Apr 11, 2006

Dari Milis Tetangga...

Today's on It's Me...


Dear Blogger... Ini ada sedikit oleh2 dari Milis Tetangga yang saya kunjungi.. Semoga bermanfaat!

Lagi-lagi Travel Warning
Oleh: Fauzan Al-Anshari
(Ketua Departemen Data dan Informasi Majelis Mujahidin Indonesia)

Travel warning! Lagi-lagi travel warning! Biasa, dari Amrik dan sekutu dekatnya, Aussie. Anehnya Kapolri Jenderal Sutanto mengaku belum menerima laporan akan ada aksi bom terhadap orang asing di Indonesia. Mengapa negara asing itu justru yang lebih tahu akan adanya serangan bom terhadap warganya? Mengapa mereka seenaknya mengekspose ke publik, bahwa warganya akan diserang teroris, sehingga perlu mengeluarkan travel warning agar warganya tidak ke Indonesia? Mengapa negara asing itu selalu membuat warning pada saat-saat tertentu yang sangat strategis?

Saya kira banyak orang mengikuti perkembangan mutakhir. Secara kronologi singkat dapat diceritakan begini: Freeport digugat, tragedi Abepura meletus, ExxonMobil dimenangkan tapi diancam hak angket oleh DPR, 'juragan' Condi dan Tony datang untuk meningkatkan investasi dan kerja sama membasmi teroris, 42 warga Papua mendapat temporary protection visa (TPV) di Australia, RI marah, dubes RI dipanggil pulang, perang karikatur SBY-Howard, dan travel warning dilansir. Inilah saat yang terbilang strategis. Pada saat yang sama, secara 'kebetulan', Ustadz Abu Bakar Ba'asyir akan mengakhiri masa penahanannya pada awal Juni 2006. Jadi, hemat saya, warning ini hanya sebuah conditioning untuk menciptakan situasi yang kondusif agar bom itu pantas diledakkan.

Adapun tujuan peledakan bom itu antara lain untuk mengalihkan isu intervensi AS dan Australia dalam sejumlah kasus di atas, dan untuk mendapatkan alasan yang dipaksakan demi memperpanjang penahanan Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Kalau perlu sampai beliau wafat di penjara. Dengan demikian ada pembenaran terhadap tuduhan 'sarang teroris' sehingga dolar terus mengucur untuk meningkatkan kerja sama pembasmiannya. Konsisten

Kalau kita mau mereview kembali sejumlah bom yang meledak di Indonesia sejak bom Bali I (12 Oktober 2002), semuanya selalu didahului dengan travel warning. Anehnya bom-bom itu bisa lolos begitu saja: Meledak, merusak kenyamanan tidur nyenyak bangsa kita. Lebih aneh lagi, pejabat berwenang dalam otoritas keamanan di Indonesia justru cenderung memanfaatkan bom-bom ini untuk lebih meningkatkan represivitasnya terhadap sejumlah aktivis Muslim. Bahkan juga digunakan untuk menciptakan kondisi yang akhirnya memaksa DPR melegislasi regulasi yang represif.

Mengapa tidak pernah ada, misalnya, operasi keamanan ditujukan terhadap ribuan agen asing yang beroperasi di Indonesia. Saya masih ingat pernyataan Jenderal Ryamizard Ryacudu bahwa ada 60-an ribu agen asing bekerja di Indonesia, berpotensi besar menghancurkan bangsa ini.

Lihat saja, misalnya, latihan pemberantasan teroris oleh AL kita baru-baru ini. Terorisnya berbaju gamis dan berkafiyeh. Padahal tidak pernah ada satu kali pun perompakan di laut, misalnya, dilakukan oleh santri.

Mengapa operasi pemberantasan teroris tidak pernah di-setting, misalnya, menghadapi musuh dari Singapura yang sudah jelas mencuri pasir laut kita. Atau pasukan antiteror kita dipersiapkan untuk menghadapi musuh dari Selatan, seperti Australia yang sudah jelas sering menangkap dan menembaki para nelayan kita. Mengapa gambaran teroris itu diidentikkan dengan Muslim? Atau kita perlu terus terang saja: memang Muslim itu teroris, begitu? Sedangkan koruptor, pembalak liar, dan penjahat lainnya adalah sahabat yang harus diantar ke istana?

Saya juga heran, mengapa sejumlah bom yang lolos dari kepungan aparat itu tidak disebut sebagai kegagalan mereka dalam bekerja. Sehingga Dai Bachtiar (kapolri saat itu) tetap aman memegang jabatannya sampai lima tahun. Padahal, hampir setiap tahun Indonesia diguncang bom. Mengapa tidak dibiasakan mundur sebagai bentuk pertanggungjawaban publik terhadap kegagalan kinerja para pejabat kita?

Membingungkan
Anda mungkin masih ingat pernyataan Kepala BIN, Syamsir Siregar, beberapa waktu lalu, bahwa modus operandi para teroris sudah berubah: tidak lagi pakai bom tapi penculikan atau pembunuhan pejabat publik. Seandainya sekarang para teroris itu balik lagi ke modus pengeboman, terus bagaimana nasib pernyataan Kepala BIN tersebut? Dicabut, dilupakan, atau dianggap angin lalu saja? Yang jelas, sampai sekarang tidak ada pejabat publik yang diculik atau dibunuh oleh teroris.

Sebetulnya kita bisa menanyakan kepada Pak Syamsir, siapa yang dimaksud dengan teroris yang sudah beralih 'profesi' tersebut. Kalau yang disebut teroris adalah seperti sejumlah tahanan di Cipinang, cirinya ada empat: jidat hitam, berjenggot, berbaju koko, dan bercelana congkrang. Tapi mungkin ada teroris lainnya, saya tidak tahu.

Cuma saya heran saja, sudah ratusan aktivis Muslim ditangkap bom terus saja 'menyalak', sementara pelaku pengeboman Pamulang sampai sekarang belum tertangkap. Apakah karena korbannya adalah Abu Jibril, aktivis MMI yang dianggap 'teroris' lalu pelakunya dibiarkan bebas berkeliaran? Kalau tidak ketemu di dunia, pasti ketahuan di akhirat nanti. Terus terang saya jadi bingung: apa definisi teroris sebenarnya?

Untuk menghilangkan kebingungan tersebut, MMI telah mengajak dialog terbuka kepada pihak yang paling berwenang menangani kasus terorisme yakni Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror Mabes Polri. Namun sampai detik ini ajakan dialog ini belum disambut dengan mesra. Padahal Tujuan dialog itu adalah untuk transparansi kebijakan publik antara impelementasi penanganan terorisme di lapangan dengan upaya penegakan hukum di negara hukum. Terus terang, kalau ada bom, saya kebanjiran telpon. Saya tanya mengapa setiap ada bom selalu bertanya kepada MMI, padahal kami bukan pakarnya. Seolah-olah pertanyaan itu menggiring opini publik, bahwa peledakan bom itu terkait dengan aktivitas MMI, khususnya Ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Padahal beliau sudah diinapkan di 'hotel prodeo' sejak 28 Oktober 2002? Bagaimana logikanya, orang yang dipenjara harus bertanggung jawab terhadap peristiwa di luar penjara? Kalau demikian cara berpikir aparat untuk tetap menahan Ustad Abu, maka sampai kapan pun beliau tidak bisa bebas. Namun semua itu tak lepas dari izin Allah SWT.

Rekomendasi
Untuk mengantisipasi 'rencana' peledakan bom yang konon akan terjadi pada bulan-bulan ini, saya mengusulkan agar semua komponen bangsa harus bersatu untuk membentuk 'pagar betis' agar bom itu tidak jadi meledak. Sebab kalau meledak, situasi akan tambah kacau, perhatian publik akan beralih dari persoalan pokok bangsa kita, dan akhirnya orang yang tidak bersalah lagi-lagi jadi 'kambing hitam'.

Saya juga berpendapat, sebaiknya aparat berwenang aktif menanyakan langsung kepada pemerintah AS dan Aussie: di mana dan kapan bom itu akan diledakkan, serta siapa calon pelakunya. Kalau sudah tahu, segera saja ditangkap dan diproses secara hukum, diadili, tetapi tidak perlu disiksa. Kita jangan menjadi 'pasukan tukang jemput' info asing saja, tetapi harus lebih tahu dari mereka. Ini kan negara kita sendiri, masak kalah duluan. Dalam perspektif Islam, rencana jahat itu akan kembali kepada pembuatnya. ''Karena kesombongan (mereka) di muka bumi dan karena rencana jahat mereka (maka) rencana jahat itu tidak akan menimpa selain orang yang merencanakannya sendiri'' (QS Fathir: 43)

No comments: