Mar 18, 2005

Apakah Hati Kita (baca: Manusia) Telah Mati?



Seringkali pertanyaan ini mengemuka dalam benakku, tanpa aku mampu menjawabnya dengan suatu jawaban yang pasti. Bahwa hati manusia adalah ibarat sebuah kaca, sedang nurani adalah cahaya yang berpendar di dalam sebuah hati. Jika hati kita bersih, maka nurani akan selalu terdengar dan terlihat. Sekecil apapun bisikan yang terdengar, selemah apapun cahaya yang membias, cahaya hati akan selalu berpengaruh bagi jiwa manusia.

Bahwa dosa dan kemaksiatan adalah ibarat jelaga, yang setiap saat, setiap detik berlalu, akan senantiasa menempel di kaca hati manusia. Jelaga itu akan selalu menempel di kaca hati dari waktu ke waktu menutupi permukaan kacanya hingga memudarkan binar dan kilau cahaya nurani. Membuat kita makin kehilangan kepekaan. Membuat jiwa makin buta akan kebenaran.

Kadang aku bertanya pada diri sendiri, apakah aku mulai kehilangan kepekaan?
Apakah jiwaku mulai kehilangan cahaya?

Bahwa kebenaran tak lagi menjadi jalan yang selalu dapat kuikuti dan kujalani. Jiwaku tak lagi peka terhadap ketidak benaran yang terjadi dan yang kujalani.

Bahwa benar adanya, betapa aku makin terbiasa membaca berita-berita di koran tentang pembunuhan, mataku kerap melahap gambar-gambar 'tidak manusiawi' yang terpampang baik di layar kaca media tivi, dan juga photo-photo di koran yang benar-benar juga mati hati. 

Bahwa begitu banyak berita tentang penderitaan, kepedihan, kematian menimpa mereka-mereka yang tak berdosa, manusia-manusia yang hilang nyawa, hilang harta benda. Di Poso, Papua, Palestina, Irak dan lain-lain. 

Membaca kisah mereka kini tak ubahnya sekedar berita, agar aku tak kehilangan 'kabar hari ini'. Tragedi demi tragedi tak lagi menarik jiwaku untuk semadi dan mengguratkan puisi tentang tangisan hati.

Tragedi tsunami Aceh dan Medan cuma sebatas berita yang membuatku takjub, namun tetap tak membuatku ikut merasakan perih. Kehidupan orang-orang serakah yang nyaris tak pernah berhenti korupsi, pun tak membuatku nyalang dengan amarah menegang. Dekil dan kurus-lusuhnya anak-anak yang tak kenal dosa di setiap perempatan lampu merah, ditempat mana aku sering lewati, pun tak menggerakkan hatiku untuk setidaknya terpaku termangu membayangkan apa yang mereka makan sehari-hari, setidaknya siang tadi, malam ini, dan mengajakku untuk membuka dompet dan memberikan sekedar untuk mereka membeli sesuap nasi. 

Dan, bahkan malam ini aku malah sibuk mengutak-atik channel tv mencari informasi klip-klip terbaru di MTV.

Kadang aku mengikuti arus memustahilkan tentang apa yang dinamakan kesetiaan, dan menerima apa adanya jaman dimana meniscayakan perselingkuhan dan pengkhianatan. Bahwa aku kerap merindui seseorang yang bukan sepatutnya kurindui, meniduri bayangan lain dalam khayali. Padahal selalu hadir bayangan seseorang yang selama ini setia di sisiku menemani. 

Dan nurani makin lemah memberontak. Hati makin kehilangan kepekaan. Jiwa makin mendekati kematian.

Agaknya, aku mulai kehilangan kemurnian kemanusiaanku.


 (Maret 2005)
*Tafakur yang tanpa makna

No comments: