Muara Wahau, 10 Agustus 2008
A week in Ben Heas, new experience...
Seminggu di desa Ben Heas ini, ada sedikit perasaan yang mengusik hati saya. Desa ini begitu tenang. Waktu seperti berjalan di tempat. Siang memang panas terik menyengat. Dari tempat saya menetap ini, langit seperti terlihat begitu luas. Sejauh mata memandang, yang ada hanya hamparan tanah datar tertutup kehijauan. Entah itu belukar, pohon-pohon berpokok sedang tingginya, hamparan padi yg tumbuh di ladang, atau hamparan tanaman sawit yang rupanya menjadi bagian utama dari kehidupan masyarakat di wilayah ini.
Hampir tak ada penghalang pandangan seperti halnya bangunan-bangunan tinggi di Jakarta, hingga ke manapun saya memandang, saya hampir bisa melihat cakrawala. Ke manapun saya memandang, langit seakan membentang luas dan jatuh di garis cakrawala nun jauh di sana. Begitu luasnya.
Saya ingat, sepanjang perjalanan Sangatta - Wahau, saya memang menemui area perbukitan. Bukit yang hijau. Hijau, memang. Namun, hampir di tiap titik kehijauan itu saya bisa melihat begitu banyak pokok pohon yang entah mengapa, seperti mengering tak ada lagi cabang-cabang dan dahan tersisa, hingga tak ada lagi daun-daun yang menaungi. Agak sulit saya mengungkapkan dengan kata-kata. Melihat batang-batang pohon kering yang sedang tingginya itu seperti melihat seorang tua renta yang kurus ringkih, tinggal menunggu waktunya tumbang.
Memang itu yang saya lihat.
Informasi dari beberapa orang yang saya temui, wilayah ini dulunya adalah rimba yang mengandung kekayaan tumbuhan hutan, dengan pohon-pohonnya yang kekar besar dan tinggi menjulang menebarkan cabang-cabangnya yang rindang penuh dedaunan. Tapi itu dulu. Beberapa perusahaan HPH dan perkayuan telah habis melahap hampir semua pohon-pohon meranti, ulin dan lain-lain, hingga tinggal menyisakan hamparan semak belukar tak berarti. Tak ada lagi kekayaan yang bisa dinikmati masyarakat asli sini.
Dan kini, saya datang dengan tugas yang di satu sisi menuntut keberhasilan agar perusahaan saya bisa segera melakukan aktivitasnya, namun di sisi lain saya sadar, bahwa apa yang saya kerjakan akan menghasilkan satu dampak lingkungan baru yang lebih parah. Mungkin! Saya tiba-tiba seperti melihat hamparan wilayah seluas 12,100 ha ini seketika menjelma menjadi undakan-undakan berukuran raksasa, dengan kubangan yang juga berukuran raksasa menganga.. Dengan sapuan warna tanah merah dan bongkah-bongkah berwarna hitam.
Ya, tak berapa lama lagi tempat ini akan berubah menjadi area penambangan batu bara. Melibas habis semua yang hijau menjadi area terbuka dimana ratusan alat-alat berat seperti Dump Truck, Excavator, Wheel Loader dan ratusan lainnya berseliweran mengambil semua yang ada di perut bumi... Batu bara!
Ya, dalam hitungan 2-3 tahun lagi tempat hijau yang asri dan hening ini akan segera terusik oleh panas dan kebisingan dari raungan gemuruh alat-alat berat yang akan segera didatangkan dari mana-mana. Seperti halnya pit-pit di Sangata, Muara Bengalon, Berau... dimana perusahaan-perusahaan raksasa seperti KPC habis-habisan mengeksploitasi alam ini, mengambil kekayaannya dan menyisakan kesibukan masyarakat dan warga lokal penghuni wilayah ini turun temurun, pindah ke daerah lain.. Relokasi. Sesuatu yang sejak awal saya sadari akan sangat mungkin terjadi. Sesuatu yang menyisakan pertanyaan di benak saya, bagaimana mereka nantinya jika kelak terkena program relokasi.
Setiap saat saya berpapasan dengan sisa-sisa masyarakat suku dayak Whe Hea, selalu saja timbul rasa bersalah. Bahwasanya, tak lama lagi mereka akan kehilangan tempat tinggalnya yang sekarang mereka diami. Mereka akan kehilangan lahannya yang meski belum mereka miliki secara hukum positif, namun secara hukum adat dan turun temurun telah lama mereka diami.
Maka, ketika saya mengikuti acara Adat Melas Bumi, suatu acara adat yang diadakan dimana sub-kontraktor akan memulai kegiatan drilling minggu depan, ada perasaan teriris. Seperti halnya ketika sang ketua adat mengiris leher ayam dan babi sesembahan sambil membaca mantera dengan lantang ditujukan kepada arwah leluhur dan para penghuni gaib di hutan tempat mana titik bor ditentukan, hati saya seperti teriris menyaksikan moment-moment yang baru kali ini saya saksikan dan mungkin tidak akan ada lagi moment yang berasal dari tradisi seperti ini, suatu hari nanti. Perasaan teriris menyaksikan bahwa saya mungkin akan menjadi bagian dari hilangnya tradisi ini, jika perusahaan memulai kegiatan penambangannya di desa ini.
Dan diantara perasaan ngeri dan merinding, sejumput rasa sedih menyeruak mendengarkan sang Ketua Adat terus menyanyikan untaian jeritan pedihnya, untaian doa-doa yang memohon keselamatan dari sang Maha Kuasa dan arwah para leluhur.
Seminggu saya disana, wajah-wajah mereka melekati benak saya seakan jauh sebelum ini saya menjadi bagian dari mereka. Wajah yang menerima saya dan tim pembebasan lahan dengan tangan terbuka.
No comments:
Post a Comment