Feb 24, 2005

Anak Sang Elang...



Seringkali aku melihat dia tegar, dengan matanya yang nanar nyalang menghadapi setiap persoalan dengan garang. Hatinya selembut salju, tapi semangatnya getas bagai batu. Wajahnya serius dan gundah, seolah di pundaknya memikul segunung beban tak terencah.

Tapi hari ini aku melihatnya seperti seorang bocah yang papa. Dia teronggok seperti bukan apa-apa, bukan sesuatu. Tubuhnya meringkuk memeluk lutut. Begitu eratnya pelukan di lututnya, seperti seorang anak yang tengah memeluk sosok ayah yang hendak meninggalkannya. Matanya terpejam rapat, seperti enggan menatap dunia. Dunia yang penuh dengan begitu banyak keindahan, namun dimatanya semua menampak sama.. 

Kepedihan dan kepahitan!!!

Tak ada tangis terisak keluar dari mulutnya yang terkatup rapat. Tak ada air mata yang mengalir dari matanya yang terpejam lekat. Tapi aku bisa merasakan tangis yang dia pendam seakan mampu menggoyahkan kerajaan sang pemilik alam, Arsy di langit ke tujuh. 

Karena di gumam tangisnya terlafal jutaan pinta dan doa.

Baginya tak ada tempat buat mengadukan segala pedih perihnya selain kepada Dia Yang Esa. Tak ada sosok buatnya mengadu. Tak ada seseorang yang dia bisa merasa nyaman berkeluh kesah dan berbagi bebannya yang membuncah. 

Tak ada!!!

Selain kesendirian dan kekhusyukannya bertafakur. Tangisnya adalah nyanyian kalam dari Syurga. Kepedihannya menggetarkan jantung siapapun yang mampu mendengarnya.

Hari ini aku melihatnya begitu tak berdaya. Seperti seorang bocah kecil yang tak memiliki kekuatan apapun. Tapi semangatnya tetap getas. Gurat-gurat kepedihan tak pernah mampu menghentikannya untuk terus bangkit berdiri dan tegar berjalan. 

Aku tahu ia akan terus bertahan.

Karena aku tahu ia adalah anak sang elang, sang penantang bermata nyalang.


(24 Februari 2005)
*tengah malam

No comments: