Jan 25, 2008

Another Solitude

Today on my blog:

Seperti biasa aku menghabiskan malam ini dengan mata masih terbentang lebar. Aku nggak bisa tidur. Meski tubuhku telah berulang kali mengajakku untuk segera beristirahat dan tidur yang ditandai dengan menguap beberapa kali, namun mataku masih tak bisa lepas dari layar kaca. Aku nggak tahu persis apa yang sebenarnya kucari dari layar kaca tersebut. Acara demi acara berlangsung tanpa bisa kunikmati. Tanganku sibuk menekan-nekan tombol mengganti-ganti channel di tv berusaha mencari sesuatu yang menarik untuk kusaksikan. Tapi seluruhnya terasa hambar, tak ada satupun yang mampu menarik minatku untuk kutonton. Namun demikian, aku tetap tak bisa melepaskan diri dari layar kaca itu.



Meski mataku menatap nanar, namun sesungguhnya pikiranku tak ada disana. Aku nggak tahu apa yang kupikirkan. Aku nggak sepenuhnya menyadari apa yang kusaksikan. Mataku mungkin menelan bulat-bulat apa yang terpampang di layar kaca itu, tapi pikiranku seperti menolak seluruh informasi yang ditangkap mataku dan disalurkan ke otakku. Sepertinya semua yang kusaksikan seolah menguap begitu saja. Tak ada satu pun yang dapat kucerna.



Tapi aku tak juga beranjak menuju peraduan. Tak juga ingin tidur. Meski tubuhku lagi-lagi mengajakku untuk terlelap. Entah apa yang menahanku untuk tidur. Barangkali sadarku pun menginginkan agar aku segera tidur, tapi lagi-lagi entah apa yang ada dalam diriku, sesuatu menolak keinginanku untuk tidur.


Bosan. Jemu. Bingung. Aku lelah. Sungguh amat lelah. Ada sesuatu yang sakit di bagian pinggang belakang, sesuatu yang seharusnya menjadi alasan agar aku segera beristirahat. Dan sesungguhnya aku memang harus segera tidur, karena jika tidak pasti besok pagi aku akan bangun pagi kesiangan, padahal beberapa kerjaan kantor yang sangat penting menungguku besok pagi. Aku harus berangkat pagi-pagi sekali. Ada agenda penting yang bakal menentukan masa depan perusahaan tempatku bekerja. Tapi aku tak punya keinginan sama sekali untuk masuk kamar. Menikmati bantal-bantal yang empuk, kasur dan selimut yang lembut, hawa kamar yang sejuk dan.... istriku yang hangat dan tertidur pulas!


Aku blank. Benar-benar blank!


Kunyalakan kembali laptopku dari tidurnya (karena belakangan aku hampir tidak pernah benar-benar mematikannya, melainkan membiarkannya standby). Karena aku tak sabar untuk membuka layarnya, dan segera terjun membenamkan diriku ke dalam duniaku. Entah apa namanya. Dunia yang didalamnya aku bisa berteriak, bisa bicara apa yang kuinginkan, bisa menangis bebas, bisa mengeluh... apa saja. Terutama bisa mengeluarkan segala hiruk-pikuk, carut-marut, kacau-balau dan entah seribu macam hal-hal yang ingin semuanya kubuang... kukeluarkan, kuhempaskan, kuenyahkan jauh-jauh... habis tuntas seluruhnya tanpa sisa... dari benakku.


Menatapi layar putih kosong di laptopku aku seolah menemukan tempat untuk mengeluarkan semuanya. Layar ini seolah menjadi tempat penampungan, dump site, dari semua hal yang ingin kubuang. Tapi tidak seperti halnya tempat sampah yang menjijikkan dan selalu dihindarkan orang karena entah baunya atau pemandangannya yang tidak mengenakkan, layar putih atau tempat penampungan -kukatakan saja tempat sampah- ini seperti terapi dari semua kekusutan, kekalutan, ketak-mengenakan, ke-Aaaarrrggggggggggh-an, dan segala macam tetek-bengek yang aku tak bisa menyebutnya karena tak ada dalam koleksi kosa-kataku, yang pada akhirnya selalu saja bisa memberikan terapi ketenangan batinku.


Ketenangan batin? Ah, barangkali itu yang tengah kualami. Batinku begitu kacau. Batinku begitu bergejolak. Entah apa penyebabnya. Ruang tengah yang kosong dan hening ini barangkali menjadi obat paling mujarab. Ibu dari segala kesunyian, yakni malam, juga barangkali tempat yang selama hampir bertaun-taun ini tak pernah lagi kudatangi, kunikmati. Begitu lama aku tak menikmati suasana seperti ini.


Sunyi.
Sepi.
Hening.
Diam.
Bisu.
Redup... bahkan sebagian gelap.


Duniaku yang dulu, bertahun bahkan belasan tahun lalu, menjadi teman setiaku. Sepi yang didalamnya aku, sesungguhnya, bisa mendengar banyak suara. Suara yang terdengar maupun suara yang bisu. Suara yang gaduh bahkan hingga suara yang senyap. Semua terdengar, baik oleh telingaku, atau oleh kekhusyukan sukmaku. Aku mendengarnya. Mendengar berbagai gaung di kepalaku dan entah rintihan atau ceracau yang merambat dari batinku. Aku mampu mendengar semuanya.


Batinku. Begitu kacau batinku. Aku seperti kehilangan sukmaku. Kehilangan sukma yang didalamnya hanya mengenal warna putih. Sukma yang didalamnya terbaring kebaikanku. Sukma yang didalamnya aku letakkan... kecintaan dan ketaatan pada Tuhan. Rabb. Aku lupa bahwa aku memiliki Tuhan dalam kedalaman batinku. Aku lupa bahwa aku memiliki kewajiban dan keharusan. Aku lupa bahwa aku hanyalah setitik debu belah selaksa. Aku lupa bahwa aku bukanlah apa-apa. Bukanlah siapa-siapa. Bahwa aku bahkan nyaris tak ada. Bahwa aku hanya seonggok daging yang memperolah karunia Tuhan berupa seutas atau selembar nyawa. Bahwa tanpanya, aku bukanlah apa-apa. Aku fana. Aku manusia. Aku... aku... aku... ..... .............. entahlah, aku ini apa. Aku hanyalah ’sesuatu’ yang tengah menapaki perjalanan... menghabisi waktu... menjalani peran... berpindah dari satu titik ke titik lain... berubah dari 0, 1, 2, 3... dan seterusnya, berubah dari putih, merah, biru, hitam dan seterusnya... yang semuanya bermuara pada satu kata... ’kematian’.


Bahwa aku hanyalah ’aku’ yang tengah melintasi entah garis, entah bidang, entah lapisan, entah apa pun namanya... dan menuju sebuah pintu. Pintu yang dibaliknya ada dunia yang bernama... keabadian. Sebuah pintu yang menjadi pembatas antara suatu waktu dimana aku melakukan apa pun dengan suatu waktu lain dimana aku harus ‘mempertanggung jawabkan’ apapun yang kuperbuat itu.


Di gelap ini aku tengah duduk, saat ini. Menatapi layar putih yang semakin penuh dengan karakter demi karatker yang terangkai tanpa kusadari menjadi begitu banyak kata yang berubah menjadi bentuk aneka, merupa warna, tentang aku... tentang aku. Dan aku memang tengah berada dalam gelap. Namun aku semakin jelas melihat. Ini gelapku. Gelap yang padanya aku, sebenarnya, bisa melihat banyak hal. Begitu banyak. Gelap yang semakin benderang ketika kupejamkan mataku, dan memampangkan begitu banyak gambar-gambar yang terputar kembali dalam layar putih yang hanya bisa kulihat ketika aku terpejam. Gambar-gambar yang berjalan dan berasal dari titik demi titik ribuan memori dalam benakku. Aku seperti melihatku. Aku seperti menyaksikanku. Aku seperti tengah menatapku. Aku seperti tengah menyaksikan sebuah film tentang keberadaanku.


Jam di laptopku telah menunjukkan waktu pukul 01.42 dini hari.
Dan mataku masih nyalang.


Tapi setidaknya batinku seperti alunan riak laut yang tenang. Lemah gemulai. Lembut melenakan.


Barangkali ini yang kusukai dari sunyi, sepi, hening dan gelap malam hari.


Selalu ada kedamaian, jauh didasar kesunyiannya. Kesunyian yang mana ketika kepak sayap nyamuk terdengar seolah seperti deru mesin mengaung. Ketika decak cicak terdengar seolah seperti langkah-langkah tapak raksasa. Ketika detak-detik jarum jam dinding seolah terdengar seperti detakan palu yang dihunjamkan berkali-kali ke permukaan keras. Ketika helaan nafasku yang paling halus seolah terdengar seperti nyanyian, nyanyian yang mendendangkan rangkaian keluh kesah, untaian yang seolah padanya kuharapkan segala beban terlontar dari dalam diriku, dari dalam ‘aku’-ku.


Ada kesadaran kutemukan.


Sepertinya aku telah beberapa waktu ini menelantarkan diriku, mengabaikan diriku, tak peduli aku, tak mengenali aku, dan membiarkan diriku terjerumus pada kekacauan batinku, dan sibuk membiarkan diriku mencari kesenangan… kesenangan yang padahal sesungguhnya semu. Amat sangat semu.


Ah, sesungguhnya dalam gelap ini aku bisa menyaksikan aku… begitu rindu pada sosok di peraduan itu… istriku. Satu alasan yang lebih dari cukup untuk mengajakku segera menutup laptop ini, menyudahi pelarianku ke dunia ini, menuruti permintaan tubuh ini agar segera terlelap, dan mencari kedamaian lain… sesuatu yang hanya bisa kudapatkan dengan cara… memeluknya erat penuh resap, tubuh hangat istriku yang padanya aku ingin… selalu jatuh cinta!




Ciledug, 25 Januari 2008, 01:55 AM

Cinta Hari Ini

Today's on my journey:


Cinta Hari Ini



Apa itu cinta?

Jika pertanyaan itu kau ajukan padaku bertahun lalu, mungkin aku akan lantas menjawabnya sebagai sesuatu yang lahir karena hukum sebab akibat. Cinta bagiku dulu adalah ketika aku hanya mampu menangkap warna, bentuk, keindahan, kecantikan dan segala yang kasat oleh mata. Cinta yang bagiku lahir dari pendengaran, tawa, kata dan segala suara. Cinta yang timbul karena terkecap dan teraba. Cinta yang timbul ketika tanganku menggenggammu, ketika mataku menatapmu, ketika telingaku meresap suaramu, ketika kusentuh kamu, ketika kupeluk kamu, ketika kita berpandangan, ketika kita berpelukan, ketika kita… menyadari satu sama lain bahwa kamu yang membuatku berdegup kencang dan aku yang membuatmu tersipu… ketika tak sengaja kita bertemu.

Cinta bagiku dulu adalah sesuatu yang indah. Penuh warna. Penuh gelak. Penuh canda, tawa, ria, aneka suka. Cinta bagiku dulu adalah rindu yang seolah membuncah meruyak tumpah ruah tak terbendung ketika kau tak ada, sedetik saja dari mata. Ketika kita jauh. Ketika kita dibatasi oleh ruang dan waktu. Ketika kita tersekat oleh malam, oleh kesibukan, oleh kehidupan masing-masing, oleh sesuatu yang kita kenali sebagai kau adalah kau, aku adalah aku, dan kita masih menjalani hidup sendiri-sendiri.

Cinta bagiku dulu adalah sesuatu yang harus berwujud dalam sebuah perlambangan, entah hati berwarna merah jambu, atau setangkai mawar merah menyala, atau selembar kertas berisi kata-kata berwarna laut biru, atau sebentuk coklat nikmat yang larut lumat di mulut kita yang terkulum sambil senyum, atau sebatang ice-cream Magnum rasa susu berlapis coklat, dan berbagai rasa lain yang terkecap dalam makanan yang lahap, atau sebentuk lambang-lambang yang senantiasa kita kenali dan kita baca sebagai… I LOVE YOU. 

AKU CINTA KAMU. I L U.

Cinta bagiku dulu adalah sesuatu yang kudengar sebagai sesuatu yang merdu mendayu-dayu, sesuatu yang mengalun jauh ke dasar hatiku yang jika tiap kali terdengar selalu saja membawaku ke lembah ingatan yang didasarnya kau ada, sesuatu yang kuikuti dengan siulan atau gumamam penuh nada yang kusebut lagu yang mewakili keberadaanmu dan perasaanku.

Cinta bagiku dulu adalah sesuatu yang harus sempurna.
Cinta bagiku dulu adalah sesuatu yang harus indah, cantik, mempesona.

Namun jika kau tanyakan padaku saat ini, apa Cinta itu sesungguhnya, maka biarkan aku mengungkapkan Cinta itu dengan apa yang kurasakan sebenarnya saat ini, hari-hari ini, selama ini…

Cinta bagiku saat ini adalah sesuatu yang tak bisa lagi kuraba, kukecap, kudengar, kulihat. Cinta bagiku kini bukanlah sesuatu yang harus kunikmati dengan mata, kuresapi dengan telinga, kureka dengan pikiran.

Cinta bagiku kini adalah sesuatu yang ada ketika kuterpejam, nyata ketika kuterjaga. Cinta bagiku kini adalah ketika aku bangun pagi dan meresapi setiap helaan nafas yang masih bisa kunikmati, setiap aliran udara yang masih bisa memenuhi setiap rongga di paru-paruku, cinta yang mampu membuatku tersenyum dan menikmati seluruh rasa yang ada yang mampu membuatku tersenyum ketika aku meregangkan setiap otot-otot yang kaku setelah tidur panjang yang melelapkan.

Cinta bagiku kini adalah sesuatu yang kunikmati ketika bibirku mencecap sejumput rasa yang berasal dari harmonisasi antara rasa panas dan rasa nikmat… atau entah apalah namanya dari racikan kopi yang kau hidangkan di pagi hari. Cinta bagiku kini adalah sesuatu yang ketika kupejamkan mata, seketika aku seperti terhisap dan tertarik oleh satu kekuatan yang melemparkanku pada apa yang kusebut sebagai ‘selimut yang melingkupi seluruh raga dan jiwaku’ dan menghadirkan sesuatu yang kuartikan sebagai ‘aaaahhhhhhh, betapa damainya’. Sesuatu yang melemparku pada dunia yang pada aku ingin seolah tidur, tersenyum, diam… abadi.

Cinta bagiku kini adalah ketika -bukan saat kutatap- ada beberapa makhluk cantik-cantik yang -beberapa tahun lalu rasanya baru saja asyik kudekap erat tidur lelap dalam lilitan ‘bedongan’nya, bayi-bayi merah yang hanya mengenal tidur terpejam, nangis terpejam, mimi susu terpejam dan bahkan ‘eek dan kencing pun terpejam- kini tiba-tiba saja menjelma menjadi sosok-sosok lucu, menggemaskan, pintar, cerdas, patuh, nakal, bandel, cengeng, bawel, keras kepala, iseng yang tak henti membuatku ingin tertawa, baik ketika aku sedang senang maupun ketika aku kesal. Cinta yang merupa pada makhluk-makhluk yang entah apa yang menuntun kita hingga kita memanggilnya dengan kata-kata ‘abang raka’… ‘kaka romi’… dan memey.

Cinta bagiku kini adalah ketika –bukan saat kusentuh- aku melumatmu habis, entah kupeluk, entah ku-apalah namanya itu, atau ketika aku tak lagi merasakan keberadaan diriku dan dirimu yang terpisah oleh jarak dan waktu, karena hakekatnya aku dan kau adalah satu, sejiwa, sebidang, sedetak, sewarna, sehati, serangkum, sejalan, setapak, segejolak, sesunyi, sesenyap, selandai, sedamai, setawa, sepedih, serepot, seruwet, sesuatu… ya, hakekatnya tak ada lagi aku, tak ada lagi kau. Cinta bagiku adalah kita.

Cinta bagiku adalah ini, sekarang, terpejam, tersadar, tertidur, jauh, dekat, terlihat, terpisah… ada. Ada. Sungguh nyata. Terasa. Ada!

Cinta adalah aku.
Cinta adalah kau.

Cinta bagiku kini adalah kita.
Kita adalah cinta.

Ya, Cinta adalah kita. Cinta adalah impian, tujuan, harapan, rasa syukur, doa. Cinta adalah apa yang kupijak. Cinta bagiku kini adalah atap yang melindungi kita dari panas, dinding yang melindungi kita dari angin dan debu. Lantai yang melindungi kita dari keterperosokan dan keterjerembaban ke jurang tak berdasar. Jendela yang membawa pergantian udara. Panas yang mengeringkan. Dingin yang menyejukkan.

Cinta bagiku kini adalah nikmat yang terasa ketika perutku kenyang, nikmat yang lahir ketika perutku perih karena lapar.

Cinta bagiku adalah begitu banyak.
Begitu beragam.

Namun di saat yang sama juga begitu sederhana.

Karena cinta bagiku kini hanyalah sesuatu… yaitu satu!

Cinta bagiku kini adalah… kamu.
Seluruhmu, dan segalamu.


Aku cinta kamu, istriku



Ciledug, 25 Januari 2008, 01:55 AM