Aug 10, 2007

Suatu sore di rest room, selepas jam kerja...

Entah apa yang dia pikirkan tiap kali dia berkaca. Sesekali nafasnya terhela, panjang.. dan mendesah. Sepertinya ia berusaha menarik segala beban yang ada dalam dirinya dan berharap serta merta keluar bersama udara kotor yang ia hembuskan, berharap beban itu ikut larut bersama udara dan dibekap dalam kesunyian ruang. Ruang sunyi yang hampir tak ada suara apa pun yang terdengar, selain desah nafasnya.

Entah apa yang dia pikirkan tiap kali dia menatap wajah dihadapannya. Sorot mata yang hampir kosong, mewakili jiwanya yang juga kosong melompong. Seperti tak ada yang tertinggal dalam jiwanya. Entah, dia hampir tidak bisa menemukan jawaban gerangan apa yang tertinggal dalam jiwanya saat ini. Karena ketika dia bertanya, hampir tak ada jawaban yang bisa ia temukan. Sorot mata di cermin itu pun seperti enggan beradu pandang dengan matanya yang menatapi wajahnya sendiri di cermin. Ia, bahkan hampir tak mampu lagi mengenali bayangan di cermin itu. Bayangan itu seperti tenggelam, ditelan kenangan yang memenuhi benaknya dan yang lalu menyerupa wujud yang nyata.

Mata itu seperti mencari sesuatu untuk menghidupinya. Sesuatu yang bisa menyalakan api yang hampir padam. Sesuatu yang bernama asa. Asa. Masih adakah kata itu dalam kamus hidupnya? Entah asa, atau mimpi. Barangkali bermimpi pun ia tak punya asa lagi untuk itu. Harapan untuk bermimpi. Mimpi apa? Mimpi apa lagi yang bisa ia hadirkan dalam hari-hari belakangan seperti ini.

Mimpi sepertinya telah tergerus oleh masa lalu yang tak bisa ia pungkiri, sebuah sesuatu yang pahit. Mimpi-mimpi yang tak pernah bisa ia wujudkan. Mimpi-mimpi yang selalu saja terganggu oleh kenyataan akan hidup yang ia jalani sekarang. Kenyataan hidup tentang dirinya, tentang saudara-saudaranya dan terutama tentang ibunya.

Wajah itu menegang, mengejang. Seperti menahan kepedihan yang seolah tak pernah berujung namun selalu saja berpangkal. Kepedihan yang seperti anak-anak sungai, menyatu dan menjadi sebuah sungai yang besar. Dan bermuara pada sebuah laut. Dan, laut itulah yang ia rasakan kini. Karena ia adalah lautan kepedihan bagi orang-orang yang tengah ia pikirkan. Lautan kepedihan yang baginya sudah menjadi tugasnya untuk menguapkan semua kepedihan itu, mengenyahkan dan meleburkannya pada matahari yang membakar. Beban itulah yang membuatnya mengejang. Kaku. Membatu, jiwanya. Dan seperti laut, bergejolak benaknya.

Dan ketika ia tak mampu menguapkan seluruh beban yang dibawa anak-anak sungai yang ia terima di muara pikirannya, ia seperti merasakan bahwa sebagai lautan ia gagal. Sedang anak-anak sungai itu begitu deras membawa arus, dan mengalirkannya semua... padanya. Sedang, ia tak pernah tahu kemana ia bisa meneruskan arus-arus itu. Tak ada lautan yang bermuara ke sungai. Tak ada arus yang bisa ia telusuri, selain berlari menuju panasnya matahari.

Maka ketika ia ingin lari, rasanya tak ada tempat yang paling diminati selain menenggelamkan diri di kedalaman dan kegelapan laut yang tak berdasar. Di tempat itulah ia seringkali bersembunyi. Tempat yang hanya menawarkan sesang bisu dan sepi. Tempat yang tak ada satu pun ia bisa mengajak entah itu sesuatu.. atau seseorang.

Kecuali satu orang yang ia seringkali mengajaknya berbicara, atau setidaknya saling bertatap mata meski saling diam. Ya, wajah mematung penuh kekosongan di dalam cermin yang sejak tadi ia pandang. Wajahnya yang mengejang tegang!!!



in da rest room, after office hour...

No comments: