Apr 26, 2006

Larasati

Today's on It's Me...


Larasati

Namanya Larasati. Asli sukabumi. Masih muda, mungkin sekitar 25-an. Namun wajah dan sikap tubuhnya memperlihatkan sosok yang sangat matang penuh kedewasaan. Tingginya sedang-sedang saja. Fisiknya yang memiliki proporsi mendekati sempurna, semakin lengkap dibalut kulitnya yang berwarna kuning langsat. Sangat asli Indonesia. Sekilas saja aku bisa melihat betapa wanita ini memang sangat merawat tubuhnya.

Ahh, rasanya aku harus segera menundukkan dan mengalihkan pandanganku dari sosoknya.

Namun tak urung telingaku masih mampu mendengarkan sebentuk pesona yang lain. Suaranya! Barangkali tak berlebihan kalau aku sebut suara seperti itu dengan satu kata sederhana.. Merdu!! Tawanya yang sumringah, sesekali melengkapi tutur katanya yang teratur rapi.

Sesekali aku tengadah, berusaha mempertemukan pandangan dan memberinya kesan aku memberi perhatian padanya. Sesekali, karena pesonanya terlalu kuat untukku menatapnya berlama-lama.

Larasati memang teman yang menyenangkan. Dalam sekejap, ia menarikku kedalam alur percakapan yang begitu menyenangkan. Tak ada keborosan dalam kata-katanya. Semuanya seperti bermakna, meski singkat.

Dan ia bercerita tentang waktu-waktu yang telah dilalui, yang menjadikannya dewasa lebih cepat dari pada usianya. Tentang keadaan ekonomi keluarganya yang membuat ia harus ke Jakarta. Kedua orang tuanya masih tinggal di Sukabumi, hidup sangat sederhana di sebuah perkampungan yang sayangnya ia tak mau menyebutkan dimana. Sambil bercerita, matanya menatap selembar tissue yang ia mainkan sejak tadi. Pandangannya seperti jauh menembus lembar-lembar tissue tersebut, jauh menerobos meja kaca tempat kami duduk, bahkan jauh menerawang ke suatu tempat yang tidak terjangkau oleh mataku.

"Orang tuaku buruh petani, mas. Maklum, deh! Namanya orang jaman dulu, mereka nggak bisa apa-apa. Makanya aku buru-buru kerja selepas SMP. Di 'Rudy' aku udah jalan kurang lebih sekitar 2 tahun."

Lalu ia mengisahkan kegalauannya tentang pandangan orang yang sedikit miring terhadap profesinya, sebagai seorang stylist di salah satu outlet salon terkenal di Jakarta. Sudah beberapa kali ia menerima ajakan dari laki-laki, ajakan yang bisa ia rasakan bertendensi negatif, mengabaikan kenyataan bahwa hakekatnya ia adalah seorang Stylist. Ajakan yang mau tidak mau harus ia tolak dengan tetap mengembangkan senyum sambil menyelesaikan tugasnya merapikan rambut pelanggannya tersebut.

"Capek, mas... ngadepin mereka yang kayak gitu. Aku kerja bener mereka nyangkanya yang nggak-nggak."
"Ups, aku jadi nggak enak nih, udah ngajak kamu lunch," aku sedikit merasa bersalah.

Larasati menjawab dengan tawanya. "Nggak apa2, kok, mas. Aku merasa mas orang baik, makanya aku mau keluar lunch sama mas. Nyantai aja... Dari sikap mereka, aku udah bisa menebak kok kemana arahnya kalo mereka ngajak aku, mas."

Aku menengadah sesaat dan mendapati wajah cantiknya yang galau. 'Nggak heran jika banyak laki-laki yang tertarik menghabiskan waktu bersama kamu. Karena kamu memiliki daya tarik itu. Kamu memiliki pesona yang bisa membuat laki-laki tergoda, Laras' batinku.

Barangkali kami tak akan bisa saling bercerita seperti sekarang jika aku tak memberanikan diri mengajaknya lunch siang ini, ajakan yang sesungguhnya timbul karena aku pun tak bisa menolak kenyataan bahwa menatap wajah seperti dia memang sangat menyenangkan.

"Ga heran jika mereka tertarik, Laras. Kamu manis," aku menjawab spontan.

Dan aku menundukkan pandanganku secepat matanya terkesiap menentangku. Ah, jika tidak dianggap sebagai orang tak sopan, ingin rasanya menatapnya terus menerus dan menikmati setiap tutur yang terucap dari bibirnya. Tapi aku tak mampu melakukan itu.

Laras menyahuti ucapanku barusan dengan sepotong senyum, "Makasih." Ujarnya ramah.

Sejurus kemudian ia melanjutnya ceritanya tentang suaminya yang tak mampu secara ekonomi, yang memaksanya membantu suami mencari nafkah. Mulai dari tenaga administrasi perusahaan percetakan dua tahun lalu, hingga menjadi seorang Stylist seperti sekarang. Entah kenapa, simpatiku makin timbul. Aku malah makin respect terhadapnya. Dan aku kembali merasa bersalah karena menyadari bahwa bagaimana pun, ajakanku ini sesungguhnya tidak pantas aku ajukan. Karena dia adalah istri seseorang. Bagaimana jika ada orang lain yang melihat keberadaan kami di kafe ini, dan menimbulkan salah penafsiran?

Ah, aku makin merasa bersalah.

"Dia minta aku ikut ke Amerika, mas. Katanya ada kesempatan dari bossnya. Dan dia minta aku nemenin kesana." lanjutnya lagi.

"Bagus, dong!" sergahku.

"Bagus apanya, mas? Orang tuaku nggak setuju. Kata mereka, ngapain cari uang jauh-jauh. Kayak disini nggak bisa makan aja. Lagian, aku nggak mungkin bisa ninggalin mereka jauh-jauh. Takut nggak ada yang mengurus mereka, terutama ibuku. Dia 'kan udah tua,"

"Tapi 'kan ini kesempatan buat masa depan kamu n suami, Laras."

"Iya juga, sih! Tapi aku nggak mungkin bisa ikut suami. Ibu bapakku nggak ngijinin."

"Laras, sorry ya kalo aku salah. Tapi kalo aku boleh ngomong, bedanya wanita dan laki-laki itu terhadap orang tuanya adalah.. Wanita ketika menikah, maka ia harus mengabdi kepada suami dan berbuat baik terhadap orang tua terutama Ibu. Lain dengan laki2, ia harus mengabdi kepada orang tua (Ibu) dan berbuat baik kepada istri."

Laras terdiam dan memperhatikanku dalam-dalam. Membuatku merasa jengah dipandangi seperti itu. Aku menunduk lagi sebelum melanjutkan kata-kataku.

"Kalau kamu nggak ikut, itu sama aja kamu nggak mengabdi sama suami kamu. Nggak patuh sama suami kamu. Apa kamu nggak takut kalau dia sendirian disana, trus nanti terjadi apa2. Apa nggak mengganggu hub rumah tangga kamu kalo kalian saling berjauhan seperti itu?"

Aku bicara apa adanya. Rasanya aku memang harus mengatakan apa yang harus aku katakan ketimbang mengatakan apa yang ingin dia dengar. Dan entah kegalauan apa lagi yang dia rasakan setelah perbincangan tadi, apalagi setelah mendengarkan ucapanku.

Larasati, aku harus banyak menundukkan pandanganku. Agar tak semakin jauh terjebak dalam rasa ketertarikan yang makin menjerat karena parasnya yang sangat memikat. Waktu pun berjalan cepat. Tak terasa hampir 3 jam kami bercakap-cakap.

Sore itu aku kembali ke kantorku membawa perasaan bersalah pada dua orang. Istriku dan suaminya.


***

5 comments:

uut, said...

he he he,"guilty innocent" yeee :P
well at least yu enjoy ya lunch ahahahha.

Ramz said...

hehehe, soalnya dia emang gak keliatan kalo udah married.

lunch sambil ngobrol n liatin wajah cantik innocent kayak Winona Ryder, emang enjoy banget. :)

Ramz said...

@ missunperfect: gw kok ga bisa post a comment di blog loe ya berkali2 udah dicoba. Bisa kasih solusi kenapa?

btw, lay out blog loe gw suka banget. Terutama quote textnya yang pake font gede2 di pojok belah kanan. boleh minta info gak gimana caranya?

maklum neh, agak2 dummy soal blogtech :)

TaTa said...

Mas ramz.....nyalon dimana sih jadi pengen kenalan ma si larasati hi hi hi

Ramz said...

@ Tata:

hehehe..

kemana aja, Ta? Sorry nih lama gak mampir2 ke blog kamu.

ngga bisa posting comment pula. ngga ngerti neh kenapa bisa gitu. gaptek nehhhh!!!