Sep 15, 2008

Surat dari Wahau

Hai,

Sedang apa?

Saya harap kamu selalu dalam keadaan sehat wal afiat. Seperti juga saya disini sehat wal afiat, meski cuaca di sini agak kurang bersahabat. Seringkali kalau panas, panasnya benar-benar menyengat dan memanggang berhari-hari. Kalau sudah begini, bukan saja kulit seperti terbakar. Tapi mata pun seringkali lelah karena harus menghadapi sinar matahari yang begitu tajam. Pantas orang-orang di desa sini sering menggunakan kaca mata ceng-dem alias Goceng adem. Rupanya memang bukan sekedar untuk gaya-gayaan, tapi memang sangat baik untuk kenyamanan mata.

Buat saya terus terang agak sulit. Kalau dipaksakan memakai kaca mata ceng-dem, saya malah tidak bisa melihat dengan jelas karena mata minus yang sudah begitu tinggi ini tidak bisa jika tidak pakai kaca mata minus 3,75. Tapi, sebenarnya tidak pakai sun glass pun rasanya mata jadi pegal juga tiap kali saya keluar mess untuk kegiatan sosialisasi di desa-desa, terlebih mulai dari jam 10 sampai jam 2 siang. Sinar matahari disini memang terasa lebih garang dan lebih tajam dibanding jika saya rasakan di Jakarta.

Namun, sering kali juga terjadi hujan mengguyur seharian selama beberapa hari. Kalau sudah begini, sudah pasti jalan-jalan sekitar sini yang notabene masih tanah lumpur merah yang keras di waktu kering, akan terasa becek dan lekat ketika hujan. Naik motor pun harus ekstra hati-hati agar jangan sapai terjerembab. Dan di beberapa titik ruas jalan poros (jalan logging), selalu saja terjadi kubangan lumpur dengan kedalaman sekitar 30 - 50 cm yang sangat mengganggu dan menyulitkan para pengendara motor, tak terkecuali pejalan kaki.

Seperti minggu ini, sudah beberapa hari terakhir hujan turun hampir sepanjang hari. Menyisakan genangan air dan kubangan lumpur di mana-mana. Membuat saya menjadi malas kemana-mana.

Tapi, apapun cuacanya, bagaimanapun kondisinya, sepertinya orang-orang desa sini tak pernah merasakan seperti apa yang saya rasakan. Setiap pagi, mereka selalu berbondong-bondong berjalan kaki melintasi mess tempat saya tinggal. Saya kagum pada mereka. Di saat saya dan teman-teman se-mess baru saja terjaga dari tidur nyenyak, ketika matahari masih tersaput sisa-sisa kabut di pagi hari, mereka sudah bergerak untuk memulai kegiatannya setiap hari.

Menyaksikan keramaian yang terjadi dari balik jendela kamar saya, membuat saya jadi malu hati sendiri. Betapa sebenarnya saya sangat santai dan terlalu enak-enakan menjalani hidup ini. Mereka, orang-orang desa Bean Heas itu, laki-laki dan perempuan, sebagian memang naik motor sedang sebagian lagi berjalan kaki sambil menyandang anjat, yakni semacam tas pungung yang terbuat dari anyaman rotan (sebagian lagi terbuat dari bambu). Untuk melindungi wajah dan tubuh dari panas, mereka mengenakan serauh, semacam topi lebar berbentuk seperti payung terbuat dari anyaman daun nipah. Laki-lakinya biasa menyematkan mandau di pinggangnya.

Dari balik jendela kamar saya, sekitar 3-4 meter jaraknya, mereka melintas dengan santai menuju ladang-ladang mereka yang biasanya berpindah. Jika waktunya membuka lahan, mereka biasanya 'merintis' yakni membuka jalan menuju ladang di lahan yang baru yang umumnya masih penuh dengan semak dan belukar. Di lahan itu nantinya mereka akan 'menebas' untuk membersihkan semak dan belukar tersebut. Butuh minimal 10 hari tanpa hujan agar lahan tersebut dapat dibersihkan dengan cara dibakar.

Hasil dari pembakaran inilah nantinya, ditambah lapisan humus dari daun-daun yang gugur, yang dapat menjadikan tanah tersebut kembali subur. Ditambah sedikit pupuk agar hasil ladang mereka subur dan melimpah. Setelah pembukaan lahan dan persiapan untuk di tanam, mereka akan memulai 'nugal' untuk selanjutnya menanam benih padi. Biasanya bulan September mereka memulai penanaman benih. Dan benih ini akan mereka panen nanti di bulan Maret - April.

Saat panen adalah saatnya mereka bersuka cita. Seluruh penduduk desa Bean Heas dan dua desa lain yang bertetangga, Diak Lay dan Dia Beq akan melakukan acara syukuran panen raya yang biasa disebut 'Erau'. Biasanya pada acara besar seperti Erau ini, masyarakat seluruh desa akan berpesta seharian penuh. Melakukan tari-tarian adat dengan pakaian tradisional. Laki-laki dan perempuan saling berkumpul. Tua dan muda.

Makanan khas seperti Lemang, makanan yang terbuat dari beras ketan dicampur isi bervariasi, dimasak di dalam tabung bambu dan dibakar, merupakan makanan wajib yang bakal disajikan seluruh masyarakat. Sudah barang tentu minum-minuman pun akan jadi jadi bagian dari kesenangan mereka.

Kalau sudah begini, dijamin aroma minuman keras akan terasa dari mulut-mulut mereka. Anyway, memang saat seperti itulah waktunya mereka bersenang-senang.

Orang-orang itu masih terlihat di ujung jalan arah ke timur untuk kemudian berbelok ke utara menuju ladang mereka, sebagian mungkin menuju perkebunan plas kelapa sawit. Suara obrolan dalam bahasa dayak diselingi sesekali tawa masih terdengar sayup-sayup. Sisa-sisa kabut makin menipis tertinggal di puncak-puncak pepohonan tinggi di sekitarku.

Pukul enam lebih sedikit. Hawa dingin dari AC ruangan kamar membuatku makin malas bergerak. Namun jilatan sinar matahari yang membias dari kaca jendela membuatku mau tidak mau harus bangkit dari ranjang dan segera mandi. Sebentar lagi orang-orang desa yang bekerja sebagai crew-crew pengeboran perusahaan sub-contractor pasti akan mulai berdatangan dan berkumpul di sekitar mess. Tidak enak rasanya dilihat mereka dalam keadaan tubuh masih terlilit handuk mandi. Hehehehe...

Hmm, di Jakarta sana pasti masih sekitar jam 5 pagi lewat sedikit. Saya harap kamu sudah bangun. Agar bisa merasakan pikiran saya yang selalu dipenuhi tentang kamu. Hm, sebenarnya, saya ingin menuliskan surat ini dengan lebih banyak sentuhan pribadi yang lebih khusus. Sebenarnya saya ingin mengirimkan surat ini khusus dan langsung buatmu, agar kamu tahu keadaan saya disini. Saya baik-baik saja...

Kangen kamu, tentu saja.. Juga anak-anak... Tapi seperti biasa, dari pada kita tersiksa oleh rasa kangen yang tak pernah bisa kita enyahkan, lebih baik aku coba melupakan kamu sesekali. Entah dengan cara melahap buku Sejarah Indonesia yang saya bawa dari Jakarta awal Agustus lalu, atau keliling desa menyapa rumah-rumah kayu yang tua dan sederhana milik warga dengan lensa kamera Nikon saya, atau jika saya sedang penat, saya beristirahat di depan tv... atau sekedar membolak-balik halaman KalTim Post. Sekedar menghilangkan ingatan saya tentang kamu, tentang anak-anak... tentang rumah.

Sabtu kemarin 13 September 2008, jadi juga akhirnya saya bertemu muka secara langsung dengan warga desa disini. Sosialisasi pembebasan lahan itu berjalan dengan lumayan baik. Lumayan karena sebenarnya saya mengharapkan ada kesepakatan langsung dengan warga soal harga, tapi ternyata tidak.

Lumayan, karena suasana pertemuan aman damai dan tenang tanpa ada suasana tegang apalagi suara-suara tinggi memprovokasi. Alhamdulillah yang saya takutkan semua itu tidak ada. Jadinya, ya lumayanlah. Tinggal lagi saya harus memperjuangkan masalah nilai kompensasi agar bisa diterima warga. Karena apa yang mereka harapkan dengan apa yang bisa diberikan oleh Perusahaan masih belum ketemu, ada perbedaan yang cukup jauh. Well, wish me luck, okay?

Sudah siang. Aku harus segera keliling desa lagi. Sampai jumpa...


Muara Wahau, 15 September 2008

No comments: