdagangan Kubilai Khan dengan TiongKok, namun juga untuk mempelajari Seni, Budaya, Adat Istiadat dan bahkan Kuliner TiongKok.

Masyarakat TiongKok yang telah mengenal gandum yang merupakan makanan pokok dan sejak lama biasa mengolahnya menjadi Mie (noodle), rupanya memberikan pengalaman berkesan bagi Marco Polo yang baru kali pertama itu mencoba Mie yang kelezatannya sangat membuat Marco Polo terkesan.

Kelak, sekembalinya dia ke Venesia dan menceritakan pengalamannya selama di Mongolia dan TiongKok (berdasarkan catatan perjalanannya), Marco Polo kemudian memperkenalkan Mie (noodle) ini namun dengan resep a la Italia dan sejak itu Italia (tahun 1290-an) mulai mengenal makanan olahan gandum dalam bentuk makanan mie --disamping 'pasta' yang pada saat itu biasa dikenal-- yang kemudian terkenal sebagai... SPAGHETTI :)

Wallahu a'lam bishowaab


Ramz

(Maret 2015)

Mar 17, 2015

No Body is Perfect (1)


Bismillahir Rahmaanir Rahiim


Seringkali kita dengar pepatah barat yang mengatakan "No Body is Perfect", Tak ada seorang pun yang sempurna. Pepatah ini serupa dengan Pepatah arab yang mengatakan "Al insaanu mahallul khotho wan nissiyaan". Manusia itu tempatnya salah dan khilaf. Pepatah-pepatah ini menunjukkan bahwa, kita, manusia, adalah sesuatu 'yang tidak sempurna'. Bukanlah manusia kalau kita mengharapkan manusia sempurna. Dan ga mungkin kita mengharapkan kesempurnaan pada manusia.

Manusia itu tempatnya khilaf. Karena kekhilafannya manusia kerap berbuat salah, dan karena kekhilafannya juga manusia sering berbuat dosa. Kesalahan adalah wujud perbuatan yang tidak sesuai dengan norma, ketentuan dan aturan. Dan dosa adalah konsekuensi dari perbuatan salah kita atas kesalahan kepada Rabb, Allah SWT.

Khilaf menurut definisinya adalah keliru atau salah, dan kekhilafan adalah kekeliruan atau kesalahan. Kita bisa khilaf karena berbagai hal. Bisa karena lalai, lupa, teledor, alpa dan sejenisnya. Menurut sifatnya, khilaf bisa karena kita sengaja dan bisa juga tidak kita sengaja. Khilaf yang kita sengaja adalah sesuatu perbuatan salah yang kita tahu dan dasari adalah perbuatan salah, namun tetap saja kita lakukan. 

Dalam konteks hubungan kita dengan Allah SWT, Allah telah menentukan perintah dan larangan, sebagai pedoman hidup bagi kita manusia. Perintah adalah sesuatu yang harus kita patuhi dan laksanakan, dan larangan adalah sesuatu yang harus kita indahkan dan jauhi. Perintah dan larangan tersebut menjadi satu kesatuan hukum dan ketentuan serta ketetapan yang kita sebut sebagai syariat. Kekhilafan kita --yang membuat kita kerap melanggar perintah dan larangan Allah SWT-- tersebut lah memiliki konsekuensi berupa dosa. 

Dosa-dosa yang terus terjadi dan kerap kita lakukan ini memiliki rekaman atau catatan yang menjadi catatan dan rekam jejak hidup kita dan kelak akan diperhitungkan. 


Allah Swt dalam al-Quran berfirman:

﴿ما یَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلاَّ لَدَیْهِ رَقیبٌ عَتیدٌ﴾

Tiada suatu ucapan pun (baik atau buruk) yang diucapkannya (seseorang) melainkan ada di dekatnya Raqib dan Atid (malaikat pengawas yang selalu hadir). 
(Qs. Qaf [50]:18)

Jika kita bisa sejenak mengintrospeksi diri dan menengok diri kita ke belakang, barangkali kita akan takjub dan terkejut menyadari bahwa betapa banyak dan seringnya kita berbuat kekhilafan, dan dosa.

Ketika remaja, mungkin kita berpikir kita adalah sosok manusia tak berdosa (sehingga kita sering menyebut seorang remaja sebagai 'innocent'), dan yang selalu berbuat kebaikan. Mungkin kita pernah berharap bahwa kita tidak akan pernah berbuat kesalahan atau kekhilafan yang berdampak pada dosa yang besar. Namun, seiring berjalannya waktu, ketika kita menyadari diri kita saat ini, kita sungguh-sungguh akan terkejut. Jika kita bisa dan mampu mengingat-ingat lagi kesalahan dan dosa yang telah kita lakukan selama ini, sungguh kita tidak akan pernah menyangka bahwa kita ternyata mampu dan telah melakukan apa-apa yang dulu mungkin kita pikir mustahil untuk kita lakukan. Apa saja. Apa saja yang mungkin pernah kita lakukan. 

Terlepas dari kebaikan-kebaikan yang mungkin pernah dan ada kita lakukan, coba lah kita ingat-ingat kembali dan mengintrospeksi diri sendiri. Kita mungkin akan menangis, menyadari ternyata begitu banyak hal-hal yang salah atau kekhilafan yang kita lakukan dalam hidup ini. Kekhilafan dalam konteks hubungan kita dengan manusia, maupun dalam hubungan kita kepada Allah. 

Memang karena sifat manusia yang penuh kekhilafan itulah, maka sudah menjadi fitrah manusia untuk berbuat kesalahan, berbuat dosa. Oleh karenanya, tak ada hal lain yang terbaik untuk kita lakukan setelah menyadari segala kekhilafan dan dosa kita selain beristighfar, memohon ampunan kepada Allah. Dan, jangan bersedih. Sesungguhnya Allah akan selalu mendengar permohonan ampunan hambanya yang bersungguh-sungguh. 

No Body is Perfect!

Wallahu a'lam bishowaab.
Ramz 
(Mar 2015)

Mar 16, 2015

Tentang Konsep Ibadah di dalam Agama Islam



Bismillaahir Rahmaanir Rahiim
Assalaamu alaikum ww.


Dari Buletin Dakwah Al Huda

Pertanyaan:
Sedari masih di SMP dahulu kami memahami bahwa ibadah itu adalah suatu tata cara menyembah Allah SWT dengan tata-cara tertentu. Dan itu berkali-kali kami dengar (bahkan rasanya sudah ratusan kali) disampaikan oleh khatib dalam khutbah shalat Jum'at.

Biasanya selalu ditegaskan bahwa ibadah itu tidak boleh dikarang-karang oleh manusia melainkan haruslah berdasarkan ketentuan dan ketetapan dari Allah SWT dan dari Rasulullah SAW.

Biasanya juga dikatakan bahwa ciri pokok dari ibadah itu hukum pokoknya adalah terlarang, terkecuali apa yang diperintahkan. Sebaliknya dengan muamalah yang hukum pokoknya adalah semua boleh terkecuali yang dilarang.

Untuk itu para ustadz biasanya memberikan gambaran, bahwasanya shalat dan puasa, juga haji, hukum pokoknya adalah terlarang. Tidak boleh dikerjakan oleh manusia. Tapi kemudian datang perintah dari Allah SWT dan datang petunjuk dari Rasulullah SAW bagaimana melaksanakannya, maka menjadilah shalat, puasa dan haji itu sebagai sesuatu yang wajib dikerjakan oleh umat Islam, dalam kaitan ibadah-ibadah wajib atau menjadi ibadah sunat, dalam kaitannya dengan ibadah-ibadah sunat.

Tapi, tetap dalam batasan sebagaimana yang diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Misalnya puasa itu dilaksanakan dari terbit fajar sampai matahari tenggelam. Maka begitulah tata cara puasa dan tidak boleh dirubah, dikurangi atau ditambah. Misalnya puasa itu tidak boleh sehari semalam. Tidak boleh 24 jam. Apalagi sampai 7 hari 7 malam, seperti kita dengar dikerjakan oleh sementara orang. Dengan demikian ibadah itu adalah sesuatu yang paten, sesuatu yang jelas bagaimana memulainya dan bagaimana mengakhirinya. Dengan demikian berarti ibadah itu ada permulaannya, ada akhirnya.

Sebaliknya dengan muamalah, hukum pokoknya adalah boleh, terkecuali ada perintah yang melarangnya. Misalnya makan babi dan makan darah, hukum pokoknya adalah boleh. Tapi kemudian datang larangan, maka menjadilah makan bagi dan makan darah menjadi haram hukumnya. Dengan demikian disimpulkan oleh para ustadz bahwa ibadah dan menghendari adanya perintah dari Allah SWT dan dari rasulNya, sedangkan muamalah menghendaki adanya larangan.

Tapi, belakangan ini sering pula kami dengan ada para mubaligh dan juga para khatib yang menyatakan bahwa seluruh hidup kita ini, 24 jam dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, 30 hari dalam sebulan, 12 bulan dalam setahun semuanya adalah ibadah. Dengan demikian apa saja yang kita kerjakan semuanya adalah ibadah. Maaf-maaf... sampai-sampai kita bersetubuh dengan istri kita, pun dinyatakan pula sebagai ibadah. Pernyataan tentang ibadah yang seperti ini sering pula kami dengar, sehingga hal itu menjadikan tanda tanya besar bagi kami yang awam ini.

So, bagaimana sih sebenarnya konsep ibadah di dalam agama Islam itu? Karena kalau semuanya apa saja adalah ibadah, bukankah hal itu mendatangkan kekacauan yang luar biasa?

Jawaban:
Ibadah itu berasal dari bahasa Arab. Dari aspek bahasa, ibadah mengandung beberapa arti, yakni: (1) taat, (2) tunduk, (3) menurut, (4) mengikut, (5) doa.

Tapi kita juga mengetahui bahwa kata ibadah sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia dan berubah kata menjadi ibadat, yaitu suatu kata yang sangat erat dikaitkan dengan tata cara beribadat dalam suatu lingkup peribadatan.

Sehingga ketika mendengar perkataan ibadah, asosiasi kita terbayang kepada berbagai tata cara peribadatan, khususnya bagi umat Islam, maka dimaksudkan dengan ibadat itu adalah shalat, puasa, haji, doa, zakat dan beberapa peribadatan lainnya yang jelas dan tegas aturannya, jelas dan tegas rukun dan syaratnya.

Kemudian tergantung pula pembicaraan tentang ibadah itu dilihat dari sisi mana para ulama fiqih tentu melihatnya berbeda dengan para ulama tauhir, dan berbeda lagi dengan ulama tasawuf.

Kebetulan faktor yang paling dominan dalam kehidupan keagamaan Islam itu adalah faktor fiqih. Bagaimana kita shalat, ilmu fiqih yang menguraikannya. Bagaimana kita puasa, bagaimana kita berzakat, bagaimana kita menunaikan ibadah haji semuanya diuraikan oleh ilmu fiqih. Karena memanglah dimensi pertama dari kehidupan keagamaan adalah dimensi syariat yang diuraikan ilmu fiqih.

Bagi ilmu fiqih kehidupan manusia sehari-hari dibagi atas dua kegiatan kehidupan. Kesatu, kegiatan ibadah (ibadat); kedua, kegiatan muamalah (muamalat).

Ibadah menyangkut segala hal yang berkaitan dengan penyembahan kepada Allah SWT, dimana tata caranya adalah paten sebagaimana dikerjakan oleh Rasulullah SAW. Sebagai contoh pelaksana dari perintah Allah SWT di bidang tersebut. Tidak boleh ditambah-tambah dan tidak boleh dikurang-kurangi. Siapa yang menambah dan siapa yang menguranginya berarti melakukan perubahan yang di dalam istilah fiqih disebut melakukan "bid'ah", yang didalam salah satu hadistnya Rasulullah SAW menyatakan siapa yang melakukan bid'ah maka bersiap-siaplah untuk mendapat siksa di neraka.

Sedangkan hal yang selain ibadah menurut konsep fiqih disebut muamalah yang hukum asalnya adalah boleh terkecuali yang dilarang sebagaimana dinyatakan oleh saudara penanya.

Nah, disamping itu pengertian ibadah menurut disiplin ilmu fiqih, ada pula pengertian ibadah menurut disiplin ilmu yang lainnya. Para ulama tauhid misalnya menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan ibadah adalah "Mengesakan Allah SWT dan memuliakan-Nya dengan semulia-mulianya, serta menghinakan diri kita dihadapan-Nya sebagai hamba-Nya dan menundukkan diri kita untuk menyembah-Nya semata". Dalam kaitan inilah dipahami firman Allah SWT: "Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah kepadaKu (beribadah kepadaKu)". (Surat 51: Adz-Dzaariyat, ayat 56).

Tentu saja penciptaan manusia dan jin bukan hanya sekedar mengisi hidupnya hanya dengan shalat, puasa, zakat, haji, doa saja. Melainkan seluruh hidupnya itu adalah dalam rangka beribadah kepada Allah SWT. Hormat dan cinta kepada orang tua, mencari nafkah untuk keluarga, melakukan hubungan suami istri dan berbagai kegiatan hidup yang lainnya itu semuanya adalah ibadah yaitu dalam rangka ketaatan kepada Allah dengan menjalankan semua perintahNya dan dengan meninggalkan semua larangannya.

Dengan demikian dapat dikatakan ibadah dalam pengertian khusus (khas) adalah dirumuskan oleh masing-masing disiplin ilmu. Adapun ibadah dalam pengertian luas ('aam) adalah kumpulan dari semua definisi dari masing-masing disiplin ilmu. Karena ibadah itu adalah intisari dari tugas hidup manusia.

Wassalaamu alaikum ww.
Muh. Rifai'e

Mar 13, 2015

Today's Thought: Tauziah Jumat tadi siang


Assalaamu 'alaikum ww.


Innal hamdalillaah nahmaduhu wanasta’iinuhu wanastaghfiruhu wana’udzubiillah minsyuruuri anfusinaa waminsayyiaati a'maalinaa... Man yahdihillaah falaa mudhillalah Wa man yudhlil falaa haadiyalah.. Wa asyhadu allaa ilaaha illallaah wahdahu laa syariikalah wa asyhadu anna muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh.
[Segala puji bagi Allah yang hanya kepadaNya kami memuji, memohon pertolongan, dan mohon keampunan. Kami berlindung kepadaNya dari kekejian diri dan kejahatan amalan kami. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkan, dan barang siapa yang tersesat dari jalanNya maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Dan aku bersaksi bahwa tiada sembahan yang berhak disembah melainkan Allah saja, yang tiada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hambaNya dan RasulNya]
Khutbah Jumat siang tadi sangat menarik. Topik khutbahnya memang merupakan salah satu yang sering kita dengar. Namun, barangkali seringkali juga luput dari perhatian kita.

Khutbahnya berawal dari tema tentang kematian. Kematian, katanya, sesungguhnya merupakan salah satu jadwal -atau schedule- dari sekian banyak jadwal perjalanan kita yang pasti akan kita jalankan. Namun tak seperti hal yang lain, Kematian merupakan satu jadwal yang tidak pernah bisa kita ketahui. Tak seperti berbagai agenda perjalanan kita, kematian merupakan satu agenda yang selalu kita hindari, meski sesungguhnya menghindarinya adalah sia-sia.

Bahwa manusia berasal dari tanah, itu adalah kebenaran. Namun kita terkadang suka salah kaprah. Karena perjalanan manusia pada hakekatnya adalah bukan "Berasal Dari Tanah, Lalu Kembali Menjadi Tanah". Tidak. Sama sekali tidak. Bahwa perjalanan manusia adalah berasal dari tanah, dilahirkan, dipinjami waktu, lalu Kembali... menghadap Sang Khaliq untuk mempertanggung jawabkan apa yang diberikan kepada kita.

Dari berbagai tahapan perjalanan yang akan kita lalui, yakni mulai dari rahim, dilahirkan sebagai manusia, menjalani alam barzakh (alam penantian), lalu dibangkitkan di yaumul qiamah, lalu dihisab di yaumul hisab (padang Mahsyar) dan menempati tujuan akhir kita di yaumul akhirat... dengan hanya memberikan 2 (dua) opsi Destination Point, yaitu Syurga... atau Neraka.

Terkait dengan perjalanan ini, kata sang Khatib, kita manusia, selalu hanya memikirkan bekal hidup... untuk di Dunia. Apa yang akan kita makan besok. Bagaimana bekal pendidikan untuk anak-anak nanti. Bagaimana kita membangun rumah impian. Bagaimana kita menjalani hidup yang serba berkecukupan. Tapi satu yang sangat penting dan sering terlupakan, adalah bagaimana bekal ketika kita harus menghadap ILLAHI.

Dari keseluruhan tahapan perjalanan kita tersebut, ada satu tahapan yang sesungguhnya kita harus menyadari bahwa kita akan merasakan sesuatu yang menyakitkan, yaitu Yaumul Hisab atau Yaumul Mahsyar, hari dimana kita semua, akan dikumpulkan untuk diperhitungkan segala amal-amal kita selama hidup di dunia. Hari itu adalah hari dimana tidak ada naungan, kecuali naungan-Nya. 

Pernahkah kita membayangkan kondisi seperti ini. Hari dimana tiada naungan kecuali naungan-Nya? Bayangkanlah ketika kita tengah berada di tengah lapang, di siang hari, ditengah terik matahari yang membakar dan menyengat, tanpa alas kaki, tanpa pakaian pelindung dan... tanpa ada satu pun naungan yang bisa kita gunakan untuk berteduh dari sengatan matahari. Semoga kita bisa menganggap bahwa kondisi ini bukanlah kondisi yang "enteng" dan "sepele".

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi saw, beliau bersabda: 

"Ada tujuh kelompok yang akan mendapat naungan Allah pada hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya yaitu: 

  1. Pemimpin yang adil;
  2. Remaja yang senantiasa beribadah kepada Allah ta’alaa;
  3. Seseorang yang senantiasa hatinya dipertautkan dengan masjid;
  4. Dua orang yang saling cinta mencintai karena Allah dimana keduanya berkumpul dan berpisah karena-Nya;
  5. Seorang laki-laki yang ketika dirayu oleh wanita bangsawan lagi rupawan, lalu menjawab: “sesungguhnya saya takut kepada Allah”;
  6. Seseorang yang mengeluarkan shadakah kemudian ia merahasiakannya sampai-sampai tangan kiri tidak mengetahui apa yang diberikan oleh tangan kanannya; dan 
  7. Seseorang yang berdzikir kepada Allah di tempat yang sunyi kemudian kedua matanya meneteskan air mata”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Dari hadist tersebut, saya berusaha menemukan penjelasan satu per satu yang dimaksudkan pada 7 point diatas.


1. Pemimpin yang adil. Pemimpin di sini bisa saja presiden, gubernur, bupati, camat, lurah atau kepala rumah tangga (suami). Karena setiap kita adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai Allah swt. pertanggungjawabannya kelak. Untuk itu, seorang pemimpin harus bertindak adil sehingga semua orang yang dipimpinnya bisa merasakan pelayanan yang maksimal dan penegakan ketentuan yang benar.
Semoga kita bisa menjadi yang termasuk dalam golongan ini. Amin yra.
2. Pemuda yang tumbuh dalam ketaatan (ibadah). Masa muda adalah masa di mana syahwat sedang memuncak sehingga tidak jarang banyak pemuda terjerumus dalam kemaksiatan. Pemuda yang mampu mengisi hari-harinya dengan ibadah adalah yang terselamatkan di hari kiamat. Sebagaimana kisah Ashabul Kahfi (Para pemuda Kahfi) yang menghindari kezaliman penguasa untuk menyelamatkan aqidah mereka.
Semoga kita, atau anak2 kita yang telah dewasa, bisa menjadi termasuk ke dalam golongan nomer 2 ini. Amin yra.
3. Seorang yang hatinya terikat dengan masjid. Orang yang tidak akan melewatkan setiap kesempatan untuk memakmurkan masjid dengan ibadah dan amal-amal sholeh, terutama sholat fardhu berjama’ah. Hatinya selalu ‘risau’ bila jauh dari masjid, dan merasa sedih bila tak bisa mendatanginya di waktu-waktu sholat berjama’ah dan ketika majelis dzikir diadakan.
Semoga Allah selalu menggerakkan hati kita, agar senantiasa mau tanpa ragu, membelokkan kendaraan kita ketika tengah dalam perjalanan pulang kantor, lalu tiba waktu sholat Maghrib atau Isya. Amin yra.
4. Dua orang yang saling mencintai karena Allah, berkumpul dan berpisah karena Allah. Tingkatan hubungan keimanan tertinggi adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah. Bila dua orang saling mencintai karena masing-masing selalu menjaga kecintaannya pada Allah, bertemu dalam kerangka mengingat Allah dan berpisah dengan tetap dalam dzkir pada Allah maka keduanya akan selamat di hari kiamat.
5. Seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang perempuan kaya dan cantik tetapi ia menolak dan berkata “Aku takut pada Allah”. Sebagaimana kisah nabi Yusuf as. yang digoda oleh Zulaikha, keduanya saling cenderung sehingga jika bukan karena tanda dari Allah maka keduanya akan bermaksiat sehingga Yusuf berkata: “Ya Allah, lebih baik hamba dipenjara daripada harus bermaksiat kepadamu”. Sesuatu yang saat ini mungkin sangat jarang ditemui.
6. Seseorang yang bersedekah dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kiri tidak tau apa yang diberikan oleh tangan kanan. Amal yang disertai dengan keikhlasan adalah salah satu syarat diterimanya amal oleh Allah swt. Keikhlasan adalah hal yang sulit dan karenanya hanya orang-orang yang ikhlas saja yang tidak akan disesatkan oleh syaitan.
7. Seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam kesunyian sehingga meneteskan air mata. Dzikir bagi orang beriman ibarat nafas bagi makhluk hidup, ketika seseorang tidak lepas dari dzikir baik di siang maupun di malam hari maka seolah makhluk hidup yang selalu bisa bernafas bebas. Mengingat Allah hingga meneteskan air mata adalah sesuatu yang sulit, kecuali bagi orang yang hatinya telah lunak oleh hidayah Allah. Sebagaimana ciri orang beriman, ketika mendengar kalimat Allah maka bergetarlah hatinya dan ketika mendengar Al Qur-an maka bertambahlah iman mereka.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk ke dalam salah satu atau seluruh golongan tersebut diatas.
Wallaahu a'lam bish-showaab
Billaahi taufiq wal hidayah
Wassalaamu 'alaikum ww

Mar 11, 2015

Ad-Dakwah: Hukuman Mati | Antara Perspektif HAM, Al-Quran dan As-Sunnah (Bag. 2)


Orang yang menerima dan melaksanakan putusan hakim berupa hukuman badan atau putusan lainnya seperti denda bahkan hukuman mati maka di mata Allah adalah mulia karena si terhukum sebagai pelaksana hukum Islam yang bersumber pada Al-Quran.

Jadi tidak ada kehinaan dan kerendahan martabat atas si terhukum walaupun perbuatannya sangat memalukan dan atau kejam sekalipun. Oleh karena itu manusia pun dilarang menghina atau merendahkan si terhukum.

Salah satu dasar penyelesaian perselisihan di antara manusia dalam Islam adalah qishos yaitu hukuman yang setimpal dari perbuatan manusia atas manusia yang lain. Sebagai contoh jika seseorang memukul maka hukumannya dipukul, bila seseorang merusak mata orang lain maka hukumannya mata si pelaku tersebut dirusak, bila seseorang membunuh maka dihukum bunuh demikian seterusnya. Sepintas memang kejam namun dibalik itu ada pelajaran berharga bagi manusia, yaitu mendidik manusia supaya perbuatannya tidak semena-mena atas manusia yang lain.

Manusia akan berpikir berulang kali untuk berbuat kejahatan atas manusia lain karena hukuman yang didapat sesuai dengan perbuatannya. Kalau tidak mau dipukul jangan memukul, kalau tidak mau matanya dirusak maka jangan merusak mata orang lain, kalau tidak mau dihukum bunuh maka jangan coba-coba membunuh. Jadi untuk hukum qishos ini bersifat preventif sehingga kejahatan bisa dicegah sebelum terjadi mengingat hukumannya setimpal.

Dalam Islam, sebelum putusan hakim dieksekusi maka korban atau keluarga korban mempunyai hak untuk mencabut atau membatalkan putusan hakim, karena korban atau keluarga korban memaafkan tindakan si terhukum dan biasanya si terhukum diganjar denda atau pembatalan itu menjadi penebus dosa bagi si korban, sebagaimana dalam Qur'an surat 5 (Al-Maidah) ayat 45:
"Dan Kami (Allah) telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi dan luka-luka (pun) ada qishosnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak qishos)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim."
[QS: Al Maidah [5], ayat 45]
Oleh karena itu sungguh terhormat di mata manusia dengan langkah yang diambil si terhukum, yaitu mengakui kesalahannya untuk menjalani proses hukum. Langkah ini seharusnya menjadi contoh bagi siapa saja yang mempunyai kesalahan atau melanggar aturan untuk diadili sesuai hukum Islam. Sedangkan bagi Allah, status si terhukum adalah mulia, karena proses kematiannya saat melaksanakan hukum Islam maka jaminannya adalah surga.

Kesimpulan yang bisa diambil dari hukuman dalam Hukum Islam, terlebih hukuman mati, yang pertama adalah: adanya kepastian hukum, karena jenis hukumannya sudah diketahui sesuai apa yang dilanggar, yang kedua adalah: si terhukum terhormat dan mulia karena kematiannya sedang melaksanakan hukum Allah sehingga jaminannya surga. Sedangkan yang ketiga: mampu mencegah kejahatan karena hukumannya berat sehingga stabilitas keamanan dalam masyarakat terjaga. Yang keempat: memenuhi rasa keadilan karena hukumannya setimpal dengan perbuatannya. Yang kelima:
mendukung perikemanusiaan dan menghapus perikejahatan dari muka bumi.

Pada dasarnya, agama Islam tidak menetapkan hukuman mati kecuali pada kejahatan besar yang apabila dibiarkan maka akan mengakibatkan kerusakan dan menghilangkan rasa aman dan kedamaian dalam masyarakat. Beberapa kejahatan itu seperti pembunuhan terencana, penyerangan, perampokan atau merampas barang orang lain secara paksa di bawah ancaman senjata. Apabila korban pencurian terbunuh maka penguasa berhak menghukum mati pelakunya. Mereka juga berhak menghukum mati seorang pezina yang telah menikah (zina mukhsan) yang telah terbukti bersalah dengan empat orang saksi yang terpercaya.

Untuk membuktikan kesalahan adalah sebuah proses yang rumit dan membutuhkan keadaan spesial. Apabila diaplikasikan secara keseluruhan, hukum Islam telah terbukti dapat menciptakan kedamaian dan kemakmuran masyarat. Itu adalah jalan keluar yang ditawarkan Islam untuk menangani masalah tersebut.

Pada dasarnya, ketika Islam menetapkan sebuah hukum seperti hukuman mati maka hal itu adalah atas dasar wahyu dan perintah Allah. Dia adalah Rabb yang Maha Esa yang telah menciptakan alam semesta ini. Hanya Dia-lah yang memiliki hak prerogatif untuk memberikan petunjuk dan menetapkan hukum.

Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menolak adanya hukuman mati karena hanya Allah yang telah memberikan kehidupan dan Dia pula yang berhak menetapkan kapan hidupnya berakhir. Allah jugalah yang berhak menetapkan jenis kejahatan apa saja yang menuntut hal tersebut.

Pertanyaan semacam ini hanya mungkin ditanyakan oleh orang-orang yang merasa mampu membuat undang-undang sendiri untuk manusia. Ini memberi jawaban kepada mereka, "Kalian tidak pernah memberikan kehidupan kepada seseorang, lantas bagaimana kalian boleh mengambilnya?"

Dua ribu tahun berlalu, syariat Islam ditinggalkan manusia pada umumnya, seiring itu pula pertumpahan darah terjadi di mana-mana. Di berbagai belahan bumi dengan dalih kemanusiaan otoritas akal manusia kemudian di-kedepan-kan sebagai jalan hidup manusia lalu apa yang didapat? Jutaan nyawa melayang tanpa dasar yang jelas, kecuali sebatas kepentingan dunia ansich, fakta riil saat manusia mempertuhankan dirinya sendiri semua sistem yang ada menjadi rancu dan tidak ada kepastian hukum. Termasuk di dalamnya mereka yang menolak hukuman mati dikarenakan alasan akalnya belaka. Padahal akal bukanlah Tuhan dan Tuhan pun bukan akal.

Dalam surat Al-Baqoroh, Allah berfirman:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau? Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
[QS: Al-Baqoroh [2], ayat 30]

 Wallahu a'lam Bish-showwaab.

Oleh: Imam Hanafi
Sumber: hidayatullah.com

Mar 10, 2015

Tentang Taubat Nasuha dan Istighfar


Barangkali kita sering bertanya-tanya dalam diri sendiri, bagaimana jika kita berbuat dosa, apakah kita bisa melakukan taubat? Apa sih Taubat Nasuha itu dan bagaimana cara kita melakukan Taubat Nasuha? Apakah cukup dengan hanya membaca istighfar saja? Bacaan apa saja yang harus kita lafalkan dalam beristighfar?

Alhamdulillah, ketika hati sedang dilanda kebimbangan karena pertanyaan-pertanyaan seperti diatas, tiba-tiba Allah swt seperti memberikan kita jawaban, dengan cara yg tidak disangka-sangka. Ketika sholat maghrib di Bintaro, tiba-tiba mata ga sengaja menangkap selembar buletin dakwah Al Huda. Subhanallah. Artikelnya, exactly, something that I really-really-really need at that time. Subhanallah.

So, dari pada baca sendiri, saya ingin share juga di catatan ini. Siapa tahu bermanfaat buat yang lain.

Taubat, dari aspek kebahasaan berarti kembali. Dalam pemahaman kebahasaan dimaksudkan dengan taubat adalah kembali dari kemaksiatan kepada ketaatan kepada Allah SWT.

Juga dijelaskan oleh para ulama, dimaksudkan dengan Taubat itu adalah kembali dari jalan yang jauh kepada jalan yang lebih dekat kepada Allah SWT. Sehingga demikian, pada hakikatnya, Taubat adalah pembersihan diri (bukan sekedar pembersihan hati/kalbu semata), dari segala dosa, yang dimanifestasikan dengan meninggalkan segala keinginan untuk melakukan kejahatan, serta secara nyata tidak melakukan perbuatan maksiatnya lagi.

Dari pemahaman yang demikian, bertaubat bukanlah hanya sekedar beristighfar, melainkan melakukan semua daya upaya untuk taat kepada Allah SWT, serta ditambah lagi oleh segala daya upaya untuk meninggalkan kejahatan (maksiat) yang dilarang Allah SWT, dan semaksimal mungkin berdaya upaya untuk mengerjakan apa-apa (semua) yang diperintahkan Allah SWT.

Melakukan Taubat adalah diperintahkan oleh Allah SWT kepada setiap manusia, sebagaimana firman-Nya: 
"... Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman, supaya kamu beruntung", (Surat 24, An Nuur, ayat 31).
Dalam ayat yang lain Allah SWT berfirman:
"... Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya (yang sesungguh-sungguhnya), mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam syurga", (Surat 66, At Tahriim, ayat 8).

Taubat yang semurni-murninya (yang sesungguhnya) itu biasa disebut sebagai "Taubat Nasuha". Dimana menurut jumhur ulama (diantaranya Imam Al Qusyairi) ada tiga cirinya, yaitu:
  1. Menyesal terhadap perbuatan maksiat yang telah dilakukan;
  2. Meninggalkan perbuatan maksiat itu; dan
  3. Berazam (bercita-cita) tidak akan mengulangi kembali perbuatan dosa yang telah diperbuatnya.
Ketika memperdalam pembahasan masalah Taubat ini, Imam Ghazali merinci tingkat Taubat tersebut atas tiga peringkat, yaitu:
  1. Tubat, yaitu kembali dari melakukan maksiat dengan mengerjakan ketaatan;
  2. Firaar, yaitu lari dari kemaksiatan kepada ketaatan; dan
  3. Inaabah, yaitu bertaubat terus-menerus, sekalipun sudah tidak lagi mengerjakan dosa.

Sementara para ulama mutakallimin (ulama kalam) merinci Taubat atas tiga peringkat pula, yaitu:
  1. Taubat, yaitu kembali dari kemaksiatan kepada ketaatan karena takut akan siksa Allah SWT;
  2. Inaabah, yaitu kembali dari yang baik kepada yang lebih baik karena mengharapkan pahala dari Allah SWT; dan
  3. Aubah, yaitu bertaubat bukan karena takut akan siksaan Allah dan bukan pula karena mengharapkan pahala dari Allah SWT, melainkan semata-mata karena taat kepada perintah Allah SWT.
Bagi kalangan sebagian ahli sufi, tandanya Taubat itu ialah apabila seseorang melihat dalam semua hal hanyalah Allah SWT. Maknanya, ketika melihat apa saja, maka orang itu akan selalu teringat dan memahami bahwa semua apa yang dia lihat dan yang dia tidak lihat adalah Allah SWT penciptanya.

Sementara ulama fiqih, menjelaskan dari sisi fiqih apa-apa saja yang merupakan perbuatan dosa itu, sehingga seorang yang beriman akan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk tidak tergelincir mengerjakannya. Maka diidentifikasilah perbuatan dosa itu atas enam jenis, yaitu:
  1. Dosa karena kekafiran;
  2. Dosa karena berbuat maksiat;
  3. Dosa karena melakukan dosa-dosa besar;
  4. Dosa karena melakukan dosa-dosa kecil;
  5. Dosa karena melalaikan perintah Allah SWT; dan
  6. Dosa karena mengabaikan amal-amal yang utama.
Bertaubat salah satu manifestasinya adalah dengan melakukan permohonan ampunan tersebut dikenal dengan sebutan "Istighfar". Istighfar adalah menundukkan jiwa, hati dan pikiran hanya kepada Allah SWT, seraya memohon ampunan kepada Allah SWT dari segala dosa yang diperbuat. Baik dari dosa yang diketahui, maupun yang tidak diketahui.

Dosa itu ada dosa yang kita tidak ketahui, atau kita tidak sadar bahwa kita melakukan dosa. Misalnya, karena suatu keadaan, seseorang lebih takut kepada sesama manusia atau makhluk hidup Allah lainnya, dibandingkan dengan rasa takutnya kepada Allah SWT, sekalipun realitanya memang wajar atas rasa takut itu, maka sesungguhnya kita telah melakukan dosa, karena dengan tindakan yang demikian kita telah melebihkan rasa takut kepada yang bukan Allah.

Dalam hal ini marilah direnungkan ketika kita pada satu masa lebih takut kepada seorang presiden, dibandingkan dengan rasa takut kepada Allah SWT. Misalnya ketika dengan alasan-alasan objektif (mungkin terpaksa) disaat menerima "nasakom" atau disaat menerima "asas tunggal".

Kalau hal tersebut kita renungkan, kemudian kita bertaubat kepada Allah SWT, semoga kiranya Allah SWT memberikan kemudahan kepada bangsa dan negara kita untuk mencapai kemajuan, ketenteraman, kedamaian dan kemakmuran. Kiranya para pemimpin umat Islam Indonesia perlu merenungkan hal ini dengan sedalam-dalamnya.

Memohon ampun kepada Allah SWT pada dasarnya merupakan doa dari hamba kepada Allah SWT. Rasulullah SAW mengajarkan kalimat istighfar itu, yakni:
  1. Astaghfirullaah;
  2. Astaghfirullaah al 'aziim;
  3. Astaghfirullaah al 'aziim laa ilaaha illaa huwal hayyul-qayyuum wa atuubu ilaihi (aku memohon ampun kepada Allah yang tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang Maha Hidup lagi Berdiri Sendiri dan aku bertaubat kepada-Nya).

Bahkan Rasulullah SAW mengajarkan sayyid al istighfar:
"Allahumma Anta rabbii laa ilaaha illaa Anta khalaqtanii wa anaa 'abduka wa anaa 'alaa 'ahdika wa wa' dika mastatho'tu, a'uudzubika min syarrii waa shona'tu, abuu u laka bini' matika 'alayya waa abuu u bidzanbi faghfirlii, fa innahuu laa yaghfirudz-dzunuuba illaa Anta", (Ya Allah, Engkaulah Tuhanku, tidak ada Tuhan melainkan Engkau. Engkau telah menciptakan aku dan aku adalah hambaMu, aku hanya berada di atas jaminan dan janjiMu. Aku hanya sanggup memohon perlindunganMu dari kejahatan apa yang telah aku perbuat, aku mengakui betapa banyaknya nikmaMu atasku, aku mengakui betapa besarnya dosaku, maka ampunilah aku. Sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa melainkan Engkau).
Dan masih ada lagi Istighfar berupa doa para rasul di dalam Al Qur'an.

(H. Dahlan Idris)

Semoga bermanfaat...

Today's thought: Persatuan Kita


Sebenarnya persatuan kita hanya dilingkup oleh tabir setipis kulit bawang; dan 
kebersamaan kita hanya diikat oleh ikatan setipis benang sutra. 

Sedang kita kerap kali dipenuhi kebencian yang memecah-belahkankan; karena
kebencian yang didasari oleh sesuatu yang kita sebut sebagai... 
agama dan keyakinan yang beragam dan berbeda.


Maret 2015
ramz

Dimanakah Kehidupan Yang Sesungguhnya?



Di antara dahaga, yg membangkitkan rasa syukur
Tenggelam aku meresap lapar di nafasku bertafakur
"Sesungguhnya, aku tengah menapak jalan nuju akhir"
Sebersit bisik diantara sadar ajakku lebur berpikir

"Dunia ini hanyalah perhiasan yang membutakan
Demikian seperti yang kubaca di Al Furqan
Bahwa saat ini hanyalah sepenggal perjalanan
Hingga nanti kita menghadapi hisab di Yaumul Miizan

Maka, masihkah hati kita tak terbuka
Tentang dimana hidup kita yg sesungguhnya
Di antara nafas yang kerap berhembus sia-sia
Atau di antara jalan menuju pintu Neraka dan Syurga

Dan di antara lembar-lembar yg kusibak bertadarus
Kupeluk rahmat Sang Khalik tuk kugapai 
aroma Firdaus 


(Ramadhan 1432H)

-ramz-