Sep 19, 2008

Lagu Rindu Yang Lain



Hampir 2 bulan saya menghabiskan waktu di desa Bean Heas ini. Jauh dari berbagai hal yang selama ini tak pernah saya bayangkan akan saya tinggalkan, untuk jangka waktu yang –bagi saya– cukup lama. Ya, tak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa saya akan mengalami jauh dari rumah, jauh dari oran-orang yang saya cintai. My Bony, Memey, Romi, Raka dan my old mom alone serta orang-orang lain yang berarti bagi saya. Betapa saya sangat merindukan mereka.


Meski sms dan telepon tak pernah alpa setiap hari, namun itu semua tak cukup untuk menghapus kerinduan saya akan rumah yang selalu membuat saya menjadi 'homie man' .. senang jadi orang rumahan. Rindu kopi pagi racikan my Bony dan ketelatenannya yang tak pernah bosan selama lebih 13 tahun menyiapkan pakaian di pagi hari, atau menuangkan nasi saat makan malam, meski saya sebenarnya bisa melakukannya sendiri. Ah, saya jadi tiba-tiba merindukan rumah saya yang berantakan karena seringnya anak-anak tetangga bermain di kamar Memey dan Romi. Atau ruang depan yang penuh berseliweran dengan kabel joystick tiap kali teman-teman Raka datang dan berebut main PS2.


Hampir dua bulan saya merasakan 'menjadi orang lapangan', mengalami ritme pekerjaan yang sama sekali jauh dari apa yang biasa saya rasakan selama ini. Begitu banyak 'kesibukan' yang harus saya lalui dengan pace yang anehnya –atau lucunya– berjalan sangat lamban, karena begitulah ritme yang berlaku disini. Waktu yang seakan berjalan di tempat, lingkungan yang sama sekali jauh dari kesan formil, dan interaksi dengan orang-orang desa yang biasa santai, membuat saya sempat merasa gagap untuk beradaptasi.


Sepertinya saya terjangkit penyakit rindu pada hal-hal yang biasa saya jalani di Jakarta. Rindu meja kerja saya yang juga selalu berantakan dengan berbagai berkas yang berserakan. Rindu jadwal kerja yang padat yang membuat saya sering lupa menghitung waktu. Rindu kemacetan jalan yang sebelumnya sering membuat saya selalu menggerutu. Rindu menyalip-nyalip kendaraan ketika saya sedang buru-buru. Rindu suara tak-tuk sepatu ketika saya harus melangkah cepat, beredar dari satu meja ke meja yang lain untuk satu keperluan tertentu, atau sekedar ber-hai-hai ria dengan teman-teman di kantor. Rindu wajah imut sang resepsionis yang rajin melontarkan senyumnya yang berlesung dan manis, dan wajah sangar security yang rajin menyapa saya dengan sopannya, setiap pagi.


Duh, saya jadi teringat mie ayam Sumbangsih dengan baksonya yang legit dan membuat saya selalu memesan ekstra, pun masakan bu Kantin belakang yang menunya ala masakan rumah. Walahh, saya jadi ingat.. saya belum melunasi bon makan yang sudah menunggak sebulan lalu. Hahahaha... Sabar ya, bu. Hm, ngomong soal makan, saya jadi ingat juga dengan kantin di kantor seberang yang suasananya bikin saya betah berlama-lama menghabiskan waktu membaca buku selepas makan siang. Biasanya saya mengambil posisi tempat duduk di bagian beranda dengan pemandangan halaman rumput, dan angin sepoy-sepoy yang membuat daun-daun pohon gemerisik. Kalau sudah begini, tak ada yang bisa membuat saya terusik dan mengalihkan mata dari halaman demi halaman buku yang saya baca. Unless, ceweq2 yang makan di kantin ini yang memang sayang untuk diabaikan begitu saya. Mungkin itu satu hal lain yang sebenarnya, yang membuat saya betah berlama-lama. Hahahaha... Just kidding!


Well, saya harap sebelum Idul Fitri ini bisa tercapai kesepakatan antara saya dengan warga masyarakat disini untuk urusan pembebasan lahan. Saya pikir, mereka mulai sedikit bersikap lunak. Mungkin perlu sedikit sentuhan persahabatan dan negosiasi dari hati ke hati agar mereka bisa menerima penawaran saya, dan merasa yakin bahwa kehadiran perusahaan pertambangan di wilayah mereka tidak akan membawa dampak yang merugikan, terutama dari segi dampak lingkungan.


Barangkali proses negosiasi yang mulai tidak terlalu alot ini juga yang membuat saya sedikit banyak mulai bisa memikirkan hal lain hingga saya terbawa nuansa menjelang Idul Fitri dan membuat saya tiba-tiba ingat semua hal yang saya tinggalkan di Jakarta sana. Yah, pikiran saya mulai kendur dan tak setegang minggu-minggu kemarin ketika proses sosialisasi dan negosiasi awal berjalan, dimana warga masyarakat masih bersikap apriori dan tak menerima kehadiran kami disini.


Ah, tak sabar rasanya menanti pulang... dan menuntaskan segala rindu yang masih menggantung di sana, di bawah langit Jakarta.


Semoga saya bisa segera pulang dan selamat sampai rumah. Semoga...




Bean Heas, 20 September 2008

No comments: