Sep 10, 2008

Keliling Kampung

Mau nggak mau, suka nggak suka, saya harus mulai terjun gerilya dan bergaul dengan masyarakat desa Bean Heas ini satu per satu. Berusaha mengenal mereka orang per orang. Dan sudah beberapa hari ini saya mulai memberanikan diri untuk berkenalan dengan satu per satu diantara mereka. Ya, perlu keberanian untuk bergaul secara langsung dengan mereka. Karena tiap kali berpapasan dengan mereka, selalu saja ada pandangan curiga terpancar dari mata mereka ketika menatap saya. Entah ini hanya perasaan saya sendiri, atau memang itu yang terjadi. Saya selalu merasa ada berpasang mata yang mengawasi gerak gerik saya, tiap kali saya melintas dari satu rumah ke rumah yang lain. Yang lebih membuat saya harus mengumpulkan segenap keberanian adalah, kebiasaan orang-orang laki di desa ini yang selalu membawa 'mandau' atau sejenis parang (golok) yang pernah saya lihat luar biasa tajamnya. Membawa senjata tajam agaknya memang sudah menjadi kebiasaan orang disini. Dan satu kebiasaan lagi yang membuat saya harus ekstra hati-hati adalah, ketika berpapasan dengan laki-laki disini yang sedang dalam keadaan... mabuk! Ya, mereka memiliki kebiasaan minum arak atau alkohol. Di beberapa warung yang saya singgahi, selalu saja ada minuman jenis bir hitam atau 'topi miring' yang dijual secara bebas. Dan bertemu dengan laki-laki dengan mata kemerahan adalah hal yang biasa saya temui disini.

Sebenarnya ada perasaan mendua yang mereka miliki terhadap keberadaan perusahaan di tengah mereka. Di satu sisi mereka merasakan ada manfaat langsung yang bisa mereka nikmati dengan adanya perusahaan di desa Bean Heas ini karena adanya lapangan pekerjaan buat mereka yang biasanya berladang, bertani atau berburu tapi disisi lain mereka memiliki kekhawatiran bahwasanya keberadaan perusahaan akan membawa perubahan yang dapat merugikan mereka, terutama ancaman terhadap lingkungan jika penambangan ini jadi berjalan nantinya. Ancaman akan hilangnya lahan tempat mereka biasa berladang dan bertani, atau musnahnya lingkungan hutan tempat mereka biasa berburu. Berburu merupakan salah satu mata pencaharian tradisional bagi para laki-laki di desa ini, terutama mereka yang masih berpikir secara tradisionil. Berburu juga merupakan satu kebiasaan dan adat yang telah berlaku turun temurun. Dan hilangnya hutan jelas merupakan ancaman nyata bagi mereka. Juga merupakan ancaman bagi keberlangsungan tradisi masyarakat Dayak suku Whe Hea. Itulah yang mungkin memberatkan mereka untuk membiarkan perusahaan penambangan terus melakukan kegiatan dan program-programnya. Namun disisi lain adanya peningkatan perusahaan mereka sadari juga akan membawa lapangan pekerjaan baru yang bisa mereka manfaatkan. Jadinya serba susah.

Satu masalah yang paling mencemaskan saya adalah adanya masalah kepemilikan lahan yang rupanya mulai terjadi saling tumpang tindih, karena kebiasaan mereka melakukan ladang berpindah. Sadar akan adanya nilai kompensasi atas lahan yang akan dibebaskan/dilepaskan hak pengolahannya (secara adat), membuat mereka saat ini mulai saling melakukan klaim kepemilikan dengan harapan mereka akan bisa menikmati nilai kompensasi yang ditawarkan perusahaan. Dan kemiskinan yang saat ini rata-rata menjadi bagian kehidupan mereka, membuat mereka memiliki harapan dan keinginan yang begitu besar akan adanya suatu nilai ganti rugi atau kompensasi yang sangat tinggi. Tidak tanggung-tanggung, mereka mulai 'berani' mematok angka puluhan juta untuk satu lahan kosong atau semak belukar seluas per 1 ha. Kalau mereka bersikukuh mematok nilai puluhan juta untuk 1 ha, betapa banyak yang harus perusahaan keluarkan untuk membebaskan lahan seluas 1,602 ha yang menjadi tugas dan tanggung jawab saya. Sementara perusahaan mengharuskan saya untuk bisa membebaskan lahan di desa Bean Heas ini dengan anggaran yang 'hanya' berkisar Rp 4 – 5 juta saja. Satu perbedaan yang begitu jomplang yang selalu membuat kepala saya pening.

Seperti hari ini. Saya harus memaksakan dan memberanikan diri untuk 'berdialog' dengan satu dua orang diantara mereka. Memang secara umum mereka sudah tahu dan paham tentang tugas dan keberadaan saya disini, yakni pembebasan lahan. Dan saya pikir saya sudah nggak perlu lagi berpura-pura menjadi turis atau melakukan kegiatan 'incognito' berpura-pura melakukan study tentang masalah sosial. Mereka sudah tahu dan paham siapa saya. Orang yang akan mengancam kehidupan mereka di kemudian hari. Ya, memang itulah yang saya rasakan tentang keberadaan saya disini. Jika saya berhasil, setidaknya saya membawa ancaman akan terjadinya perubahan. Perubahan cara hidup dan cara berpikir masyarakat di desa ini. Perubahan adat dan tradisi, jika suatu saat lahan mereka hilang atau tergerus oleh perubahan karena kegiatan penambangan. Satu kesadaran yang sering membuat saya pun berpikiran mendua. Di satu sisi saya merasa terancam akan kelangsungan karir saya di perusahaan jika gagal melaksanakan pekerjaan ini, namun di sisi lain saya merasakan kekhawatiran jika mereka, atau sebagian diantara mereka, nantinya akan merasakan perubahan yang merugikan mereka. Sungguh saya merasa sayang jika mereka sampai kehilangan identitas leluhur mereka, merasa prihatin jika adat istiadat dan budaya yang selama ini mereka pertahankan harus lenyap karena perkembangan kegiatan perusahaan.

Hampir setengah hari saya berkeliling kampung (desa) yang saya saksikan adalah memang benar kemiskinan atau setidaknya kebersahajaan. Rumah-rumah panggung terbuat dari kayu yang hampir sebagian besar dalam keadaan yang memprihatinkan, dengan sebagian besar halaman dipenuhi tanah yang becek, kotor dan hitam. Anak-anak kecil bertubuh mungil yang kelihatan jauh lebih kecil dibanding seharusnya, misalnya seorang anak usia sekolah kelas 5 SD yang tubuhnya lebih mirip dengan anak usia kelas 2-3 SD. Juga saya temui seorang wanita tua berjalan menuju ladangnya dengan tubuh ringkih nyaris setinggi anak saya yang kelas 5 SD. Dan pak Ding Hong, sang Kepala Adat yang matanya mulai disaput lapisan katarak, dengan tubuh kurus dan wajah tirus, memperlihatkan gigi-gigi yang mulai rapuh dan ompong termakan usia. Mau kemana dia jika kehilangan lahannya? Memang iya, ada anaknya yang akan mengurusnya melewati masa tua bersama istrinya yang juga mulai renta. Dan rumah adat yang dia diami, juga tak kalah memprihatikan saya. Rumah panggung berdimensi sekitar 4 meter x 10 meter, ditunjang tiang-tiang pancang setinggi hampir 3 meter itu, mulai memperlihatkan bagian-bagian yang mulai gabug (rapuh) dimakan usia. Lantai-lantai kayu yang disangga balok-balok kayu ulin itu mulai keliatan rekah di beberapa bagian. Pun halamannya yang berlumpur hitam karena dijadikan lahan untuk memelihara hewan, yakni babi. Hidupnya nggak bisa nggak dibilang kurang dari bersahaja.

Dengan kehidupan yang seperti itu, nggak mengherankan jika sebagian besar dari mereka mengharapkan bisa memperoleh kompensasi yang nilainya mendekati seratus jutaan untuk setiap lahan adat yang mereka miliki yang rata-rata tak lebih dari 2 ha luasnya. Mereka yang memiliki lahan sertifikat pun, nggak aneh lagi jika mengharapkan bisa memperoleh ganti rugi atau harga beli mencapai diatas Rp 150 jt. Karena jika mereka hanya memperoleh 5 – 10 juta saja dari lahan sertifikat seluas 2 ha, apalah artinya nilai sebesar itu jika mereka manfaatkan. Membeli motor untuk anak2 muda mereka pun nggak akan cukup.

God, saya nggak tahu sementara ini harus bagaimana. Membujuk atau mengarahkan mereka untuk melepaskan lahannya dengan kompensasi 'hanya' 10 jutaan maksimal dengan konsekuensi setelah uang itu habis mereka akan kembali miskin, atau memenuhi nurani saya memberikan mereka kompensasi yang cukup signifikan agar bisa dimanfaatkan dikemudian hari namun dengan konsekuensi perusahaan harus mengeluarkan dana ratusan milyar yang pastinya akan membuat mereka bisa saja mendepak saya sewaktu-waktu karena dianggap gagal dalam bernegosiasi.

My dear Lord, saya benar-benar nggak tahu harus bagaimana. Membiarkan mata hati saya terbuka, atau membiarkan nurani saya menangis terluka. Please help me to do the best, for all of us.

No comments: