Barangkali cukup lama saya tenggelam dalam kesibukan di desa Bean Heas, kecamatan Muara Wahau, kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, khususnya untuk melaksanakan tugas pembebasan lahan di desa tersebut. Hampir 2 (dua) bulan saya bergelut dengan what so called 'orang-orang lapangan' –rekan-rekan senasib-sepenanggungan yang terpaksa harus hidup jauh (sangat jauh) dari keluarga mereka masing-masing karena harus tinggal dan menetap sementara di site office PT. Tekno Orbit Persada yang merangkap mess (mungkin bisa juga dibilang rumah) ini, bergaul dengan masyarakat lokal dan mengenal mereka secara lebih mendalam, mengenal sedikit dan sekelumit kehidupan masyarakat di desa ini.
Meski tidak begitu banyak kesibukan yang memberikan tekanan secara fisik kepada saya dan rekan-rekan lain disini, namun adanya perasaan jauh dari rumah dan tekanan untuk menyelesaikan pekerjaan tepat pada waktunya dengan budget serendah-rendahnya, memberikan tekanan tersendiri terutama mental dan pikiran saya. Setiap detik yang berlalu seperti siksaan bagi saya karena begitu lambatnya respon warga masyarakat disini terhadap rencana dan sosialisasi pembebasan lahan yang saya lakukan, dikarenakan perasaan enggan mereka untuk merelakan saya membebaskan lahan mereka. Belum lagi berhubungan dengan pemerintah kecamatan yang –karena saya belum terbiasa, tidak bisa saya hubungi dan temui sesuai dengan keinginan saya, karena kesibukannya sehari-hari. Melaksanakan pekerjaan yang tingkat ketergantungannya sangat tinggi dengan pihak lain, memang amat sangat berbeda dengan melaksanakan tugas rutin sehari-hari yang outputnya bisa dilihat dan diukur dengan jelas, seperti pekerjaan marketing atau accounting. Pekerjaan marketing meski memiliki ketergantungan yang cukup erat dengan pasar atau pelanggan, outputnya bisa jelas dilihat dari seberapa besar penerimaan pasar terhadap apa yang saya pasarkan, atau seberapa besar kemampuan penetrasi pasar produk atau jasa yang saya pasarkan. Output yang bisa dilihat tolok ukurnya dengan sangat jelas dari tingkat penjualan, apakah naik atau turun. Accounting juga lebih jelas lagi outputnya, berupa laporan-laporan yang sifatnya kualitatif maupun kuantitatif, sesuatu yang sifatnya periodik. Harian, Mingguan, Bulanan, Triwulan, Semester dan Annual, semua merupakan output yang bisa diukur.
Tapi urusan pembebasan lahan sangat bias. Sosialisasi yang saya lakukan, belum bisa saya ukur dengan jelas. Bagaimana respon masyarakat terhadap rencana pembebasan ini. Apakah mereka menerima atau menolak. Seberapa jauh keberhasilannya. Semua tidak bisa saya pastikan dengan angka-angka. Semua hanya mengandalkan perkiraan. Karena sampai hari ini kenyataannya belum ada sejengkal lahan pun yang sudah bisa saya bebaskan. Semuanya masih menunggu. Meski ada tahapan-tahapan yang telah saya lewati, namun hasil akhirnya tetap belum bisa saya pastikan. Berapa nilai kompensasi yang harus saya keluarkan. Apakah bisa sesuai dengan budget yang disediakan atau syukur-syukur bisa lebih rendah. Atau, yang terparah, bisa saja jauh lebih tinggi dari apa yang dianggarkan.
Namun yang terberat dari itu semua adalah adanya perasaan tidak berdaya menyadari saya sangat jauh dari rumah, jauh dari orang-orang yang saya sayangi dan orang-orang yang menyayangi saya. My Bonny tempat saya biasa melepaskan penat dan lelah setiap saya selesai melewati setiap satu hari dalam kehidupan saya. Anak-anak yang dengan mereka saya biasa bercengkerama bercanda dan menikmati hari demi hari mereka tumbuh dalam kemanjaan. Ahh, betapa saya sangat merindukan mereka semua. Raka yang mulai menunjukkan sosok remajanya, mengingatkan saya pada sosok saya ketika masih remaja dulu. Romi yang memiliki sifat sangat identik dengan saya sendiri, begitu perasa, pendiam dan biasa tertutup pada siapapun, bahkan dengan orang tuanya sendiri yaitu saya dan Bony. Dan Memey si kecil lincah yang sangat mandiri, yang juga mewarisi sifat saya yang terbiasa melakukan apapun sendiri, bahkan menikmati waktu-waktu dalam kesendirian.
Baru kali ini saya meninggalkan mereka untuk jangka yang cukup lama, dua bulan, dengan jarak yang begitu jauh. Barangkali saya memang terbiasa menjadi orang rumahan, dan bukan petualan yang seringkali berpergian, jauh dan untuk jangka waktu cukup lama. Barangkali itu satu alasan yang membuat saya amat sangat jarang melakukan travelling, meski sebenarnya saya menyukai sensasi yang muncul tiap kali mengunjungi satu daerah tertentu, melihat-lihat sesuatu yang baru, menjejak tempat-tempat yang belum pernah saya kunjungi. Terlebih daerah-daerah dimana segalanya masih merupakan sesuatu yang asri, alami dan memiliki nuansa tradisi yang kental. Seperti desa Bean Heas yang saya kunjungi kali ini.
Melihat anak-anak kecil yang polos dengan muka centang perenang kadang dibalut nuansa dekil, seperti memberikan suatu kesejukan tersendiri. Betapa lucu anak-anak yang hidupnya masih sangat sederhana ini. Anak-anak yang mungkin belum pernah melihat majalah Bobo, bacaan Harry Potter atau permainan seperti Play Station. Anak-anak yang mungkin hanya tahu Mall lewat televisi, belum pernah menyentuh Lap top atau PC, atau bahkan camera digital pun merupakan sesuatu yang masih sangat aneh bagi mereka. Entah karena kepolosan mereka atau memang belum pernah mereka alami sebelumnya, menyaksikan betapa wajah mereka bisa terekam di layar TFT camera digital atau handycam, membuat mereka merasa aneh dan tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan wajah-wajah kucal mereka yang penuh ingus dan bekas iler yang mengering, mata yang masih belekan, atau rambut yang merah kusam terbakar matahari. Menyaksikan mereka bercanda dan bermain di lapangan atau mandi-mandi di kali dengan riang, seperti menyadarkan saya bahwa kesenangan dan keceriaan pun bisa mereka, anak-anak kampung ini, nikmati tanpa perlu bermewah-mewah. Tak perlu Time Zone atau arena permainan seperti video game untuk mereka ber-having fun. Karena berlari, melompat, terjun bebas ke kali, berenang telanjang bulat, memanjat pohon, mencari-cari serangga untuk mereka mainkan, pun sudah memberikan mereka kesenangan yang lebih dari cukup. Kesenangan yang bisa mereka alami secara kolektif –bersama-sama dengan teman-teman mereka, sesuatu yang mungkin sekarang makin jarang dijalani oleh anak-anak kota yang makin terbiasa asyik dengan segala sesuatu yang bersifat individu.
Melihat baju-baju dekil dan kumel yang mereka kenakan seperti menyadarkan saya bahwa sejelek apapun baju yang masih dipakai anak-anak saya, masih sangat jauh lebih layak dipakai dibanding baju anak-anak lugu itu yang mungkin sudah dipakai bertahun-tahun dari dari satu anak ke anak yang lainnya ketika baju yang mereka kenakan mulai kekecilan.
Ah, saya jadi ingat lagi dengan anak-anak saya. Rindu teriakan mereka yang tiap kali riuh rendah menyambut saya muncul di daun pintu rumah. Rindu sorak riang mereka tiap kali melihat saya pulang menenteng sesuatu, entah pizza, burger atau sekedar 'kebab' yang biasa saya beli di depan indomart di perempatan dekat rumah. Rindu Memey yang repot berebut mengambil sepatu saya dan meletakannya di rak sepatu dan kembali dengan bangga menemui saya. Rindu binar mata Romi yang bangga tiap kali memperlihatkan kebisaannya memainkan lagu-lagu baru tiap kali pulang dari les piano. Rindu sikap Raka yang makin konyol dan makin nakal menggoda adik-adiknya, kenakalan seorang anak yang mulai beranjak remaja yang iseng, yang ceplas-ceplos, yang sering berpikir semau gue dan yang mulai malu-malu dan tersipu tiap kali saya menanyakan siapa teman perempuan sekelasnya yang dia suka, yang mulai sering muncul diponselnya mengirimkan sms yang berkali-kali tiap hari. Terlebih lagi betapa saya Rindu Bony yang tersenyum sabar menyaksikan saya pulang dan menyapa anak-anak terlebih dahulu satu persatu, namun berubah garang begitu saya menutup pintu kamar dan melakukan ritual pulang kerja, yaitu... melepaskan kangen setelah seharian tak bertemu karena saya dan dia sama-sama bekerja.
Ah, rindu ini sudah seperti lonjakan penumpang yang biasa membludak menjelang hari-hari mendekati Lebaran ini. Barangkali rindu ini pun sudah seperti ongkos angkut Lebaran, sudah waktunya diberlakukan tuslag!
No comments:
Post a Comment