Aug 24, 2006

Today's on It's Me...


Lembang...

Tiap kali aku menjejakkan kaki di desa ini, aku selalu hanyut dalam kenangan masa kecil. Kembali ke satu sosok seorang anak kecil kurus dan ringkih, berambut cepak dengan jambul ala tentara di depan, dengan wajah yang melulu belepotan debu bercampur keringat.

Udaranya yang masih dingin seperti dulu, airnya yang selalu saja membuatku seakan mengkerut tiap kali aku mandi di pagi buta, tanahnya lempung dan getas dan udaranya yang sesekali menebarkan aroma timbunan kotoran sapi yang diubah menjadi pupuk. Ya, desa kecil ini memang tak pernah berhenti menghasilkan susu murni hasil peternakan sapi yang hampir dimiliki setiap keluarga disini. Apalagi, peternakan itu persis berada di hadapan rumah yang dulu milik kakekku.

Rumah ini dulu begitu asri. Sebuah rumah panggung yang luas untuk penghuninya yang terdiri dari beberapa keluarga, termasuk ayahku. Dindingnya bilik bambu. Tanahnya lembut dipijak. Aku kerap meluangkan waktu kanak-kanakku dengan bermain gundu. Kini rumah panggung itu tak ada lagi. Pemilik rumah yang sekarang, bibiku, dan kemajuan yang turut dinikmati masyarakat desa ini, telah menyulap rumah panggung ini tak ubahnya rumah di kota-kota. Rumah berdinding bata dan berlantai keramik. Dan pekarangan tempatku bermain gundu itu pun tak ada lagi. Sebagian berubah menjadi teras semen dan sisanya berubah menjadi rumah-rumah milik orang lain, karena kepemilikan tanah telah berganti.

Tak ada lagi anak-anak yang berlarian memainkan pelek roda sepeda ontel yang digelindingkan dengan sebilah bambu, atau anak2 perempuan cilik yang bermain lompat tali. Tak ada lagi tangan dan muka-muka cemong yang asik bermain gundu. Karena anak-anak sekarang ini lebih suka menghabiskan waktu di depan kotak ajaib yang bernama Play Station, baik di rumah masing2 atau di rental PS.

Sebagian, memang, masih ada yang tak berubah. Pemandangan alamnya! Letak rumah peninggalan kakekku yang persis berada di tengah lereng bukit, menghadirkan pemandangan yang tak pernah henti-hentinya kukagumi. Siang dan malam, pagi dan sore hari.

Pagi dan sore hari, dari loteng rumah ini aku bisa menikmati matahari yang memanggang sisa-sisa kabut, menyembul dari balik gunung Tangkuban Perahu yang menjulang mengoyak tebaran awan. Jalanan yang menurun dan berliku menjadikannya serupa ular yang meliuk-liuk, berwarna keperakan memantulkan cahaya matahari.

Memandang ke sebelah kiri, ke arah barat, cahaya matahari seakan merayapi punggung bukit, yang sering disebut penduduk sekitar dengan panggilan Gunung Putri, dan menghijaukan undakan-undakan ladang jagung, sawi, tomat dan tanaman lain yang dibudidaya para peladang dan petani. Dulu aku sering mendaki bukit ini, berpacu dengan kakak2ku. Seperti tak ada bosan kami mendaki hingga ke puncaknya, karena dari puncak bukit itu jiwa kekanakanku merasa seakan aku tengah berada di atap dunia. Menikmati mobil yang bergerak perlahan dan terlihat kecil bahkan lebih kecil dibanding kotak korek api. Lalu aku berlari menuruni lereng bukit. Tak ada keriangan yang bisa melebihi ketika aku berlari menuruni lerengnya yang curam. Asik sekali.

Malamnya adalah romantika alam yang terang bermandi cahaya lampu. Tak ada kata lain untuk melukiskan apa yang kulihat, selain.. indah. Begitu indah. Bahkan sampai hari ini aku masih saja berdecak kagum menikmati keheningan yang bertabur cahaya lampu di kejauhan itu.

Dan beberapa ratus meter dari rumah yang kusinggahi ini, terdapat sebidang tanah tempat makam keluarga. Di sanalah terbaring jasad ayah yang telah lama meninggal, ketika aku masih ingusan dan belum lagi dikhitan. Sosok ayah yang tak sepenuhnya kukenali. Waktu yang demikian singkat untukku mengenal ayah, meninggalkan kenangan yang tak begitu banyak. Jika bukan karena foto-foto peninggalan beliau, barangkali aku tak begitu hafal seperti apa wajahnya.

Selalu ada keharuan tiap kali aku berdiri di pusaranya. Seperti hari ini. Aku, ibu dan saudara-saudaraku, serta pasangan dan anak-anak kami masing-masing berkumpul di hadapan pusara ayahku. Entah apa yang ada dalam pikirannya atau siapa yang mempengaruhinya, si kecil Mey-mey sejak beberapa terakhir memang selalu saja merengek ingin ’melihat’ kakeknya.

”Mey-mey mau lihat kakek. Mey-mey sedih nggak punya kakek,” rengeknya dengan mimik yang membuatku trenyuh. Heran, dari mana anak berumur 3 tahun ini belajar mengutarakan perasaannya sampai bisa bertingkah seperti itu.

Dan hari ini, menyaksikannya duduk bersimpuh bersama dengan sepupunya, Nanda dan Sita, dua-duanya balita, membuatku kehilangan kata-kata. Aku, kedua adikku, kakakku tertua, dan ibu, semuanya seakan larut dalam kesedihan yang tak terkatakan. Aku tak mampu mengeluarkan sepatah katapun, hingga aku meminta kakak iparku untuk memimpin doa. Jangankan untuk berdoa, menjawab pertanyaan Mey-mey pun aku tak mampu, ketika Mey-mey bertanya kenapa kakek nggak mau bangun lagi.

”Mey-mey liat di tipi orang kok bisa bangun lagi dari kuburannya, pa?” tanyanya polos. Dan aku Cuma bisa menjawabnya dengan senyuman pahit. Aku peluk anakku lembut, ”kita berdoa aja, ya,” ajakku terbata.

Meski tak ada isak tangis dan air mata, namun aku bisa melihat ibuku larut dalam kesedihan yang mendalam. Ada kerinduan yang begitu jelas terpancar dari matanya, begitu jelas dari gerak-geriknya yang seakan tak puas-puas menuangkan air yang kami bawa dari rumah. Diantara bunga-bunga yang ia tebarkan, aku bisa melihat ia membisikkan, entah doa, atau mungkin dialog –yang hanya dia sendiri yang bisa memahami- dengan pusara ayahku. Kakakku tertua, Ipong, tak mampu menahan keharuannya dan terisak.

Sore semerta membekap kami dengan kesenyapan. Hampir sepanjang perjalanan pulang, ke Jakarta.

No comments: