Jan 30, 2009

No Network Coverage

Today on my journey:

No Network Coverage


Muara Wahau, 30 Januari 2009

No Network Coverage...
No Network Coverage...

Hampir sepanjang hari display hp menunjukkan status dengan tulisan tersebut diatas. Menyebalkan!

Pegal rasanya menanti sinyal HP naik dari nol bar. Jangankan full... bisa dapat 2-3 bar saja sudah bagus. Kalau sudah begini, rasanya seperti berada di dunia antah berantah. Jauh dari rumah. Jauh dari keluarga. Jauh dari teman. Dan sama sekali tidak bisa menjangkau mereka, meski pun Cuma sebatas telepon. Bah!!!

Rasanya seperti mau membanting HP tiap kali kemarahan sudah mencapai puncak karena menanti sinyal yang ditunggu-tunggu seringkali nggak datang ketika diharapkan. Ya, mau marah! Marah pada perusahaan yang tidak mau menyediakan fasilitas memadai untuk mereka –saya dan teman-teman– yang ditempatkan jauh dari sanak keluarga. Terutama fasilitas komunikasi. 

Di jaman yang katanya komunikasi sudah segala-galanya, masih saja kita kesulitan karena minimnya fasilitas. Perasaan marah yang berasal dari rasa kecewa, kesal, frustasi yang menumpuk dan bercampur aduk. Bagaimana nggak kecewa kalo saat kita ingin menghubungi orang rumah, mendengar suara orang-orang yang kita cintai yang kita tinggal jauh disana, ternyata sulit. 

Bagaimana nggak kesal karena seringkali melihat HP nggak bedanya seperti melihat batu, karena nggak bisa dipake. Dan frustasi, menanti-nanti sinyal HP nggak naik-naik dari level 0. No sms, no call, no gprs.. nothing!

Paling marah tiap kali lihat iklan di TV yang ditayangin oleh para provider sialan itu.
Mana XL yang katanya nyambung terusssss???
Mana Indosat yang katanya Sinyal Kuattt???
Mana Telkomsel yang katanya Puassss??? 

Puasss????

Hah!!! Kampretttt!!! 

Punya 3 sim card semuanya sama saja. Tiap kali hujan turun dikit, HP mendadak jadi bloon! Percuma pake HP 2 on. GSM-GSM 2 On... Nyatanya tetep aja.. O’on. Dasar provider sialan. Mana BTS yang katanya menjangkau seluruh kecamatan dan desa2??? Huh, iklan sialan. HP sialan. Network Sialan!

Tapi, sayang juga mau melempar HP itu seperti batu. Biarlah, saya akan tunggu sampai sinyal normal kembali. Sampai tulisan di display yang menyebalkan –No Network Coverage– itu hilang dan berganti sinyal yang mudah-mudahan bisa datang sampai mentok! Tok.. Tok!!!

Huh.. No Network Coverage.. Tulalit.. tulalitttttt!!!

Kangen

Today's on my journey:

Kangen


ramz.jpgMuara Wahau, Jumat, 30 January 2009

Ini hari ke 18 sejak aku meninggalkan Ciledug. Disinilah aku, masih berkutat dengan masalah pembebasan lahan di desa Bean Heas, Kecamatan Muara Wahau. Aku nggak tahu kapan masalah pembebasan lahan ini selesai. Terutama pembebasan lahan-lahan bersertifikat milik warga Bean Heas dan Diak Lay, nama dua desa dimana wilayah KP (Kuasa Pertambangan) tempat perusahaanku bekerja ini berlokasi. 

Begitu banyak masalah menghambat pekerjaanku. Ya, orang-orang desa yang masih kekeh mempertahankan tanahnya dengan harga yang gila-gilaan. Ya, kesulitan cash flow yang dialami perusahaan. Ya, orang-orang lokal yang sepertinya sering menatapku ketika aku memasuki wilayah mereka dengan tatapan curiga. Belum lagi jika mereka dalam kondisi mabuk tiap kali malam turun di desa tempatku menetap saat ini.

Beberapa hari belakangan, Memey, Romi, Raka dan terutama Bony, menanyakan kapan aku akan pulang. Sesuatu yang aku belum bisa jawab. Andai bisa, betapa ingin saat ini juga packing barang-barang dan meninggalkan tempat ini, kembali ke Ciledug. Kembali ke rumah yang sering berantakan, ramai dengan celoteh anak-anak. Kembali menikmati ranjangku yang empuk dan hangat! 

Hampir 6 bulan terakhir ini aku kehilangan moment-moment berharga dan menyaksikan kenakalan anak-anakku sehari-hari. Sesuatu yang ternyata malah membuatku kehilangan mereka saat ini. Aneh rasanya tiap kali kembali ke rumah setelah menghabiskan waktu sebulan lebih di Muara Wahau dan mendapati anak-anakku semakin besar. Memey bukan lagi anak usia 5 tahun lebih seperti ketika kutinggalkan bulan Agustus lalu. Raka tiba-tiba mulai terlibat dengan kenakalan anak-anak remaja usia belasan, anak SMP yang mulai mengenal apa itu membolos, karena keasyikan dan ketertarikannya dengan internet, game online, facebook, dll. Anak itu tiba-tiba bukan lagi anak kecil yang dulu bisa kukendalikan hanya dengan pelototan mata. Dan mulai seringkali berdusta, membohongi aku dan Bony. Dari rumah berangkat setiap hari, namun diujung jalan berbelok memasuki warnet langganannya dan asyik dengan dunia barunya dan tidak perduli dengan sekolah. Menganggap itu adalah sesuatu yang biasa, bukan suatu kesalahan yang menurutku sangat serius. Dan Romi, anak itu memang masih polos dan lugu dengan kekanak-kanakannya, yang belum bosan meminta aneka mainan yang selalu berhubungan dengan robot-robotan atau karakter-karakter seperti yang ada di game atau film-film animasi saat ini, entah itu Naruto, Ben-10 atau entah apalah yang lainnya yang aku sendiri nggak begitu paham. Anak kelas 4 SD itu masih saja asyik dengan dunia mainan, Hokben dan Pizza Hutnya.

Tiba-tiba aku kangen mereka semua.

Siang ini pulang dari Jumatan, di mesjid yang harus aku tempuh kurang lebih 30 menit dengan Ford Ranger 4x4 (karena jalan yang harus kulalui tak mungkin ditempuh dengan kendaraan biasa), sepanjang jalan mataku terpaku pada deretan tanaman pakis, ladang padi, kebun sawit, dan tetumbuhan lain yang begitu hijau dan lebat mengisi sepanjang kiri dan kanan jalan yang kulalui. Hampir tak kupedulikan obrolan dan candaan teman-teman di sebelahku. Mataku memang tertumbuk pada lebatnya tanam-tanaman itu, tapi sebenarnya pikiranku pergi jauh melayang ke Ciledug. 

Sempat terpikirkan olehku, alangkah jauhnya jarak yang terpaut antara aku dengan Bony dan anak-anakku saat ini. Jauh. Memang tidak seberapa jauh dibandingkan dengan mereka para TKI yang mesti berjuang bertaruh nyawa bekerja di jalur Gaza seperti seorang TKI yang baru-baru ini diekspos di televisi (aku kadang berpikir, bisa-bisanya mereka pergi sejauh itu dan terpisah dari keluarga dan orang-orang tercinta). Tapi setidaknya cukup membuatku merasa tidak berdaya merasakan jauhnya jarak yang memisahkan kami saat ini. 

Berada di bagian pelosok sebelah utara dari bagian timur Kalimantan ini, membuatku merasa seperti berada di negeri yang asing. Nuraniku menolak keberadaanku disini. Dan kesadaranku seperti melukiskan suatu ironi yang selama ini tak pernah ada dalam pikiranku, dalam angan-anganku, bahwa hari ini aku harus berada jauh dari mereka, demi untuk menghidupi mereka. Bahwa aku harus jauh dari mereka, untuk mewujudkan apa yang kucita-citakan terhadap masa depan anak-anakku, bahwa mereka suatu saat harus mandiri, merantau menapaki jalan mereka sendiri, bahkan meski mereka harus meninggalkan kami, aku dan Bony, agar mereka menjadi orang-orang yang berhasil. Orang-orang yang berilmu dan memiliki derajat kehidupan yang baik dan tinggi. 

Ironis karena selama ini aku sering mengatakan pada Raka, Romi dan Memey bahwa suatu saat mereka akan terpaksa meninggalkan orang tua mereka demi untuk menuntut ilmu. Dan jika suatu saat mereka harus bertebaran di muka bumi ini dan meninggalkan aku dan Bony, karena profesi mereka kelak, aku selalu mengatakan kepada mereka bahwa mereka harus menjalankan itu semua. Seperti yang sering kukatakan kepada Raka, betapa aku ingin ia menjadi seorang dokter, Romi yang engineer dan Memey si calon dokter gigi.

Barangkali inilah yang sering dikatakan orang dengan pengorbanan. Bahwa aku harus mengorbankan kebersamaan dan kedekatanku dengan Bony dan anak-anak, agar aku bisa memberikan mereka kehidupan yang layak. Menyiapkan sesuatu untuk masa depan mereka kelak, seperti apa yang aku dan Bony inginkan tentang masa depan mereka. Meski sebenarnya bukan aku semata yang mengorbankan apa yang kusebutkan barusan, melainkan juga Bony dan anak-anakku, pun harus berkorban dengan cara kehilangan aku untuk sementara waktu.

Pulang dari Jumatan, aku tidur siang. Entah kenapa rasa kantuk menyerangku tanpa dapat kutahan. Dan, dalam tidur aku memimpikan Bony dan Memey. Mimpi yang, barangkali kenikmatan yang diberikan Tuhan kepadaku, sedikit banyak membuat kangenku pada Memey sedikit terobati. Namun sialnya kembali meruak ketika aku sadar itu hanya mimpi. Dan aku menyesal ketika aku terbangun sore harinya, menyadari pertemuanku dengan Memey dan Bony hanya sebatas mimpi. Sia-sia aku kembali merapatkan mataku agar bisa kembali tidur dan meneruskan mimpi yang sempat terputus. Aku belum sholat ashar padahal siang hampir menghilang. Bergegas aku bangkit dan membasuh wajahku. Berharap air wudhu ini bisa memberiku kesegaran dan setidaknya mengenyahkan kangen yang menyerangku bertubi-tubi. Kangen pada Bony istriku, dan Memey, Romi serta Raka anak-anakku.

Dan kangen ini berbuah kedekatanku pada Tuhan.