Oct 23, 2009

Setelah Hujan


Rinai hujan baru saja mereda, meninggalkan sisa-sisa suara riuh bulir air hujan yang menimpa atap office-mess tempatku berdiam diri saat ini. Layar laptop di hadapanku masih menampilkan halaman-halaman Facebook, salah satu situs yang belakangan ini menjadi langgananku browsing di dunia maya.

Namun sesungguhnya mataku luput memperhatikan apa yang terpampang di halaman tersebut. Pandanganku jauh melayang, menembus dimensi layar di laptopku dan menjelajah ruang demi ruang dalam dimensi pikiranku yang satu demi satu terpampang seperti slide presentasi.

Jarak seperti menjadi tidak berarti ketika pandanganku menjelajahi ratusan kilometer dari Muara Wahau, lika-liku ruas jalan menuju Sangata, naik turun lembah dan ngarai menuju Bontang, kehijauan di sepanjang jalan menuju Samarinda hingga menapaki aspal Bandara Sepinggan di Balikpapan, lalu terbang menuju Cengkareng dan berlabuh di sebuah rumah kecil mungil bersahaja berdinding keramik biru langit. Dengan pekarangan yang gersang hampir tak tersentuh tetanaman. Lalu pandanganku menapaki lantai putih di ruang tamu dan berakhir di sebuah kamar di mana kau berdiri, menantiku. Dengan wajah polos sederhana tanpa pulasan make up menampilkan kulit wajah yang putih berseri, dan senyum khas tiap kali kita bertemu.

Ya, dalam sekejap saja aku pindah ke dalam dimensi dimana kau ada di dalamnya. Dan aku merasakan keharuan yang meruah didesak oleh rasa rindu yang menggelegak memberontak melimpah. Saat ini aku ingin berada disana, di sampingmu. Dan suara tawamu menceritakan apa yang kamu alami seharian ini semakin melengkapi perjalananku, menarikku pergi dari sosok yang saat ini tengah duduk menghadapi laptop yang teronggok menanti jari jemariku bermain seperti biasanya. Sesaat aku kembali dan saat lain aku pergi ribuan mil disana membawa kisah-kisah yang semuanya tentang balutan kekangenan akan sosokmu, sosok yang saat ini begitu ingin kupeluk. Sosok yang saat ini merajai seluruh kesadaranku. Dan menggerakkan jari-jemariku seketika menari-nari lincah menekan tuts-tuts di keyboard menampilkan cerita tentang kita.

Beberapa saat berlalu, rinai semakin mereda dan akhirnya menghilang meninggalkan keheningan seketika. Kecuali sesekali diusik oleh kehadiran serangga yang serenta semarak meningkahi alam yang seketika dilingkupi kesejukan yang selama ini langka terasa. Berbagai macam suara serangga saling bersahutan, namun tak urung tetap menghadirkan keheningan yang harmoni. Damai seketika melingkupi.

Dalam diam aku menikmati kemerduan yang hadir dari ponsel di telingaku. Kau masih sibuk bercerita. Dan aku menikmati setiap detik yang berharga dengan kau ada dalam pikiranku yang terbuka dan segenap mataku yang menutup rapat. Betapa hebatnya rindu ini menguasaiku. Dan malam semakin menyuburkan segenap perasaanku yang menggelembung ini. Seperti pucuk-pucuk bunga yang seketika membuncah disiram hujan yang membawa seluruh berkah. Rinduku menyubur seperti daun-daun yang kembali hijau setelah beberapa hari bahkan minggu tertutup gersang dan debu.

Aku semakin merinduimu.

Dan tak ada lagi yang mampu menahan segenap keinginanku seketika ponsel kututup dan kita mengakhiri pembicaraan kita dengan sebait doa dan harapan agar kita secepatnya bertemu, kecuali menuliskan semua yang terlukis dalam keabstrakkan rasa yang kunikmati saat ini, dengan beberapa bait tentang rindu.

Padamu, perempuanku.

Dan kututup tepat tengah malam ini dengan kesejukan di dada, yang membawaku melangkah kembali ke mess, tempatku istirahat dari kungkungan kesibukan sehari-hariku di perusahaan tambang tempatku merintis masa depan, di desa Bean Heas. Tempat dimana setahun terakhir ini aku terdampar, dan menikmati hari-hari aku menggelepar dalam kerinduan. Rindu padamu, perempuanku.

I love U,

Bean Heas, October 23, 2009