Aug 13, 2007

Kering...

Wanita renta itu duduk termenung. Bibirnya yang mengeriput mengatup. Beberapa gigi yang mulai tanggal dari rahangnya menghadirkan sebentuk pipi yang kempot dengan tulang pipi yang menonjol keras. Rambutnya putih masai tanda jarang tersentuh sisir. Pupil matanya tersembunyi di balik kelopak yang mulai cekung jauh ke dalam.

Dari teras rumah yang telah disulapnya sebagai tempat berjualan gado-gado, dengan atap terpal tertata ala kadarnya, sorot matanya jauh menapaki petak-petak sawah milik warga kampung yang mulai mengering. Ia teringat sumur satu-satunya yang masih menyisakan air di ujung petakan sawah tersebut. Sumur yang hampir sepanjang pagi hingga malam, bahkan sampai dini hari, selalu dikunjungi warga kampung yang mulai mengalami kekeringan. Hampir tak ada lagi air di sumur-sumur di rumah masing-masing. Mereka yang memiliki pompa jet pump mungkin masih bisa merasakan kemudahan untuk memperoleh air. Tinggal memutar keran, dan air pun mengalir ke ember-ember yang siap menampung. Tapi tidak demikian halnya dengan wanita renta itu.

Hampir beberapa minggu belakangan ini, ia, bersama dua anak perempuannya yang tinggal bersamanya, harus berbagi beban membanting tulang mengangkuti air dari sumur di ujung petakan sawah ke rumahnya. Hampir beberapa minggu belakangan ini ia harus mengurangi jatah tidurnya hingga jam 1-2 dini hari, sekedar untuk mendapatkan air di sumur. Hampir beberapa minggu belakangan ini mereka, harus menempuh jarak lebih kurang 250 meter pulang pergi untuk mengisi bak-bak penampungan air di rumah. Jangan harap bisa mendapatkan air dengan mudah jika harus melakukannya di pagi atau sore hari.

Kekeringan tahun ini keliatannya bakal lebih parah dari tahun kemarin. Tahun lalu mereka masih mampu memesan air dari mobil-mobil tangki penjual air bersih dan mengisikannya ke toren. Tahun lalu mereka masih mampu membayar untuk itu, atau setidaknya mengupah orang –laki-laki yang masih kuat tentunya—untuk mengisikan bak-bak air mereka. Tapi tidak untuk tahun ini. Disamping harga-harga yang makin melambung akibat kenaikan harga BBM dan lainnya, wanita renta itu pun makin kehilangan sumber penghasilannya yang nota bene pemberian jatah belanja dari anak-anaknya.

Salah satu anak lelakinya yang paling bungsu, baru saja kehilangan hampir 3 bulan berjalan ini. Jangankan memberinya jatah rutin Rp 500 ribu per bulan, bahkan untuk belanja keluarganya sendiri pun, anak bungsunya itu mengalami kesulitan. Dan wanita renta itu cukup tahu diri untuk tidak terlalu memberatkan anak bungsu yang sangat disayanginya. Apalagi jika mengingat cucu-cucunya yang lucu-lucu, sungguh, tak tega rasanya untuk meminta lagi ke anaknya.

Anak laki-lakinya yang lain, pun hanya mampu memberinya ala kadarnya. Belum lagi Tanti, anak perempuannya yang dulu tinggal bersama suaminya di seberang pulau, kini harus tinggal bersamanya membawa dua anaknya yang masih kecil-kecil.. dengan status yang selama ini tak pernah ada dalam benak wanita tua itu… janda. Ya, kini ia memiliki dua orang janda yang tinggal bersamanya. Tiga orang semuanya, termasuk dirinya sendiri… menjanda sejak ketujuh anaknya masih hijau plus satu anak yang masih dalam kandungannya.

Ingin sesungguhnya ia menangis memikirkan nasib anak-anaknya. Dimasa renta yang seharusnya ia habiskan dengan tenang sambil bermain dengan cucu-cucunya, ternyata ia masih harus memikirkan nasib anak-anaknya. Bahkan tak sempat ia memikirkan nasibnya sendiri. Hampir tak sempat ia memikirkan betapa tubuh tuanya yang hampir mendekati usia 75 tahun itu, telah penat menjalani kehidupan. Kehidupan yang hampir sepanjang hayatnya hanya mengenal kata ‘penderitaan’.

Ya, ingin ia menangis. Namun seperti halnya kekeringan yang melanda petak-petak sawah di hadapannya, air matanya pun telah kering tak bersisa. Mata renta itu tak mampu lagi meneteskan air mata sebagai tanda kepedihan. Tidak. Karena perjalanan yang panjang telah mengeringkan kantung air matanya. Tangis itu pun hampir tak tampak lagi di wajahnya yang serupa karang, bahkan di jiwanya yang kini sekeras tanah getas. Kering, gemerontang, padas.. namun rapuh.


(Parung Panjang, Agustus 2007)

No comments: