Sep 19, 2008

Lagu Rindu Yang Lain



Hampir 2 bulan saya menghabiskan waktu di desa Bean Heas ini. Jauh dari berbagai hal yang selama ini tak pernah saya bayangkan akan saya tinggalkan, untuk jangka waktu yang –bagi saya– cukup lama. Ya, tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa saya akan mengalami jauh dari rumah, jauh dari oran-orang yang saya cintai. My Bony, Memey, Romi, Raka dan my old mom alone serta orang-orang lain yang berarti bagi saya. Betapa saya sangat merindukan mereka.


Meski sms dan telepon tak pernah alpa setiap hari, namun itu semua tak cukup untuk menghapus kerinduan saya akan rumah yang selalu membuat saya menjadi 'homie man' .. senang jadi orang rumahan. Rindu kopi pagi racikan my Bony dan ketelatenannya yang tak pernah bosan selama lebih 13 tahun menyiapkan pakaian di pagi hari, atau menuangkan nasi saat makan malam, meski saya sebenarnya bisa melakukannya sendiri. Ah, saya jadi tiba-tiba merindukan rumah saya yang berantakan karena seringnya anak-anak tetangga bermain di kamar Memey dan Romi. Atau ruang depan yang penuh berseliweran dengan kabel joystick tiap kali teman-teman Raka datang dan berebut main PS2.


Hampir dua bulan saya merasakan 'menjadi orang lapangan', mengalami ritme pekerjaan yang sama sekali jauh dari apa yang biasa saya rasakan selama ini. Begitu banyak 'kesibukan' yang harus saya lalui dengan pace yang anehnya –atau lucunya– berjalan sangat lamban, karena begitulah ritme yang berlaku disini. Waktu yang seakan berjalan di tempat, lingkungan yang sama sekali jauh dari kesan formil, dan interaksi dengan orang-orang desa yang biasa santai, membuat saya sempat merasa gagap untuk beradaptasi.


Sepertinya saya terjangkit penyakit rindu pada hal-hal yang biasa saya jalani di Jakarta. Rindu meja kerja saya yang juga selalu berantakan dengan berbagai berkas yang berserakan. Rindu jadwal kerja yang padat yang membuat saya sering lupa menghitung waktu. Rindu kemacetan jalan yang sebelumnya sering membuat saya selalu menggerutu. Rindu menyalip-nyalip kendaraan ketika saya sedang buru-buru. Rindu suara tak-tuk sepatu ketika saya harus melangkah cepat, beredar dari satu meja ke meja yang lain untuk satu keperluan tertentu, atau sekedar ber-hai-hai ria dengan teman-teman di kantor. Rindu wajah imut sang resepsionis yang rajin melontarkan senyumnya yang berlesung dan manis, dan wajah sangar security yang rajin menyapa saya dengan sopannya, setiap pagi.


Duh, saya jadi teringat mie ayam Sumbangsih dengan baksonya yang legit dan membuat saya selalu memesan ekstra, pun masakan bu Kantin belakang yang menunya ala masakan rumah. Walahh, saya jadi ingat.. saya belum melunasi bon makan yang sudah menunggak sebulan lalu. Hahahaha... Sabar ya, bu. Hm, ngomong soal makan, saya jadi ingat juga dengan kantin di kantor seberang yang suasananya bikin saya betah berlama-lama menghabiskan waktu membaca buku selepas makan siang. Biasanya saya mengambil posisi tempat duduk di bagian beranda dengan pemandangan halaman rumput, dan angin sepoy-sepoy yang membuat daun-daun pohon gemerisik. Kalau sudah begini, tak ada yang bisa membuat saya terusik dan mengalihkan mata dari halaman demi halaman buku yang saya baca. Unless, ceweq2 yang makan di kantin ini yang memang sayang untuk diabaikan begitu saya. Mungkin itu satu hal lain yang sebenarnya, yang membuat saya betah berlama-lama. Hahahaha... Just kidding!


Well, saya harap sebelum Idul Fitri ini bisa tercapai kesepakatan antara saya dengan warga masyarakat disini untuk urusan pembebasan lahan. Saya pikir, mereka mulai sedikit bersikap lunak. Mungkin perlu sedikit sentuhan persahabatan dan negosiasi dari hati ke hati agar mereka bisa menerima penawaran saya, dan merasa yakin bahwa kehadiran perusahaan pertambangan di wilayah mereka tidak akan membawa dampak yang merugikan, terutama dari segi dampak lingkungan.


Barangkali proses negosiasi yang mulai tidak terlalu alot ini juga yang membuat saya sedikit banyak mulai bisa memikirkan hal lain hingga saya terbawa nuansa menjelang Idul Fitri dan membuat saya tiba-tiba ingat semua hal yang saya tinggalkan di Jakarta sana. Yah, pikiran saya mulai kendur dan tak setegang minggu-minggu kemarin ketika proses sosialisasi dan negosiasi awal berjalan, dimana warga masyarakat masih bersikap apriori dan tak menerima kehadiran kami disini.


Ah, tak sabar rasanya menanti pulang... dan menuntaskan segala rindu yang masih menggantung di sana, di bawah langit Jakarta.


Semoga saya bisa segera pulang dan selamat sampai rumah. Semoga...




Bean Heas, 20 September 2008

Sep 16, 2008

Rindu

Barangkali cukup lama saya tenggelam dalam kesibukan di desa Bean Heas, kecamatan Muara Wahau, kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, khususnya untuk melaksanakan tugas pembebasan lahan di desa tersebut. Hampir 2 (dua) bulan saya bergelut dengan what so called 'orang-orang lapangan' –rekan-rekan senasib-sepenanggungan yang terpaksa harus hidup jauh (sangat jauh) dari keluarga mereka masing-masing karena harus tinggal dan menetap sementara di site office PT. Tekno Orbit Persada yang merangkap mess (mungkin bisa juga dibilang rumah) ini, bergaul dengan masyarakat lokal dan mengenal mereka secara lebih mendalam, mengenal sedikit dan sekelumit kehidupan masyarakat di desa ini.

Meski tidak begitu banyak kesibukan yang memberikan tekanan secara fisik kepada saya dan rekan-rekan lain disini, namun adanya perasaan jauh dari rumah dan tekanan untuk menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya dengan budget serendah-rendahnya, memberikan tekanan tersendiri terutama mental dan pikiran saya. Setiap detik yang berlalu seperti siksaan bagi saya karena begitu lambatnya respon warga masyarakat disini terhadap rencana dan sosialisasi pembebasan lahan yang saya lakukan, dikarenakan perasaan enggan mereka untuk merelakan saya membebaskan lahan mereka. Belum lagi berhubungan dengan pemerintah kecamatan yang –karena saya belum terbiasa, tidak bisa saya hubungi dan temui sesuai dengan keinginan saya, karena kesibukannya sehari-hari. Melaksanakan pekerjaan yang tingkat ketergantungannya sangat tinggi dengan pihak lain, memang amat sangat berbeda dengan melaksanakan tugas rutin sehari-hari yang outputnya bisa dilihat dan diukur dengan jelas, seperti pekerjaan marketing atau accounting. Pekerjaan marketing meski memiliki ketergantungan yang cukup erat dengan pasar atau pelanggan, outputnya bisa jelas dilihat dari seberapa besar penerimaan pasar terhadap apa yang saya pasarkan, atau seberapa besar kemampuan penetrasi pasar produk atau jasa yang saya pasarkan. Output yang bisa dilihat tolok ukurnya dengan sangat jelas dari tingkat penjualan, apakah naik atau turun. Accounting juga lebih jelas lagi outputnya, berupa laporan-laporan yang sifatnya kualitatif maupun kuantitatif, sesuatu yang sifatnya periodik. Harian, Mingguan, Bulanan, Triwulan, Semester dan Annual, semua merupakan output yang bisa diukur.

Tapi urusan pembebasan lahan sangat bias. Sosialisasi yang saya lakukan, belum bisa saya ukur dengan jelas. Bagaimana respon masyarakat terhadap rencana pembebasan ini. Apakah mereka menerima atau menolak. Seberapa jauh keberhasilannya. Semua tidak bisa saya pastikan dengan angka-angka. Semua hanya mengandalkan perkiraan. Karena sampai hari ini kenyataannya belum ada sejengkal lahan pun yang sudah bisa saya bebaskan. Semuanya masih menunggu. Meski ada tahapan-tahapan yang telah saya lewati, namun hasil akhirnya tetap belum bisa saya pastikan. Berapa nilai kompensasi yang harus saya keluarkan. Apakah bisa sesuai dengan budget yang disediakan atau syukur-syukur bisa lebih rendah. Atau, yang terparah, bisa saja jauh lebih tinggi dari apa yang dianggarkan.

Namun yang terberat dari itu semua adalah adanya perasaan tidak berdaya menyadari saya sangat jauh dari rumah, jauh dari orang-orang yang saya sayangi dan orang-orang yang menyayangi saya. My Bonny tempat saya biasa melepaskan penat dan lelah setiap saya selesai melewati setiap satu hari dalam kehidupan saya. Anak-anak yang dengan mereka saya biasa bercengkerama bercanda dan menikmati hari demi hari mereka tumbuh dalam kemanjaan. Ahh, betapa saya sangat merindukan mereka semua. Raka yang mulai menunjukkan sosok remajanya, mengingatkan saya pada sosok saya ketika masih remaja dulu. Romi yang memiliki sifat sangat identik dengan saya sendiri, begitu perasa, pendiam dan biasa tertutup pada siapapun, bahkan dengan orang tuanya sendiri yaitu saya dan Bony. Dan Memey si kecil lincah yang sangat mandiri, yang juga mewarisi sifat saya yang terbiasa melakukan apapun sendiri, bahkan menikmati waktu-waktu dalam kesendirian.

Baru kali ini saya meninggalkan mereka untuk jangka yang cukup lama, dua bulan, dengan jarak yang begitu jauh. Barangkali saya memang terbiasa menjadi orang rumahan, dan bukan petualan yang seringkali berpergian, jauh dan untuk jangka waktu cukup lama. Barangkali itu satu alasan yang membuat saya amat sangat jarang melakukan travelling, meski sebenarnya saya menyukai sensasi yang muncul tiap kali mengunjungi satu daerah tertentu, melihat-lihat sesuatu yang baru, menjejak tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi. Terlebih daerah-daerah dimana segalanya masih merupakan sesuatu yang asri, alami dan memiliki nuansa tradisi yang kental. Seperti desa Bean Heas yang saya kunjungi kali ini.

Melihat anak-anak kecil yang polos dengan muka centang perenang kadang dibalut nuansa dekil, seperti memberikan suatu kesejukan tersendiri. Betapa lucu anak-anak yang hidupnya masih sangat sederhana ini. Anak-anak yang mungkin belum pernah melihat majalah Bobo, bacaan Harry Potter atau permainan seperti Play Station. Anak-anak yang mungkin hanya tahu Mall lewat televisi, belum pernah menyentuh Lap top atau PC, atau bahkan camera digital pun merupakan sesuatu yang masih sangat aneh bagi mereka. Entah karena kepolosan mereka atau memang belum pernah mereka alami sebelumnya, menyaksikan betapa wajah mereka bisa terekam di layar TFT camera digital atau handycam, membuat mereka merasa aneh dan tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan wajah-wajah kucal mereka yang penuh ingus dan bekas iler yang mengering, mata yang masih belekan, atau rambut yang merah kusam terbakar matahari. Menyaksikan mereka bercanda dan bermain di lapangan atau mandi-mandi di kali dengan riang, seperti menyadarkan saya bahwa kesenangan dan keceriaan pun bisa mereka, anak-anak kampung ini, nikmati tanpa perlu bermewah-mewah. Tak perlu Time Zone atau arena permainan seperti video game untuk mereka ber-having fun. Karena berlari, melompat, terjun bebas ke kali, berenang telanjang bulat, memanjat pohon, mencari-cari serangga untuk mereka mainkan, pun sudah memberikan mereka kesenangan yang lebih dari cukup. Kesenangan yang bisa mereka alami secara kolektif –bersama-sama dengan teman-teman mereka, sesuatu yang mungkin sekarang makin jarang dijalani oleh anak-anak kota yang makin terbiasa asyik dengan segala sesuatu yang bersifat individu.

Melihat baju-baju dekil dan kumel yang mereka kenakan seperti menyadarkan saya bahwa sejelek apapun baju yang masih dipakai anak-anak saya, masih sangat jauh lebih layak dipakai dibanding baju anak-anak lugu itu yang mungkin sudah dipakai bertahun-tahun dari dari satu anak ke anak yang lainnya ketika baju yang mereka kenakan mulai kekecilan.

Ah, saya jadi ingat lagi dengan anak-anak saya. Rindu teriakan mereka yang tiap kali riuh rendah menyambut saya muncul di daun pintu rumah. Rindu sorak riang mereka tiap kali melihat saya pulang menenteng sesuatu, entah pizza, burger atau sekedar 'kebab' yang biasa saya beli di depan indomart di perempatan dekat rumah. Rindu Memey yang repot berebut mengambil sepatu saya dan meletakannya di rak sepatu dan kembali dengan bangga menemui saya. Rindu binar mata Romi yang bangga tiap kali memperlihatkan kebisaannya memainkan lagu-lagu baru tiap kali pulang dari les piano. Rindu sikap Raka yang makin konyol dan makin nakal menggoda adik-adiknya, kenakalan seorang anak yang mulai beranjak remaja yang iseng, yang ceplas-ceplos, yang sering berpikir semau gue dan yang mulai malu-malu dan tersipu tiap kali saya menanyakan siapa teman perempuan sekelasnya yang dia suka, yang mulai sering muncul diponselnya mengirimkan sms yang berkali-kali tiap hari. Terlebih lagi betapa saya Rindu Bony yang tersenyum sabar menyaksikan saya pulang dan menyapa anak-anak terlebih dahulu satu persatu, namun berubah garang begitu saya menutup pintu kamar dan melakukan ritual pulang kerja, yaitu... melepaskan kangen setelah seharian tak bertemu karena saya dan dia sama-sama bekerja.

Ah, rindu ini sudah seperti lonjakan penumpang yang biasa membludak menjelang hari-hari mendekati Lebaran ini. Barangkali rindu ini pun sudah seperti ongkos angkut Lebaran, sudah waktunya diberlakukan tuslag!

Sep 15, 2008

Tak Mau Berhenti Buka Usaha Baru

Seringkali kita berpikir bahwa untuk memulai suatu usaha sendiri atau wirausaha, diperlukan suatu 'modal' usaha yang besar melibatkan angka-angka 6 digit yang mencapai puluhan atau ratusan. Sehingga tiap kali ada keinginan untuk berwiraswasta, kita selalu terbentur hanya sebatas wacana atau angan-angan saja dan selalu berdalih, "Tidak punya modal."

Salah seorang praktisi wirausaha muda pemilik Waralaba Tela Krezz, Firmansyah Budi Prasetyo, membagikan resepnya tentang memulai usaha sendiri. Menurut enterpreneur muda ini (lahir 1981), di Indonesia memang tak banyak orang yang mau berwirausaha karena masih adanya stigma bila akan memulai suatu bisnis harus memiliki modal besar. Padahal, menurutnya, modal tidak selalu berarti uang. Tapi modal juga dapat berupa keahlian dan jaringan atau pertemanan.

Prinsip bisnisnya yang selalu dia tularkan kepada orang lain sebagai motivasi adalah "Do Action!". Dia menyayangkan bila orang hanya berwacana mengenai kemungkinan yang akan dihadapi usahanya kelak. "Kita tidak akan pernah tahu bila tidak mencobanya," tegasnya.

Ada sekelumit kisah mengenai Firmansyah Budi Prasetyo yang saya pikir sangat bagus bila saya share dengan orang lain. Barangkali bisa menjadi model yang bisa dicontoh bagi mereka yang ingin berwirausaha namun masih ragu-ragu. Sebagai contoh, Firman ini memulai usaha warala Tela Krezz dari nol. Dimulai pada November 2006, ia mencoba membuat usaha makanan kecil dari singkong dengan modal Rp 3 juta. Kemudian selang tiga bulan, Firman mulai berpikir untuk membuat franchise produknya ini karena keterbatasan modal. Untuk mempermudah, dia mendirikan CV Cipta Mandiri Kreasindo.

Sembari membenahi kinerja usahanya, dia terus mencari mitra usaha baik melalui pameran atau beriklan di surat kabar. Semua jerih payah Firmansyah memang akhirnya terbayar. Saat ini omzet penjualan usahanya sudah mencapai Rp 2 milyar per bulan!!! Sebuah angka yang tak dapat dikatakan kecil. Omzet tersebut dia peroleh dari jaringan waralabanya yang saat ini sudah mencapai 500 unit dan 84 agen di seluruh Indonesia. Semua itu dia bangun dengan modal kepercayaan dan komitmen untuk saling menjaga amanah.

Menurutnya, para mitra usahanya mampu memperoleh keuntungan kurang dari setahun dengan modal Rp 3,5 – 6 juta untuk membuka outlet dan Rp 12 – 15 juta untuk menjadi agen di daerah.

Kisah mengenai Firmansyah ini menurut saya sayang sekali jika saya simpan untuk saya sendiri. Barangkali ini bisa menjadi tambahan motivasi buat mereka yang ingin menekuni dunia kewirausahaan. Semoga menjadi tambahan referensi untuk memantapkan mereka yang berniat untuk terjun ke dunia usaha sendiri. So, ini saya kutip dari koran Seputar Indonesia, edisi Sabtu 30 Agustus 2008, dengan judul seperti yang saya kutip di atas. Ini kutipan selengkapnya:

"Tak Mau Berhenti Buka Usaha Baru"

Firmansyah Budi Prasetyo terbukti mampu mendirikan sebuah usaha waralaba Tela Krezz yang sudah merambah selurun Nusantara. Ini menjadi modal baginya untuk melirik usaha lain. "Saya masih ingin membuka lapangan kerja yang lebih banyak," katanya saat ditanya alasan mendirikan usaha lain.

Usahanya ini tidak sekadar aji mumpung. Alumnus Fakultas Hukum Universitas Gadja Mada (UGM) ini memikirkan usaha ini dengan matang. Karena dia melibatkan beberapa teman untuk mendanai usaha ini. "Usaha ini merupakan hasil kerja sama saya dengan beberapa teman. Tapi saya yang memegang pengelolaannya," ungkapnya.

Sebenarnya pada pertengahan tahun 2007, Firman sudah merintis usaha warung internet (warnet) yang bernama Homynet. Setelah itu, muncul Tela Krezz pada akhir tahun 2007. Usaha pengolahan ketela ini juga dirintisnya di dekat rumah orang tuanya. Tak lama, Firmansyah mulai melirik usaha warung steak tepatnya pada Maret 2007. Dia mengungkapkan bila masyarakat menyukai masakan olahan sapi. Selain itu, bahan bakunya mudah didapatkan dari sekitar Yogyakarta. Setelah melihat perkembangan usaha ini cukup bagus, Firman pun memindahkan warungnya ke daerah Nologaten, Sleman, Yogyakarta.

Tiga bulan berselang, dia merambah usaha laundry. Dia melihat respons pasar yang bagus pada usaha jasa ini. Selanjutnya, pada akhir 2007, dia juga menjajal peruntungannya di usaha makanan. Kali ini ia membuka warung Chicken Chick's.

Perjuangan Firman untuk mengembangkan usaha ini bukan tanpa halangan. Dia pun pernah merasakan jatuh bangun. Namun, dia tetap optimistis mampu bersaing di bidang ini. Dan inilah rumus andalannya. Karena setiap usahanya memiliki ciri khas tersendiri. Menurutnya, seperti usaha wartetnya yang menawarkan konsep senyaman rumah sendiri. (mg02).

BIODATA:

  • Nama:            Firmansyah Budi Prasetyo
  • Tempat tgl lahir:    Semarang, 15 Desember 1981
  • Agama:            Islam
  • Status:            Belum menikah
  • Kantor:            Jalan Bugisan No. 34, Patangpuluhan, Wirobrajan, Yogyakarta

PENDIDIKAN:

  • SD 2 Muntilan, Magelang
  • SMP 1 Magelang
  • SMU 6 Yogyakarta
  • Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

PENGHARGAAN:

2007, ISMBEA (Indonesia Small Mediun Business and Entrepreneur Award) dari Kementerian Koperasi & Kewirausahaan bekerjasama dengan Majalah Keuangan.

USAHA:

  • HOMYNET
  • TELA KREZZ
  • STEAK O
  • LAUNDRY 6 TO 9
  • CHICKEN CHICK'S

Surat dari Wahau

Hai,

Sedang apa?

Saya harap kamu selalu dalam keadaan sehat wal afiat. Seperti juga saya disini sehat wal afiat, meski cuaca di sini agak kurang bersahabat. Seringkali kalau panas, panasnya benar-benar menyengat dan memanggang berhari-hari. Kalau sudah begini, bukan saja kulit seperti terbakar. Tapi mata pun seringkali lelah karena harus menghadapi sinar matahari yang begitu tajam. Pantas orang-orang di desa sini sering menggunakan kaca mata ceng-dem alias Goceng adem. Rupanya memang bukan sekedar untuk gaya-gayaan, tapi memang sangat baik untuk kenyamanan mata.

Buat saya terus terang agak sulit. Kalau dipaksakan memakai kaca mata ceng-dem, saya malah tidak bisa melihat dengan jelas karena mata minus yang sudah begitu tinggi ini tidak bisa jika tidak pakai kaca mata minus 3,75. Tapi, sebenarnya tidak pakai sun glass pun rasanya mata jadi pegal juga tiap kali saya keluar mess untuk kegiatan sosialisasi di desa-desa, terlebih mulai dari jam 10 sampai jam 2 siang. Sinar matahari disini memang terasa lebih garang dan lebih tajam dibanding jika saya rasakan di Jakarta.

Namun, sering kali juga terjadi hujan mengguyur seharian selama beberapa hari. Kalau sudah begini, sudah pasti jalan-jalan sekitar sini yang notabene masih tanah lumpur merah yang keras di waktu kering, akan terasa becek dan lekat ketika hujan. Naik motor pun harus ekstra hati-hati agar jangan sapai terjerembab. Dan di beberapa titik ruas jalan poros (jalan logging), selalu saja terjadi kubangan lumpur dengan kedalaman sekitar 30 - 50 cm yang sangat mengganggu dan menyulitkan para pengendara motor, tak terkecuali pejalan kaki.

Seperti minggu ini, sudah beberapa hari terakhir hujan turun hampir sepanjang hari. Menyisakan genangan air dan kubangan lumpur di mana-mana. Membuat saya menjadi malas kemana-mana.

Tapi, apapun cuacanya, bagaimanapun kondisinya, sepertinya orang-orang desa sini tak pernah merasakan seperti apa yang saya rasakan. Setiap pagi, mereka selalu berbondong-bondong berjalan kaki melintasi mess tempat saya tinggal. Saya kagum pada mereka. Di saat saya dan teman-teman se-mess baru saja terjaga dari tidur nyenyak, ketika matahari masih tersaput sisa-sisa kabut di pagi hari, mereka sudah bergerak untuk memulai kegiatannya setiap hari.

Menyaksikan keramaian yang terjadi dari balik jendela kamar saya, membuat saya jadi malu hati sendiri. Betapa sebenarnya saya sangat santai dan terlalu enak-enakan menjalani hidup ini. Mereka, orang-orang desa Bean Heas itu, laki-laki dan perempuan, sebagian memang naik motor sedang sebagian lagi berjalan kaki sambil menyandang anjat, yakni semacam tas pungung yang terbuat dari anyaman rotan (sebagian lagi terbuat dari bambu). Untuk melindungi wajah dan tubuh dari panas, mereka mengenakan serauh, semacam topi lebar berbentuk seperti payung terbuat dari anyaman daun nipah. Laki-lakinya biasa menyematkan mandau di pinggangnya.

Dari balik jendela kamar saya, sekitar 3-4 meter jaraknya, mereka melintas dengan santai menuju ladang-ladang mereka yang biasanya berpindah. Jika waktunya membuka lahan, mereka biasanya 'merintis' yakni membuka jalan menuju ladang di lahan yang baru yang umumnya masih penuh dengan semak dan belukar. Di lahan itu nantinya mereka akan 'menebas' untuk membersihkan semak dan belukar tersebut. Butuh minimal 10 hari tanpa hujan agar lahan tersebut dapat dibersihkan dengan cara dibakar.

Hasil dari pembakaran inilah nantinya, ditambah lapisan humus dari daun-daun yang gugur, yang dapat menjadikan tanah tersebut kembali subur. Ditambah sedikit pupuk agar hasil ladang mereka subur dan melimpah. Setelah pembukaan lahan dan persiapan untuk di tanam, mereka akan memulai 'nugal' untuk selanjutnya menanam benih padi. Biasanya bulan September mereka memulai penanaman benih. Dan benih ini akan mereka panen nanti di bulan Maret - April.

Saat panen adalah saatnya mereka bersuka cita. Seluruh penduduk desa Bean Heas dan dua desa lain yang bertetangga, Diak Lay dan Dia Beq akan melakukan acara syukuran panen raya yang biasa disebut 'Erau'. Biasanya pada acara besar seperti Erau ini, masyarakat seluruh desa akan berpesta seharian penuh. Melakukan tari-tarian adat dengan pakaian tradisional. Laki-laki dan perempuan saling berkumpul. Tua dan muda.

Makanan khas seperti Lemang, makanan yang terbuat dari beras ketan dicampur isi bervariasi, dimasak di dalam tabung bambu dan dibakar, merupakan makanan wajib yang bakal disajikan seluruh masyarakat. Sudah barang tentu minum-minuman pun akan jadi jadi bagian dari kesenangan mereka.

Kalau sudah begini, dijamin aroma minuman keras akan terasa dari mulut-mulut mereka. Anyway, memang saat seperti itulah waktunya mereka bersenang-senang.

Orang-orang itu masih terlihat di ujung jalan arah ke timur untuk kemudian berbelok ke utara menuju ladang mereka, sebagian mungkin menuju perkebunan plas kelapa sawit. Suara obrolan dalam bahasa dayak diselingi sesekali tawa masih terdengar sayup-sayup. Sisa-sisa kabut makin menipis tertinggal di puncak-puncak pepohonan tinggi di sekitarku.

Pukul enam lebih sedikit. Hawa dingin dari AC ruangan kamar membuatku makin malas bergerak. Namun jilatan sinar matahari yang membias dari kaca jendela membuatku mau tidak mau harus bangkit dari ranjang dan segera mandi. Sebentar lagi orang-orang desa yang bekerja sebagai crew-crew pengeboran perusahaan sub-contractor pasti akan mulai berdatangan dan berkumpul di sekitar mess. Tidak enak rasanya dilihat mereka dalam keadaan tubuh masih terlilit handuk mandi. Hehehehe...

Hmm, di Jakarta sana pasti masih sekitar jam 5 pagi lewat sedikit. Saya harap kamu sudah bangun. Agar bisa merasakan pikiran saya yang selalu dipenuhi tentang kamu. Hm, sebenarnya, saya ingin menuliskan surat ini dengan lebih banyak sentuhan pribadi yang lebih khusus. Sebenarnya saya ingin mengirimkan surat ini khusus dan langsung buatmu, agar kamu tahu keadaan saya disini. Saya baik-baik saja...

Kangen kamu, tentu saja.. Juga anak-anak... Tapi seperti biasa, dari pada kita tersiksa oleh rasa kangen yang tak pernah bisa kita enyahkan, lebih baik aku coba melupakan kamu sesekali. Entah dengan cara melahap buku Sejarah Indonesia yang saya bawa dari Jakarta awal Agustus lalu, atau keliling desa menyapa rumah-rumah kayu yang tua dan sederhana milik warga dengan lensa kamera Nikon saya, atau jika saya sedang penat, saya beristirahat di depan tv... atau sekedar membolak-balik halaman KalTim Post. Sekedar menghilangkan ingatan saya tentang kamu, tentang anak-anak... tentang rumah.

Sabtu kemarin 13 September 2008, jadi juga akhirnya saya bertemu muka secara langsung dengan warga desa disini. Sosialisasi pembebasan lahan itu berjalan dengan lumayan baik. Lumayan karena sebenarnya saya mengharapkan ada kesepakatan langsung dengan warga soal harga, tapi ternyata tidak.

Lumayan, karena suasana pertemuan aman damai dan tenang tanpa ada suasana tegang apalagi suara-suara tinggi memprovokasi. Alhamdulillah yang saya takutkan semua itu tidak ada. Jadinya, ya lumayanlah. Tinggal lagi saya harus memperjuangkan masalah nilai kompensasi agar bisa diterima warga. Karena apa yang mereka harapkan dengan apa yang bisa diberikan oleh Perusahaan masih belum ketemu, ada perbedaan yang cukup jauh. Well, wish me luck, okay?

Sudah siang. Aku harus segera keliling desa lagi. Sampai jumpa...


Muara Wahau, 15 September 2008

Sep 10, 2008

Keliling Kampung

Mau nggak mau, suka nggak suka, saya harus mulai terjun gerilya dan bergaul dengan masyarakat desa Bean Heas ini satu per satu. Berusaha mengenal mereka orang per orang. Dan sudah beberapa hari ini saya mulai memberanikan diri untuk berkenalan dengan satu per satu diantara mereka. Ya, perlu keberanian untuk bergaul secara langsung dengan mereka. Karena tiap kali berpapasan dengan mereka, selalu saja ada pandangan curiga terpancar dari mata mereka ketika menatap saya. Entah ini hanya perasaan saya sendiri, atau memang itu yang terjadi. Saya selalu merasa ada berpasang mata yang mengawasi gerak gerik saya, tiap kali saya melintas dari satu rumah ke rumah yang lain. Yang lebih membuat saya harus mengumpulkan segenap keberanian adalah, kebiasaan orang-orang laki di desa ini yang selalu membawa 'mandau' atau sejenis parang (golok) yang pernah saya lihat luar biasa tajamnya. Membawa senjata tajam agaknya memang sudah menjadi kebiasaan orang disini. Dan satu kebiasaan lagi yang membuat saya harus ekstra hati-hati adalah, ketika berpapasan dengan laki-laki disini yang sedang dalam keadaan... mabuk! Ya, mereka memiliki kebiasaan minum arak atau alkohol. Di beberapa warung yang saya singgahi, selalu saja ada minuman jenis bir hitam atau 'topi miring' yang dijual secara bebas. Dan bertemu dengan laki-laki dengan mata kemerahan adalah hal yang biasa saya temui disini.

Sebenarnya ada perasaan mendua yang mereka miliki terhadap keberadaan perusahaan di tengah mereka. Di satu sisi mereka merasakan ada manfaat langsung yang bisa mereka nikmati dengan adanya perusahaan di desa Bean Heas ini karena adanya lapangan pekerjaan buat mereka yang biasanya berladang, bertani atau berburu tapi disisi lain mereka memiliki kekhawatiran bahwasanya keberadaan perusahaan akan membawa perubahan yang dapat merugikan mereka, terutama ancaman terhadap lingkungan jika penambangan ini jadi berjalan nantinya. Ancaman akan hilangnya lahan tempat mereka biasa berladang dan bertani, atau musnahnya lingkungan hutan tempat mereka biasa berburu. Berburu merupakan salah satu mata pencaharian tradisional bagi para laki-laki di desa ini, terutama mereka yang masih berpikir secara tradisionil. Berburu juga merupakan satu kebiasaan dan adat yang telah berlaku turun temurun. Dan hilangnya hutan jelas merupakan ancaman nyata bagi mereka. Juga merupakan ancaman bagi keberlangsungan tradisi masyarakat Dayak suku Whe Hea. Itulah yang mungkin memberatkan mereka untuk membiarkan perusahaan penambangan terus melakukan kegiatan dan program-programnya. Namun disisi lain adanya peningkatan perusahaan mereka sadari juga akan membawa lapangan pekerjaan baru yang bisa mereka manfaatkan. Jadinya serba susah.

Satu masalah yang paling mencemaskan saya adalah adanya masalah kepemilikan lahan yang rupanya mulai terjadi saling tumpang tindih, karena kebiasaan mereka melakukan ladang berpindah. Sadar akan adanya nilai kompensasi atas lahan yang akan dibebaskan/dilepaskan hak pengolahannya (secara adat), membuat mereka saat ini mulai saling melakukan klaim kepemilikan dengan harapan mereka akan bisa menikmati nilai kompensasi yang ditawarkan perusahaan. Dan kemiskinan yang saat ini rata-rata menjadi bagian kehidupan mereka, membuat mereka memiliki harapan dan keinginan yang begitu besar akan adanya suatu nilai ganti rugi atau kompensasi yang sangat tinggi. Tidak tanggung-tanggung, mereka mulai 'berani' mematok angka puluhan juta untuk satu lahan kosong atau semak belukar seluas per 1 ha. Kalau mereka bersikukuh mematok nilai puluhan juta untuk 1 ha, betapa banyak yang harus perusahaan keluarkan untuk membebaskan lahan seluas 1,602 ha yang menjadi tugas dan tanggung jawab saya. Sementara perusahaan mengharuskan saya untuk bisa membebaskan lahan di desa Bean Heas ini dengan anggaran yang 'hanya' berkisar Rp 4 – 5 juta saja. Satu perbedaan yang begitu jomplang yang selalu membuat kepala saya pening.

Seperti hari ini. Saya harus memaksakan dan memberanikan diri untuk 'berdialog' dengan satu dua orang diantara mereka. Memang secara umum mereka sudah tahu dan paham tentang tugas dan keberadaan saya disini, yakni pembebasan lahan. Dan saya pikir saya sudah nggak perlu lagi berpura-pura menjadi turis atau melakukan kegiatan 'incognito' berpura-pura melakukan study tentang masalah sosial. Mereka sudah tahu dan paham siapa saya. Orang yang akan mengancam kehidupan mereka di kemudian hari. Ya, memang itulah yang saya rasakan tentang keberadaan saya disini. Jika saya berhasil, setidaknya saya membawa ancaman akan terjadinya perubahan. Perubahan cara hidup dan cara berpikir masyarakat di desa ini. Perubahan adat dan tradisi, jika suatu saat lahan mereka hilang atau tergerus oleh perubahan karena kegiatan penambangan. Satu kesadaran yang sering membuat saya pun berpikiran mendua. Di satu sisi saya merasa terancam akan kelangsungan karir saya di perusahaan jika gagal melaksanakan pekerjaan ini, namun di sisi lain saya merasakan kekhawatiran jika mereka, atau sebagian diantara mereka, nantinya akan merasakan perubahan yang merugikan mereka. Sungguh saya merasa sayang jika mereka sampai kehilangan identitas leluhur mereka, merasa prihatin jika adat istiadat dan budaya yang selama ini mereka pertahankan harus lenyap karena perkembangan kegiatan perusahaan.

Hampir setengah hari saya berkeliling kampung (desa) yang saya saksikan adalah memang benar kemiskinan atau setidaknya kebersahajaan. Rumah-rumah panggung terbuat dari kayu yang hampir sebagian besar dalam keadaan yang memprihatinkan, dengan sebagian besar halaman dipenuhi tanah yang becek, kotor dan hitam. Anak-anak kecil bertubuh mungil yang kelihatan jauh lebih kecil dibanding seharusnya, misalnya seorang anak usia sekolah kelas 5 SD yang tubuhnya lebih mirip dengan anak usia kelas 2-3 SD. Juga saya temui seorang wanita tua berjalan menuju ladangnya dengan tubuh ringkih nyaris setinggi anak saya yang kelas 5 SD. Dan pak Ding Hong, sang Kepala Adat yang matanya mulai disaput lapisan katarak, dengan tubuh kurus dan wajah tirus, memperlihatkan gigi-gigi yang mulai rapuh dan ompong termakan usia. Mau kemana dia jika kehilangan lahannya? Memang iya, ada anaknya yang akan mengurusnya melewati masa tua bersama istrinya yang juga mulai renta. Dan rumah adat yang dia diami, juga tak kalah memprihatikan saya. Rumah panggung berdimensi sekitar 4 meter x 10 meter, ditunjang tiang-tiang pancang setinggi hampir 3 meter itu, mulai memperlihatkan bagian-bagian yang mulai gabug (rapuh) dimakan usia. Lantai-lantai kayu yang disangga balok-balok kayu ulin itu mulai keliatan rekah di beberapa bagian. Pun halamannya yang berlumpur hitam karena dijadikan lahan untuk memelihara hewan, yakni babi. Hidupnya nggak bisa nggak dibilang kurang dari bersahaja.

Dengan kehidupan yang seperti itu, nggak mengherankan jika sebagian besar dari mereka mengharapkan bisa memperoleh kompensasi yang nilainya mendekati seratus jutaan untuk setiap lahan adat yang mereka miliki yang rata-rata tak lebih dari 2 ha luasnya. Mereka yang memiliki lahan sertifikat pun, nggak aneh lagi jika mengharapkan bisa memperoleh ganti rugi atau harga beli mencapai diatas Rp 150 jt. Karena jika mereka hanya memperoleh 5 – 10 juta saja dari lahan sertifikat seluas 2 ha, apalah artinya nilai sebesar itu jika mereka manfaatkan. Membeli motor untuk anak2 muda mereka pun nggak akan cukup.

God, saya nggak tahu sementara ini harus bagaimana. Membujuk atau mengarahkan mereka untuk melepaskan lahannya dengan kompensasi 'hanya' 10 jutaan maksimal dengan konsekuensi setelah uang itu habis mereka akan kembali miskin, atau memenuhi nurani saya memberikan mereka kompensasi yang cukup signifikan agar bisa dimanfaatkan dikemudian hari namun dengan konsekuensi perusahaan harus mengeluarkan dana ratusan milyar yang pastinya akan membuat mereka bisa saja mendepak saya sewaktu-waktu karena dianggap gagal dalam bernegosiasi.

My dear Lord, saya benar-benar nggak tahu harus bagaimana. Membiarkan mata hati saya terbuka, atau membiarkan nurani saya menangis terluka. Please help me to do the best, for all of us.

Sep 8, 2008

Sosialisasi Pembebasan Lahan

Sudah dua hari ini saya menunggu dalam ketidak pastian. Menanti jawaban masyarakat Bean Heas atas undangan Perusahaan untuk mengadakan pertemuan dalam rangka sosialisasi pembebasan lahan.

Masalah pembebasan lahan ini memang semakin lama semakin membuat kepala saya berdenyut-denyut. Setiap satu hari yang terlewat seperti ada seutas nafas saya yang putus satu demi satu hingga akhirnya habis untaian utas nafas saya. Ya, setiap hari yang lewat seperti memberikan beban yang semakin berat, karena urusan pembebasan lahan ini belum memberikan perkembangan yang menggembirakan. Masyarakat masih apriori mendengarkan penjelasan dan sosialisasi yang saya lakukan. Jangankan bertemu untuk mengadakan pembasahan soal ganti rugi atau nilai kompensasi atas lahan mereka yang akan kami bebaskan, bahkan membicarakan program-program perusahaan pun merka sudah alergi. Tapi lucunya, mereka selalu mengatakan bahwa keberadaan Perusahaan kami sedikit banyak membantu sebagian anggota masyarakat desa Bean Heas terutama dalam hal perekonomian, karena adanya ikatan kerja langsung antara Perusahaan dengan banyak anggota masyarakat mereka.
Sebenarnya saya bisa memaklumi, karena proses pembebasan lahan ini seperti seakan-akan mereka tengah memberikan periuk nasinya kepada perusahaan tempat saya bekerja untuk kemudian kami musnahkan. Melepaskan hak pengelolaan lahan mereka kepada Perusahaan itu sama saja dengan mereka melepaskan satu-satunya modal yang mereka miliki kepada kami. Karena setelah pembebasan atau pelepasan lahan tersebut, Perusahaan tentunya akan membuka lahan mereka untuk segera kami lakukan kegiatan penambangan batu bara. Tentunya ada kekhawatiran dalam benak mereka jika lahan yang saat ini mereka garap, meskipun secara hukum positif mereka belum bisa mengklaim kepemilikan lahan tersebut, kemudian diberikan kepada perusahaan dengan sejumlah kompensasi tertentu. Lantas dimana mereka akan berladang nantinya? Bagaimana mereka akan makan sehari-hari nantinya karena selama ini mereka memenuhi kebutuhannya dengan jalan bertani dan berladang. Itupun dengan sistem perladangan berpindah-pindah.
Yang saya khawatirkan adalah adanya sekelompok orang-orang yang mengaku dirinya LSM, memprovokasi masyarakat disini sehingga mereka menjadi apriori terhadap kami. Atau setidaknya mereka jadi seenaknya saja menentukan nilai kompensasi yang melambung tinggi diatas nilai kewajaran. Dan melakukan negosiasi dengan masyarakat yang nota bene benaknya sudah dipenuhi dengan kecurigaan dan kemarahan tentu saja akan berjalan dengan alot dan penuh resiko. Resikonya adalah jangan sampai terjadi dead-lock. Tapi juga jangan sampai kesepakatan yang terjadi membebankan Perusahaan kami. Karena tak mungkin kami membebaskan lahan dengan biaya yang jauh melonjak di atas anggaran yang ditetapkan perusahaan.
Duuh, peningnya ngurusin masalah pembebasan lahan ini. Sayang saya nggak punya pengalaman untuk bagaimana mengatasi kendala seperti apa yang tengah saya hadapi sekarang. Karena toh sekarang bukan jamannya lagi mengadakan pendekatan represif. Sudah bukan jamannya lagi mengutamakan kekuatan fisik untuk memaksakan suatu kehendak.

Duh... pusinggg!!!!!

Sep 7, 2008

September Rain

Sep 07 2008, 7:27am

Hujan mulai rajin mengguyur bumi Bean Heas sejak awal September ini.
Seperti juga semalam. Hujan turun begitu deras. Hampir sepanjang malam nggak berhenti. Air seperti bener2 tercurah dari langit. Kecil juga hati ini melihat awan hujan yang begitu tebal, berat, padat bergumpal seperti dicairkan semua dan jatuh deras ke bumi.

Saya tidak bisa bayangkan akan seperti apa jadinya access jalan dari Bean Heas ke Wahau (dan sebaliknya) tiap kali hujan turun nggak henti-henti seperti malam tadi. Pasti bakal merepotkan orang2 yang lalu lalang disana, nantinya. Pasti akan banyak genangan air sepanjang hampir 100-200 meter panjangnya dengan kedalaman hampir setinggi roda motor, antara desa Diak Lay dan Dia Beq. Dan jika itu yang terjadi, sudah pasti akan terjadi jalur off road yang membuat jalan seperti dilapisi lumpur merah yang seperti bubur bayi yang kental. Sengsaranya luar biasa melewati jalan seperti itu, terlebih dengan motor. Karena saya pernah mengalaminya.

Tapi, herannya... pagi ini semuanya di sekitar base camp TOP terlihat seperti biasa. Seperti nggak ada sisa-sisa hujan yang meluruk bertubi-tubi semalam. Mengherankan karena tanah di sekitar desa Bean Heas ini seperti menyerap dan menelan semua genangan hujan. Kering tanpa sisa. Barangkali karena sejak pagi tadi matahari bersinar cerah dan hampir tak ada lagi awan tersisa.

Semua seperti telah habis tercurah semalam. Dan langit pagi ini begitu bersih. Biasanya, kalau langit clean begini, siang nanti pasti bakal panas terik lagi seperti biasa.

Di daerah sini hujan dan panas memang seringkali terjadi silih berganti, dengan intensitas yang hampir sama kadarnya. Begitu seimbang. Tak bosan-bosannya saya mengagumi kejadian demi kejadian yang saya alami beberapa hari belakangan ini, selama tinggal di bumi Muara Wahau, atau tepatnya di desa Bean Heas ini. What a beautiful nature. Selalu ada keseimbangan. Suatu keseimbangan alam dan harmoni yang berjalan begitu indah.

Tapi, hujan semalam tak pelak juga membuat saya hampir senewen. Kesal juga setiap kali hujan deras terjadi, signal handphone lantas drop, no network connection at all. Semua provider! Rasanya saya jadi benar2 terisolir, karena nggak bisa komunikasi dengan dunia luar. Nggak ada koneksi telpon selular, apalagi koneksi internet.

Yeahh, mau gimanalagi. Saya memang harus banyak sabar di lokasi yang jauh seperti ini. Pola pikir dan pace bekerja disini memang tidak sama dengan ketika saya di kota.. Saya lupa saya sedang ada di Muara Wahau.. hahaha